ISRO MI`ROJ ANTARA FISIKA DAN TAFSIR
Ilmuwan terkemuka
Sinka mengatakan: siapa pun yang melayangkan pendangannya ke arah
langit pasti akan memejamkan kedua matanya dengan penuh kekaguman dan
katakjuban. Sebab ia melihat jutaan bintang yang bersinar terang,
mengamati pergerakannya di garis orbitnya, dan beralih memandangi
rasi-rasinya. Masing-masing bintang, planet, nebul, dan satelit adalah
dunia yang berdiri sendiri, dan jauh lebih besar daripada bumi beserta
segala yang ada diantaranya dan yang melingkupinya (Ahmad, 2006:42).
Bayangkan, jika
kita sedang menengadah ke langit di malam hari, kita melihat sinar bulan
yang begitu indah. Nah, sinar bulan yang kita lihat itu membutuhkan
waktu untuk menempuh jarak dari bulan ke bumi sekira 350.000 kilometer.
Karena kecepatan cahaya sekitar 300.000 meter per detik, maka cahaya
bulan itu membutuhkan waktu lebih dari satu detik untuk sampai ke bumi.
Artinya, ketika kita melihat bulan, sebenarnya bulan yang kita lihat itu
bukanlah bulan pada saat yang sama. Sebab, bulan membutuhkan waktu
selama satu detik untuk mencapai bumi. Paling tidak, bulan yang kita
lihat saat ini adalah bulan satu detik yang lalu.
Hal itu juga
terjadi ketika kita melihat matahari. Karena jarak Matahari – Bumi yang
demikian jauhnya sekitar 150 juta kilometer, maka kecepatan cahaya
membutuhkan waktu 8 menit untuk sampai ke bumi. Artinya, jika waktu itu
kita melihat matahari, maka matahari yang kita lihat itu sebenarnya
bukalah matahari pada saat itu, melainkan matahari 8 menit yang lalu
(Mustofa, 2006:71).
Kenaehan dan
keterkaguman kita akan semakin bertambah, manakala kita menyaksikan
benda-benda langit yang lain, bintang umpamanya. Malah ada bintang yang
berjarak sangat jauh dari bumi hingga memakan waktu 8 tahun cahaya dari
bumi. Maka jika kita melihat bintang itu, sebenarnya kita sedang
menyaksikan bintang yang usianya 8 tahun lalu. Mengagumkan.
Bahkan, dalam
abad kekinian, sering juga kita dengar istilah satelit atau sputnik,
yaitu kendaraan ruang angkasa yang diluncurkan menuju bulan dan
planetnya di dalam kelompok matahari. Persitiwa satelit atau sputnik itu
merupakan hasil kecerdasan otak manusia sekaligus merupakan alat
terpenting dalam mencapai kemajuan lahir ke arah pengetahuan dan
teknologi.
Lalu, pada abad
ke-7 atau sekitar 1400 tahun silam, kita juga mendengar suatu peristiwa
maha hebat dari tanah Arab. Persitiwa itu jauh lebih mengagumkan dari
satelit ataupun sputik dan benda-benda langit lainnya. Peristiwa itu
dinamakan Isra Mi’raj Nabi Muhammad saw. Muhammad tidak saja menembus
ruang angkasa di sekitar bulan, bahkan sudah meluncur ke ufuk yang
tertinggi , melalui sistem planet, menerobos ruang langit yang luas,
berlanjut terus ke gugusan Bintang Bima Sakti, meningkat kemudian
mengarungi Semesta Alam hingga sampai di ruang yang dibatasi oleh ruang
yang tak terbatas. Kemudian sampailah Rasulullah Muhammad saw pada Ruang
yang Mutlak yang dinamakan “Maha Ruang”. Inilah yang disebut “Dan dia
Muhammad di ufuk yang tertinggi” (Mudhary, 1996:21).
Peristiwa luar
biasa ini kontan membuat kontroversi di masyarakat. Ada masyarakat yang
mencemooh; kebanyakan dari mereka orang kafir. Mereka menggemboskan isu
bahwa Muhammad telah gila. Kelompok kedua adalah mereka yang ragu-ragu.
Mereka terbawa oleh suasana kontradiksi, mau percaya kok rasanya berita
itu tidak masuk akal. Tapi ngga percaya, kan Muhammad tidak pernah
berbohong. Kelompok ketiga adalah mereka yang begitu yakin akan
ke-Rasulan Muhammad. Perjalanan yang kontroversial ini pun bagi mereka
justru meningkatkan kayakinannya bahwa beliau benar-benar utusan Allah.
Lantas bagaimana
dengan kita? Termasuk golongan yang mana: tidak yakin, ragu-ragu, atau
yakin? Alternatif dari jawaban itu adalah bahwa kita harus yakin dengan
di-Isra-kan dan di-Mi’raj-kannya Muhammad, sekaligus meyakinkan kaum
peragu bahwa peristiwa ini pun masuk akal, logis, dan rasional. Sebab,
bisa dibuktikan secara empiris dalam ilmu pengetahuan modern
Bukankah manusia
adalah salah satu magnum opus-nya Tuhan dengan keistimewaan akalnya.
Bukankah telah disinyalir Tuhan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk
menjelajah seantero jagat raya dengan kekuasannya (QS.Ar Rahman:33).
Bahkan, Al Khazin, Al Baidlawi, dan An Nasai (Mudhary, 1996:21), memberi
tafsiran bahwa arah kata sulthan atau kekuasanannya ialah ilmu
pengetahuan yang dihasilkan oleh kecerdasan otak lahir dan ilmu
pengetahuan yang dihasilkan otak batin. Otak lahir disebut juga indera
badani atau jasmani, sedangkan otak batin disebut indra rohani. Keduanya
dikenal dengan sensus interior dan eksterior.
Hubungan antara
tanda-tanda kebenaran di dalam al Quran dan alam raya dipadukan melalui
mukjizat Al Quran dengan mukjizat alam raya yang menggambarkan kekuasaan
Tuhan. Masing-masing mengakui dan membenarkan keduanya menjadi
pelajaran bagi setiap orang yang mau mendengar. Bahkan Abbas Mahmud
Aqqad (dikutip Pasya, 2004:24), memberi penjelasan makna mukjizat ilmiah
dalam al Quran dan Hadits secara lebih mendalam yakni terdapat dua
macam mukjizat yang harus dibedakan: mukjizat yang harus dicari, dan
mukjizat yang memang tidak perlu dicari.
Sayangnya
pembedaan antara kedua macam mukjizat tersebut hampir tidak kita temukan
pada mereka yang pemikirannya hanya berhenti pada batas penafsiran
ilmiah terhadap fenomena alam. Tidak adanya pembedaan tersebut kadang
menyebabkan pencampuradukkan anatra mukjizat ilmiah (yang berarti bahwa
Al Quran dan Hadits telah terlebih dahulu memberitahukan kita tentang
fakta atau fenomena alam sebelum ditemukan oleh ilmu empiris) dan
penafsiran Al Quran secara ilmiah (yang berarti mengungkap makna-makan
baru ayat Quran atau Hadits sesuai kebenaran teori sains). Dengan kata
lain, sains menjadi perangkat untuk menafsirkan Al Quran dan Hadits,
seperti halnya ilmu bahasa dan asal usul fikih yang juga menjadi
perangkat untuk menafsirkan ayat-ayat Al Quran di bidang ilmu keagamaan.
Nah.
Dengan demikian,
perjalanan Isra Mi’raj yang menjadi fenomena mukjizat Allah tersebut
mampu dikaji secara ilmiah. Pembuktian-pembuktian sains modern telah
menampakan sebuah paradigma bahwa perjalanan Muhammad menjumpai Tuhannya
dengan menembus batas-batas langit adalah benar. Sebab, perjalanan itu
bisa ditafsir ulang dengan sains kekinian, dan dibuktikan secara ilmiah.
Skenario Isra Mi’raj dan Tafsir Fisik
سُبْحَانَ الَّذِي
أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ
الأقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّه
هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ (١
“Maha Suci Allah,
yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil
Haram ke Masjidil Aqsha yang telah diberkahi sekelilingnya oleh Allah
agar Kami perhatikan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kekuasaan)
Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS Al
Isra:1).
Dalam ayat in,
Allah sudah menjelaskan skenario perjalanan Isra Mi’raj Nabi Muhammad.
Sehingga dengan berpatokan pada ayat ini, kita bisa memperoleh pemahaman
yang sangat memadai tentang mukjizat Isra dan Mi’raj tersebut.
Dalam tinjauan
Agus Mustofa (2006:11), setidak-tidaknya ada delapan kata kunci yang
menjadi catatan penting dan menuntut pemahaman kita menembus batas-batas
langit untuk menafsir perjalanan kontroversial ini. Baiklah, jika kita
mencoba untuk menguraikan makna kata-kata tersebut, maka akan menjadi
seperti ini:
Catatan pertama,
terdapat pada akata Subhanallah, Maha Suci Allah. Hal ini mengisyaratkan
bahwa persitiwa ini sangat luar biasa. Saking spesialnya kejadian ini,
Allah sendiri memuji diri-Nya dengan ucapan Subhanallah. Barangkali
inilah salah satu bukti bahwa Allah adalah Maha dari segala Maha. Maha
tanpa batasan ruang, waktu, bahkan massa. Sehingga lanjut Quraish Shihab
(1992:338), peristiwa ini membuktikan bahwa ‘ilm dan qudrat Tuhan
meliputi dan menjangkau, bahkan mengatasi segala yang finite (terbatas)
dan infinite (tak terbatas) tanpa terbatas ruang dan waktu.
Catatan kedua,
adalah dalam kata asraa, yang telah memperjalankan. Ini berarti bahwa
perjalanan Isra Mi’raj bukan atas kehendak Rasulullah, melainkan
kehendak Allah. Dengan kata lain, kita juga memperoleh ‘bocoran’ bahwa
Rasul tidak akan sanggup melakukan perjalanan itu atas kehendaknya
sendiri. Saking dahsyatnya perjalanan ini, jangankan manusia biasa,
Rasul sekali pun tidak akan bisa tanpa diperjalankan oleh Allah.
Oleh karena itu
lanjut Agus (2006:15), Allah lantas mengutus malaikat Jibril untuk
membawa Nabi melanglang ‘ruang’ dan ‘waktu’ didalam alam semesta ciptaan
Allah. Mengapa Jibril? Sebab Jibril merupakan makhluk dari langit ke
tujuh yang berbadan cahaya. Dengan badan cahayanya itu, Jibril bisa
membawa Rasulullah melintasi dimensi-dimensi yang tak kasat mata.
Pembuktian
menurut ilmu Fisika lanjut Mudhary (1996;28), bahwa eter menjadi zat
pembawa sekaligus pelantara daya elektromagnetik. Eter adalah udara yang
ringan sekali, lebih ringan dari udara yang dihirup oleh manusia: O2.
Dalam bahasa Arab disebut dengan “Itsir”. Jika eter bergetar, niscaya
membutuhkan pula zat pembawa yang lebih halus lagi dari eter itu
sendiri, agar getaran eter itu bisa tersebar ke mana-mana.
Sedangkan menurut
Ilmu Metafisika, Rasul naik ke ruang angkasa melakukan perjalanan
Mi’rajnya tentu membutuhkan zat pembawa yang lebih halus dari jiwa atau
rohaninya. Oleh karena itu, makhluk hidup yang memiliki dua jasad:
jasmani dan rohani, maka diperlukan zat pembawa yang lebih halus dari
rohani itu sendiri dan mampu mengangkat jasmani Rasul sekaligus. Dan
ternyata makhluk yang sangat halus itu bernama Jibril.
Selain Jibril,
perjalanan super istimewa itu disertai juga oleh kendaraan spesial yang
didesain Allah dengan sangat spesial bernama Buraq. Ia adalah makhluk
berbadan cahaya yang berasal dari alam malakut yang dijadikan tunggangan
selama perjalanan tersebut. Buraq berasal dari kata Barqum yang berarti
kilat. Maka, ketika menunggang Buraq itu mereka bertiga melesat dengan
melebihi kecepatan cahaya sekitar 300.000 kilometer per detik (Mustofa,
2006:15).
Jika seandainya
kecepatan Buraq diambil serendah-rendahnya setara dengan perbandingan
kecepatan elektris saja: 300.000 kilometer per detik, maka jarak anatara
Masjidil Haram di Mekkah dengan Masjidil Aqsha di Palestina yang
berjarak 1.500 kilometer, paling tidak memakan waktu 1/200 detik.
Padahal, Buraq adalah makhluk hidup yang kecepatannya pun bisa melebihi
kecepatan elektris tadi.
Pertanyaannya
kemudian, bukankah kecepatan cahaya adalah kecepatan paling tinggi yang
telah dihasilkan Fisika Modern? Bukankah kecepatan cahaya telah mendapat
legalitas berdasarkan keputusan kongres Internasional tentang Standar
Ukuran yang digelar di Paris tahun 1983: bahwa kecepatan cahaya berada
dalam vakum sebesar 299.792.458 meter per detik dibulatkan sekira
300.000 kilometer per detik. Dan tentu saja, kecepatan cahaya berlaku
sama bagi seluruh gelombang spektrum dan mempersentasikan batas
kecepatan dalam alam fisika (Ahmad, 2006:168).
Tentu saja
kecepatan setinggi itu tidak bisa dilakukan oleh sembarang benda. Hanya
sesuatu yang sangat ringan saja yang bisa memiliki kecepatan yang bisa
melebihi kecepatan cahaya. Bahkan, saking ringannya, maka sesuatu itu
harus tidak memiliki massa sama sekali. Yang bisa melakukan kecepatan
itu hanya photon saja, yaitu kuantum-kuantum penyusun cahaya. Bahkan,
electron sekali pun yang bobotnya hamper nol sekalipun tidak bisa
memiliki kecepatan setinggi itu.
Sedangkan manusia
sendiri terkonstruksi dari satuan-satuan utama yang sangat kecil
dinamakan sel. Jumlahnya sekitar 390 milyar. Sel tubuh ini tidak sama,
baik bentuk, besar, maupun fungsinya. Sel-sel ini tidak terpisah satu
sama lain, tetapi hidup dalam organisasi yang harmonis (Pasya,
2004:250).
Jika dilihat dari
penyusunnya, maka berbagai macam sel itu tersusun dari molekul-molekul.
Baik yang sederhana maupun molekul yang kompleks. Mulai dari H2O,
sampai pada molekul asam amino atau proteir kompleks lainnya. Dan jika
dicermati, maka molekul itu juga tersusun dari bagian-bagian yang lebih
kecil disebut atom. Dan atom ini pun tersusun dari partikel-partikel sub
atomik seperti: proton, neutron, elektron, dan sebagainya.
Karena manusia
memiliki bobot, jangankan untuk dipercepat dengan kecepatan setingkat
kecepatan cahaya. Dengan percepatan beberapa kali gravitasi bumi (G)
saja, sudah akan mengalami kendala serius, bahkan bisa meninggal dunia.
Dalam
ilustrasinya, Agus Mustofa (2006:17) memberi gambaran tentang seorang
pilot yang melakukan manuver di angkasa. Ketika ia melakukan gerakan
vertikal naik ke langit atau manuver ‘jatuh’ ke bumi misalnya, saat itu
badannya akan mengalami tekanan alias beban yang sangat berat bergantung
pada besarnya percepatan yang ia lakukan.
Jika pilot
bermanuver ke langit dengan percepatan dua kali gravitasi bumi (2G),
maka badannya akan mengalami tekanan dua kali lipat dari biasanya. Jika
bobot pilot dalam kondisi normal 80 kg misalnya, maka pada saat
melakukan manuver bobotnya akan menjadi 160 kg. Bahkan jika
percepatannya lebih tinggi lagi, rasa ‘nyuut’ di otak akan semakin
besar. Seperti orang yang jatuh bebas ke dalam sebuah sumur yang dalam.
Bisa-bisa seseorang akan mengalami ‘hilang kesadaran’. Apalagi manuver
pilot dengan kecepatan 5G, pilot yang tidak terlatih bisa-bisa mengalami
balck out alias semaput atau pingsan di angkasa.
Jika demikian,
bukankah Muhammad juga seorang manusia biasa yang memiliki struktur sama
dengan pilot dalam ilustrasi tadi ketika ia melakukan perjalanan Isra
Mi’raj tersebut? Lalu bagaimana jasmani Muhammad mampu menembus lapisan
langit dengan bantuan kecepatan cahaya ? Apakah Muhammad di-Isra-kan dan
di-Mi’raj-kan dengan jasmani dan rohaninya sekaligus? Nah.
Salah satu
‘skenario rekonstruksi’ untuk mengatasi problem ini adalah teori
Annihilasi. Teori ini mengatakan bahwa setiap materi (zat) memiliki anti
materi. Dan jika materi dipertemukan atau direaksikan dengan anti
materinya, maka kedua partikel tersebut bakal lenyap berubah menjadi
seberkas cahaya atau sinar gama (Mustofa, 2006:20).
Hal ini telah
dibuktikan di laboratorium nuklir masih dalam buku yang sama (2006:20),
bahwa jika ada partikel proton dipertemukan dengan antiproton, atau
elektron dengan positron sebagai antielektronnya, maka kedua pasangan
partikel tersebut akan lenyap dan memunculkan dua buah sinar gama,
dengan energi masing-masing 0,11 MeV untuk pasangan elektron dan 938
MeVuntuk pasangan partikel proton.
Sebaliknya, jika
ada seberkas sinar Gama yang memiliki energi sebesar itu dilewatkan
medan inti atom, maka tiba-tiba sinar tersebut lenyap berubah menjadi
dua buah pasangan partikel seperti di atas. Hal ini menunjukan bahwa
materi memang bisa berubah menjadi cahaya dengan cara tertentu, yang
disebut sebagai reaksi Annihilasi.
Nah, proses
pengubahan materi menjadi cahaya terjadi sesaat sebelum perjalanan Isra
Mi’raj dimulai. Kejadian ini ketika Rasul disucikan oleh Jibril di dekat
sumur zam-zam. Bisa dikatakan jika proses ini adalah proses operasi
hati Muhammad dengan air zam-zam.
Kenapa operasi
hati? Bukan otak atau jantung misalnya? Ya, sebab hati adalah pangkal
dari seluruh aktifitas badani. Bahkan Rasul mengatakan bahwa hati adalah
pangkal dari segala aktifitas badani. Jika baik hatinya, maka baik pula
seluruh aktifitas badannya. Begitu juga sebaliknya jika buruk hatinya,
maka buruk juga segala aktifitas badaniahnya.
Bahkan, resonansi
dari hati yang baik itulah kelembutan akan muncul. Bagaikan buluh
perindu yang akan menghasilkan suara merdu ketika ditiup. Kenapa? Karena
hati yang lembut bagaikan sebuah tabung resonansi yang bagus.
Getarannya menghasilkan frekuensi yang semakin lama semakin tinggi.
Semakin lembut hati seseorang, semakin tinggi frekuensinya. Pada
frekuensi 10 pangkat 8, maka akan menghasilkan gelombang radio. Dan jika
frekuensinya lebih tinggi misal 10 pangkat 14, maka akan menghasilkan
gelombang cahaya (Mustofa, 2008:153).
Itulah agaknya
yang terjadi pada diri Rasulullah saat ‘dioperasi’ oleh malaikat Jibril
di dekat sumur zam-zam. Jibril melakukan manipulasi terhadap sistem
energi menjadi badan cahaya. Dengan kesiapan ini, Muhammad siap
untukdibawa melalui kawalan Jibril dengan mengendarai Buraq menembus
batas langit hingga akhirnya berjumpa dengan Sang Pemilik Cahaya Abadi.
Catatan ketiga,
terdapat dalam kata ‘abdihi, Hamba-Nya. Hal ini berarti bahwa tidak
semua orang secara sembarangan mampu melakukan perjalanan Isra Mi’raj.
Perjalanan fantastis yang hanya bisa dilakukan oleh manusia yang sudah
mencapai tingkatan ‘abdihi, hamba-Nya. Atau dalam istilah Quraish Shihab
sebagai insan kamil.
Catatan keempat,
dalam kata laila, malam hari. Perjalanan spesial ini dilakukan pada
malam hari dan bukan siang hari. Kenapa? Inilah dia bukti kebesaran
Tuhan Sang Maha Gagah itu. Ia mengendalikan perjalanana Isra Mi’raj
dengan apik dan sangat canggih. Apalagi alasan logis mengenai hal itu,
bahwa pada siang hari radiasi sinar matahari demikian kuatnya, sehingga
bisa membahayakan badan Nabi Muhammad yang sebenarnya memang bukan badan
cahaya. Badan nabi yang sesungguhnya tentu saja adalah materi.
Perubahan menjadi badan cahaya itu bersifat sementara saja, sesuai
kebutuhan untuk melakukan perjalanan bersama Jibril. Dengan melakukannya
pada malam hari, maka Allah telah menghindarkan Nabi dari interferensi
gelombang yang bakal membahayakan badannya. Suasana malam memberikan
kondisi yang baik buat perjalanan itu (Mustofa, 2006:25).
Sebagai gambaran
sederhana, ketika di malam hari kita menyalakan radio, maka gelombang
yang kita tangkap akan jernih dan lebih mudah dari siang hari. Sebab
gelombang radio tersebut tidak mengalami gangguan terlalu besar yang
saling bersinggungan dengan gelombang lainnya. Begitulah gambaran
sederhananya, sebab waktu malam hari adalah waktu yang paling kondusif
untuk perjalanan super spesial demi kelancaran perjalanan ini.
Catatan kelima,
terdapat dalam kata minal Masjidil haram ilal masjidil Aqsha, dari
Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha. Perjalanan ini dimulai dari mesjid ke
mesjid, sebab mesjid adalah bangunan yang memiliki energi positif.
Disanalah orang-orang berusaha untuk menyucikan diri, mendekat, bahkan
merapat kepada Tuhannya. Masing-masing mesjid tersebut ibarat tabung
energi positif bagi perjalanan Nabi.
Masjidil Haram
dan Masjidil Aqsha dijadikan sebagai terminal pemberangkatan dan
kedatangan. Hal ini mirip dengan tabung transmitter dan recieveri, yang
dipergunakan dalam proses perubahan badan Nabi Muhammad dari materi
menjadi cahaya jauh lebih mudah. Apalagi proses itu melalui ‘operasi’
lewat pelantara Jibril yang memang makhluk cahaya. Maka semuanya
berjalan dengan lancar sesuai kehendak Allah. Dia-lah yang berkehendak,
sedang Jibril yang melaksanakannya (Mustofa, 2006:28).
Catatan keenam,
yakni dalam kata baaraknaa haulahu, Kami berkahi sekelilingnya.
Perjalanan ini adalah perjalanan yang tak lazim. Oleh karena itu Allah
mempersiapkan semua fasilitas dengan keberkahan untuk menjaga kelancaran
perjalanan sekali dalam sepanjang sejarah manusia.
Nah, disinilah
pentingnya Allah menjaga lingkungan sekitar perjalanan Isra Mi’raj agar
tidak terjadi hal-hal yang merusak. Sebab, jika badan Rasul tiba-tiba
berubah menjadi ‘badan materi’ lagi saat melakukan perjalanan
berkecepatan tinggi itu, maka badannya bisa terurai menjadi
partikel-partikel kecil sub atomik, tidak beraturan lagi. Untuk itulah,
keberkahan itu selalu ada; di setiap tempat di setiap keadaan, bahkan
tak mengenal tempat, waktu, dan keadaan sekalipun.
Catatan ketujuh,
terdapat dalam kata linuriyahu min ayaayaatina, tanda-tanda kebesaran
Allah. Ya, tepat sekali Isra Mi’raj adalah salah satu tanda kebesaran
Allah yang Maha Hebat. Dalam perjalanan itu Rasul menyaksikan
pemandangan yang tidak pernah beliau saksikan sebelumnya. Terutama
ketika melintasi dimensi-dimensi langit yang lebih tinggi pada saat
Mi’raj ke langit ke tujuh. Tanda kebesaran dan keagungan Allah ini
terhampar di jagat raya. Dan dengan tanda-tanda itu, seseorang mukmin
bisa melakukan ‘dzikir sekaligus pikir’ sehingga menghasilkan kedekatan
diri kepada Allah Azza wa Jalla.
Dan kata kunci
yang terakhir adalah innahu huwas samii’ul bashir, sesungguhnya Dia Maha
Mengetahui lagi Maha Melihat. Ini adalah proses penegasan informasi
kalimat sebelumnya. Dengan adanya kalimat ini, seakan-akan Alalh ingin
memberikan jaminan kepada kita bahwa apa yang telah Dia ceritakan dalam
ayat ini adalah benar adanya. Kenapa? Karena berita ini datang dari
Allah, Tuhan yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Maka tak perlu ada
keraguan tentang kisah fenomenal ini (Mustofa, 2006:41).
Penjelasan Teori Eisntein (E= m.c2)
Relativitas,
adalah teori yang saat ini menjadi pusat ilmu pengetahuan. Teori ini
terdiri atas Relativitas Khusus dan Umum. Dua teori ini pun memiliki
sejarah yang berbeda.
Relativitas
Khusus diterima dalam beberapa tahun setelah Albert Einstein
mengumumkannya. Dan ini terjadi di tengah derasnya peristiwa-peristiwa
ilmiah, dan karena ini menjawab pertanyaan yang membingungkan banyak
ilmuwan. Teori ini juga memiliki kegunaan dalam bidang-bidang utama
riset yang dilakukan saat itu, seperti fisika nuklir dan mekanika
kwantum. Saat ini, relativitas khusus menjadi alat sehari-hari bagi para
ahli fisika yang meneliti susunan materi dan gaya yang menyatukannya.
Relativitas Umum
berlaku dalam skala yang jauh lebih besar, pada bintang-bintang,
galaksi, dan ruang angkasa yang luas. Dibutuhkan waktu lebih lama untuk
diterima, karena teori ini tampaknya tidak memiliki kegunaan prakltis.
Einstein menggunakannya untuk menjelaskan kesederhanaan dan tatanan di
balik alam semesta. Teori ini baru dapat diuji tahun 1960-an setelah
akselerator partikel raksasa dan perlatan lain ditemukan menjadi lebih
kuat.
Relativitas
khusus meramalkan bahwa ketika sebuah objek mendekati kecepatan cahaya,
maka akan terjadi hal-hal ganjil sebagai berikut:
1. Waktu melambat:
Ini disebut
dilatasi waktu. Ini diamati tahun 1941 dalam ekperimen partikel atom
berkecepatan tinggi yang disebut muon. Ini juga ditunjukkan tahun 1971,
ketika jam yang amat sangat akurat, diterbangkan dengan cepat keliling
dunia di atas pesawat terbang jet. Setelah dua hari,jam itu berkurang
sepersekian detik dibandingkan dengan jam yang sama di permukaan bumi,
karena jam itu bergerak lebih cepat.
2. Objek mengecil.
Objek yang
bergerak mendekati kecepatan cahaya, akan mengalami pemendekan sesuai
arah geraknya. Kalau roket antariksa bisa bergerak dengan separoh
kecepatan cahaya, panjangnya akan sekitar enam per tujuh panjang aslinya
di landasan luncur. Efek ini sudah diteliti sejak tahun 1890-an.
3. Massa objek bertambah.
Ini artinya objek
akan bertambah berat. Ini sudah diperlihatkan berulang kali dengan
eksperimen partikel yang bergerak dengan kecepatan tinggi seperti
elektron. Dari ide inilah Eistein mengembangkan rumus terkenalnya E =
mc².
Mungkinkah
manusia bisa bergerak secepat cahaya? Seiring bertambahnya massa orang
tersebut, maka gaya yang dibutuhkan untuk membuatnya bergerak lebih
cepat lagi juga terus bertambah. Pada hampir kecepatan cahaya, massa
akan begitu besar sampai gaya yang dibutuhkan untuk memberikan dorongan
ekstra itu akan sangat besar sampai mustahil. Akibatnya kecepatan cahaya
tidak akan benar-benar tercapai.
Dalam A Brief
History of Time-nya, fisikawan Stephen Hawking dengan merendah
mengatakan seluruh model jagat raya kontemporer yang dibangun oleh para
fisikawan/astrofisikawan masa kini (termasuk dirinya, Roger Penrose,
Bekenstein, Carl Sagan dll) berdasarkan pada asumsi bahwa Relativitas
Umum dan Mekanika Kuantum itu benar. Dari statemen ini memang terbuka
peluang bahwa mungkin saja baik Relativitas Umum ataupun Mekanika
Kuantum itu “tidak benar”.
Namun jika kita
merujuk pada fakta-fakta yang ada di jagat raya ini, kita fokuskan ke
Relativitas Umum, ada sangat banyak fenomena yang menunjukkan kesahihan
teori ini. Tak perlu jauh-jauh melangkah ke lubang hitam alias black
hole, fenomena itu merentang mulai dari yang paling sederhana seperti
langit malam yang tetap gelap padahal kita tahu ada milyaran bintang
yang selalu bersinar di sana (paradoks Olber), presesi perihelion
Merkurius (dimana titik perihelion planet ini selalu bergeser dalam tiap
revolusinya, yang secara akumulatif mencapai 43 detik busur per abad),
pembengkokan lintasan cahaya dan gelombang radar di dekat Matahari
seperti ditunjukkan dalam Gerhana Matahari maupun pemuluran waktu tunda
gema radar dari oposisi Venus, hingga melimpahnya foton gelombang mikro
bersuhu amat rendah (2,725 K) yang tersebar homogen di segenap penjuru
jagat raya tanpa terkait dengan kumpulan galaksi maupun bintang-bintang,
foton yang kita kenal sebagai cosmic microwave background radiation.
Dengan bekal
kesahihan Relativitas Umum ini (dan juga kesahihan Mekanika Kuantum)
kita sekarang bisa memperkirakan dengan ketelitian tinggi bagaimana
dinamika jagat raya kita sejak ‘bayi’ hingga sekarang.
Relativitas Umum
menunjukkan bahwa jagat raya kita ini terdiri dari empat dimensi, dengan
tiga dimensi ruang dan satu dimensi waktu (dalam sumbu imajiner) yang
saling mempengaruhi sehingga membentuk entitas baru yang disebut
ruang-waktu (spacetime), dimana disini tak ada lagi waktu mutlak karena
waktu sepenuhnya bergantung kepada ruang, dan sifat ruang-waktu
sepenuhnya bergantung kepada distribusi massa yang ada didalamnya.
Sehingga sifat ruang-waktu di Bumi misalnya, jelas berbeda dengan
ruang-waktu di Matahari ataupun bintang maharaksasa merah Antares
tetangga kita, apalagi dengan bintang neutron dalam inti Crab Nebulae.
Hawking
menggambarkan ruang-waktu dalam jagat raya kita sebagai melengkung mirip
gelembung balon, dengan permukaan balon sebagai ruang-waktu dan
disinilah tempat kedudukan galaksi dan bintang-bintang. Seberapa besar
dimensi jagat raya? Besarnya ~1025 meter (13,7 milyar tahun cahaya).
Dalam tiap meter kubik jagat raya terdapat 400 juta foton namun ‘hanya’
ada 0,4 nukleon (nukleon = proton + neutron, penyusun atom-atom termasuk
yang menyusun tubuh manusia). Cahaya, demikian pula foton pada spektrum
elektromagnetik lainnya, hanya bisa bergerak pada permukaan gelembung
ini meski tetap saja bisa menemukan jarak terpendek untuk menempuh
titik-titik yang terpisah jauh (ini lebih mudah dipahami jika kita
mempelajari trigonometri segitiga bola).
Namun,
Subhanallah, struktur yang luar biasa besarnya ini tidaklah statis. Ia
terus mengembang, dan jika diproyeksikan jauh ke masa silam (tepatnya ke
13,7 milyar tahun silam), kita mengetahui saat itu jagat raya hanyalah
berbentuk titik berdimensi ~10-35 meter dengan densitas 1096 kg/m3 dan
bersuhu 1032 K. Inilah titik singularitas dentuman besar (alias big
bang), awal lahirnya sang waktu. Apa isinya? Campuran quark dan lepton,
partikel-partikel elementer penyusun nukleon, yang secara kasar bisa
disebut “plasma” atau “asap” (bandingkan dengan Q.S. Fushshilat : 11).
Dari titik awal ini jagat raya dengan cepat mengembang hingga pada 1
detik pertama saja dimensinya telah 10 tahun cahaya dan quark-quark
didalamnya telah mulai membentuk nukleon. Dalam 3 – 20 menit pasca big
bang, nukleon-nukleon mulai bereaksi membentuk Detron (inti Deuterium),
Helium dan sebagainya sehingga komposisi jagat raya terdiri dari 75 %
Hidrogen dan 24 % Helium, yang masih bertahan hingga kini. Namun
dibutuhkan waktu 300.000 tahun pasca big bang hingga jagat raya ini
benar-benar dingin sehingga proton bisa bergabung dengan elektron
membentuk atom Hidrogen, demikian pula detron bergabung dengan elektron
membentuk atom Deuterium dan sebagainya, tanpa terpecahkan kembali oleh
foton (note : menariknya, coba bandingkan angka 300.000 tahun ini dengan
Q.S. al-Ma’aarij : 4 dan Q.S. as-Sajdah : 4 secara bersama-sama).
Tafsir Ayat Isra’ Mi’raj
Ayat Isra’ Mi’raj yang sering kita dengar adalah :
سُبْحَانَ الَّذِي
أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى
الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ
آَيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Artinya: “Maha
Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al
Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi
sekelilingnya847 agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari
tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui.”
1. Subhana =
diartikan Maha Suci. Tetapi yg pas bisa kita pakai arti Maha Penggerak
atau Maha Dinamis. Subhana bisa juga berasal dari kata ‘sabaha‘ artinya
berenang. Mashdar lainnya adalah Tasbih, yang berarti gerak yang
dinamis. Hakekat dari seluruh materi di alam semesta ini adalah
bergerak, ber-rotasi dan ber-revolusi. Salah tiga dari materi alam
semesta adalah Matahari, Bumi dan Rembulan. Rembulan atau Bulan
ber-rotasi dan ber-revolusi kepada Bumi. Bumi ber-rotasi dan
ber-revolusi kepada Matahari. Matahari ber-rotasi dan ber-revolusi
kepada pusat Bimasakti. Dan begitu seterusnya…
Jadi peristiwa Isra’ wal Mi’raj adalah fenomena pergerakan dan sangat dinamis, bukan sekedar aktifitas statis.
2. Asra =
memperjalankan. Kata ini bentuk transitif (muta’addiy) dari kata saraa =
berjalan. Di sini jelas bahwa Alloh Yang Maha Dinamis yang menentukan
gerak dan diamnya, atau berjalan dan berhentinya hamba-Nya yakni
Rasulullah SAW.
Jadi peristiwa Isr’a wal Mi’raj merupakan kehendak aktif Alloh SWT.
Berapa jauhnya perjalanan?
Secara manusiawi, jarak tempuh Isra’ adalah :
Mekkah – Palestina, sekitar 1.200 km. Selanjutnya, perjalanan Mi’raj seperti dijelaskan dalam surat An-Najm yang terbagi dalam dua tahap:
Secara manusiawi, jarak tempuh Isra’ adalah :
Mekkah – Palestina, sekitar 1.200 km. Selanjutnya, perjalanan Mi’raj seperti dijelaskan dalam surat An-Najm yang terbagi dalam dua tahap:
tahap 1: Gelombang ke Partikel
Ayat 1-11 surat An-Najm, menjelaskan perihal transfer dimensi dari Jibril kepada Rasululloh SAW yakni transfer dimensi cahaya kepada dimensi suara.
Ayat 1-11 surat An-Najm, menjelaskan perihal transfer dimensi dari Jibril kepada Rasululloh SAW yakni transfer dimensi cahaya kepada dimensi suara.
tahap 2: Partikel ke Geombang
Selanjutnya ayat ke 12 – 17 surat An-Najm, adalah menjabarkan praktikum Rasululloh SAW untuk melakukan transfer balik dari dimensi suara atau partikel menuju ke dimensi cahaya atau ‘gelombang elektromagnetik’.
Selanjutnya ayat ke 12 – 17 surat An-Najm, adalah menjabarkan praktikum Rasululloh SAW untuk melakukan transfer balik dari dimensi suara atau partikel menuju ke dimensi cahaya atau ‘gelombang elektromagnetik’.
Dan perjalanan
saat itu tidak mengenal lagi hukum fisika. Dimensi waktu telah
terlampuai. Jangkauan Rasululloh SAW seperti dikupas Pak Agus Musthofa
dalam buku2nya, pandangan Rasululloh mampu mencakup semua dimensi di
bawah layer malaikat.
Kalau Mi’raj, maka secara masnusiawi Rasul SAW akan lepas dari Bumi. Dan lebar Bumi sekitar 12.700 km;
Lalu, kita manusia akan membayangkan, Rasul SAW lepas dari Tata Surya kita. Dan lebarnya 9 milyar km.
Lalu, kita manusia akan membayangkan, Rasul SAW lepas dari Tata Surya kita. Dan lebarnya 9 milyar km.
Selengkapnya Tour de universe ada di [ Cosmic Distance Scales ]
3. ‘Abdihi =
hamba-Nya. Hamba adalah lemah, hamba adalah tidak berdaya. Di sini
jelas, bahwa isra’ wal Mi’raj itu bukan kemauan Rasulullah SAW, karena
beliau sebagai hamba yang hanya bergantung atas kehendak Alloh SWT dalam
melakukan perjalannya.
Jadi dalam Isr’a wal Mi’raj, Rasululloh SAW tidak berjalan sendiri, tetapi di’bantu’ Alloh dalam melakukan perjalanan itu.
4. Lailan = Malam
hari. Malam adalah simbol kebalikan dari siang. Dua istilah yang sangat
erat dengan konsep waktu. Mengapa harus malam.?
Malam memiliki
keheningan, malam menyibakkan kegelapan, yang merupakan arah dari
pandangan mata yang tidak pernah akan berujung. Dan perjalanan Isra’ wal
Mi’raj adalah perjalanan Rasul SAW yang tidak mampu dijejaki ujung
finalnya. Alam semesta nan luas …
5. Masjidil
Haram-Masjidil Aqsha = Dua starting point yang diberkahi. Dua lokasi
yang dipilih Alloh dengan titik koordinat yang terpisah antara batas
utara pergerakan tahunan Matahari. Dua lokasi sebagai kiblat pertama dan
terakhir. Dan inilah tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran-Nya. Kalau
kita mau berfikir.
Peristiwa
isra' mi'raj yang menyebut-nyebut tujuh langit mau tak mau mengusik
keingintahuan kita akan hakikat langit, khususnya berkaitan dengan tujuh
langit yang juga sering disebut-sebut dalam Al-Qur'an.
Bila
kita dengar kata langit, yang terbayang adalah kubah biru yang
melingkupi bumi kita. Benarkah yang dimaksud langit itu lapisan biru di
atas sana dan berlapis-lapis sebanyak tujuh lapisan? Warna biru hanyalah
semu, yang dihasilkan dari hamburan cahaya biru dari matahari oleh
partikel-partikel atmosfer. Langit (samaa' atau samawat) berarti segala
yang ada di atas kita, yang berarti pula angkasa luar, yang berisi
galaksi, bintang, planet, batuan, debu dan gas yang bertebaran. Dan
lapisan-lapisan yang melukiskan tempat kedudukan benda-benda langit sama
sekali tidak ada.
Bilangan
'tujuh' sendiri dalam beberapa hal di Al-Qur'an tidak selalu menyatakan
hitungan eksak dalam sistem desimal. Di dalam Al-Qur'an ungkapan
'tujuh' atau 'tujuh puluh' sering mengacu pada jumlah yang tak
terhitung. Misalnya, di dalam Q.S. Al-Baqarah:261 Allah menjanjikan:
"Siapa yang menafkahkan hartanya di jalan Allah ibarat menanam sebiji benih yang menumbuhkan TUJUH tangkai yang masing-masingnya berbuah seratus butir. Allah MELIPATGANDAKAN pahala orang-orang yang dikehendakinya...."
Juga di dalam Q.S. Luqman:27:
"Jika seandainya semua pohon di bumi dijadikan sebagai pena dan lautan menjadi tintanya dan ditambahkan TUJUH lautan lagi, maka tak akan habis Kalimat Allah...."
Jadi
'tujuh langit' lebih mengena bila difahamkan sebagai tatanan
benda-benda langit yang tak terhitung banyaknya, bukan sebagai
lapisan-lapisan langit.
Lalu,
apa hakikatnya langit dunia, langit ke dua, langit ke tiga, ... sampai
langit ke tujuh dalam kisah isra' mi'raj? Mungkin ada orang mengada-ada
penafsiran, mengaitkan dengan astronomi. Para penafsir dulu ada yang
berpendapat bulan di langit pertama, matahari di langit ke empat, dan
planet-planet lain di lapisan lainnya. Kini ada sembilan planet yang
sudah diketahui, lebih dari tujuh. Tetapi, mungkin masih ada orang yang
ingin mereka-reka. Kebetulan, dari jumlah planet yang sampai saat ini
kita ketahui, dua planet dekat matahari (Merkurius dan Venus), tujuh
lainnya --termasuk bumi-- mengorbit jauh dari matahari. Nah, orang
mungkin akan berfikir langit dunia itulah orbit bumi, langit ke dua
orbit Mars, ke tiga orbit Jupiter, ke empat orbit Saturnus, ke lima
Uranus, ke enam Neptunus, dan ke tujuh Pluto. Kok, klop ya. Kalau
begitu, Masjidil Aqsha yang berarti masjid terjauh dalam QS. 17:1, ada
di planet Pluto.
Dan
Sidratul Muntaha adalah planet ke sepuluh yang tak mungkin terlampaui.
Jadilah, isra' mi'raj dibayangkan seperti kisah Science Fiction,
perjalanan antar planet dalam satu malam. Na'udzu billah mindzalik.
Saya
berpendapat, pengertian langit dalam kisah isra' mi'raj bukanlah
pengertian langit secara fisik. Karena, fenomena yang diceritakan Nabi
pun bukan fenomena fisik, seperti perjumpaan dengan ruh para Nabi.
Langit dan Sidratul Muntaha dalam kisah isra' mi'raj adalah alam ghaib
yang tak bisa kita ketahui hakikatnya dengan keterbatasan ilmu manusia.
Hanya Rasulullah SAW yang berkesempatan mengetahuinya. Isra' mi'raj
adalah mu'jizat yang hanya diberikan Allah kepada Nabi Muhammad SAW.
Makna pentingnya
Bagaimanapun
ilmu manusia tak mungkin bisa menjabarkan hakikat perjalanan isra'
mi'raj. Allah hanya memberikan ilmu kepada manusia sedikit sekali (QS.
Al-Isra: 85). Hanya dengan iman kita mempercayai bahwa isra' mi'raj
benar-benar terjadi dan dilakukan oleh Rasulullah SAW. Rupanya,
begitulah rencana Allah menguji keimanan hamba-hamba-Nya (QS.
Al-Isra:60) dan menyampaikan perintah salat wajib secara langsung kepada
Rasulullah SAW.
Makna
penting isra' mi'raj bagi ummat Islam ada pada keistimewaan penyampaian
perintah salat wajib lima waktu. Ini menunjukkan kekhususan salat
sebagai ibadah utama dalam Islam. Salat mesti dilakukan oleh setiap
Muslim, baik dia kaya maupun miskin, dia sehat maupun sakit. Ini berbeda
dari ibadah zakat yang hanya dilakukan oleh orang-orang yang mampu
secara ekonomi, atau puasa bagi yang kuat fisiknya, atau haji bagi yang
sehat badannya dan mampu keuangannya.
Salat
lima kali sehari semalam yang didistribusikan di sela-sela kesibukan
aktivitas kehidupan, mestinya mampu membersihkan diri dan jiwa setiap
Muslim. Allah mengingatkan:
"Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Qur'an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Ankabut:45)
Epilog
Begitu dahsyat
peristiwa Isra Mi’raj hingga meninggalkan kesan mendalam untuk seluruh
umat manusia hingga kini. Namun, dari tafsiran yang telah dipaparkan di
atas, sekira dengan obat sebagai penawar penyakit, begitu pun hikmah
perjalanan ini sebagai ikhtiar pembangun jiwa-jiwa yang sedang
kebingungan, atau malah ‘mati’ dalam kebingungan.
Siapa pun ia jika
mengira akal adalah Tuhan yang patut disembah, sains adalah Maha Guru
tertinggi yang patut dipuji, maka ia bagai berada dalam dimensi yang
terus memenjaranya untuk tidak menemukan kebenaran hakiki. Sebab, Kant
pernah berkata (dalam avant propos Capra, 2000:xxii), bahwa ia secara
meyakinkan dan sudah membuktikan jika nalar teoritis sama sekali tak
mampu menangkap kebenaran metafisika. Dengan kata lain, sains tak bisa
membuktikan Tuhan ada, juga tidak bisa membuktikan Tuhan tidak ada.
Dengan ini, Kant sebenarnya hendak membatasi ekspansi sains, menyisakan
ruang bagi iman.
Banyak tafsiran
yang diutarakan para ulama terkait berita kontroversial ini. Namun,
perlu menjadi catatan bahwa terlepas dari semua tafsiran: aqidah, sains,
bahkan tasawuf sekalipun, ia ‘menggenjot’ penyemangat jiwa. Sebab
Muhammad mampu ‘berlari’ menjadi hamba yang Insan Kamil untuk melesat
menuju Tuhannya. Ia membuka diri untuk disesuaikan dan direkonstruksi
demi menyempurnakan panggilan spesial Tuhannya.
Bukan saja
Muhammad yang bisa ‘berlari menuju Tuhannya. Anda, saudara, dan kita
semua bisa ‘berlari’ mengejar hakikat kecintaan kepada Tuhan. Hidup
terlalu singkat untuk diisi dengan pergi menuju tuhan dengan cara
berjalan lanjut Kang Jalal (2008:69). Kita harus ‘berlari’ sebelum waktu
kita di dunia habis dan berakhir. ‘Berlari’ dari segala yang menarik
perhatian kita, menuju kepada yang satu, Allah. Sebab, “Barangsiapa yang
mendekati Allah sesiku, Dia akan mendekatinya sehasta. Barangsiapa
mendekati Allah sambil berjalan, Dia akan menyambutnya sambil berlari”
(HR. Ahmad dan Thabrani). Jika begitu, bagaimana jika kita menuju-Nya
dengan ‘berlari’, seberapa dekatkah Ia kepada hamba-Nya.
Kenyataan ini
menuntun kita pada adanya evolusi dari hal yang sifatnya material menuju
hal yang immaterial. Membimbing kita untuk Mi’raj atau pendakian menuju
tahap demi tahap hingga sampai ke hakikat kecintaan kepada-Nya.
Keberadaan hierarki dan proses pendakiannya yang merupakan ajaran
tarekat yang dicontohkan Plotinus sebagai tokoh madzhab neoplatonisme
(Purwanto, 2008:383). Menurutnya semua berasal dari Yang Satu atau to
Hen dan semuanya berhasrat untuk kembali kepada Yang Satu. Manusia dapat
melaksanakan pengembalian kepada Yang Satu dengan upaya menempuh tahap
demi tahap, hingga akhirnya mampu ‘berlari’ menembus penyatuan dengan
Yang Satu, atau dalam istilah Plotinus disebut ekstasis.
Overall, maka
bersegeralah ‘berlari’ untuk Mi’raj menuju Tuhan. Sebab Ia telah
berfirman: “Oleh karena itu, bersegeralah berlari kembali menuju Allah”
(QS.Al dzariyat:50). Mi’raj untuk menembus batas-batas kekotoran sifat
manusia, menjemput Cahaya Ke-Tuhanan yang hanya diberikan bagi mereka
yang spesial. Mereka yang berhasil menjadi pengikut Muhammad yang tidah
hanya mengagumi dalam decak kagum tanpa penghayatan, tetapi penghayatan
dalam pengamalan yang ikhlas.
Perjalanan yang
ditempuh dari pecinta menuju yang dicintainya, hingga keadaan ini berada
dalam vakum penyatuan. Cerminan penyatuan itu tertuang dalam sebuah
hadits qudsi: “Tidak henti-hentinya hamba-hamba-Ku mendekatkan diri
kepada–Ku dengan melakukan ibadah-ibadah nawafil, hingga Aku
mencintainya. Kalau Aku telah mencintainya, Aku akan menjadi telinganya
yang dengannya ia mendengar; Aku akan menjadi matanya yang dengannya ia
melihat; Aku akan menjadi tangannya yang dengannya ia memegang; Aku akan
menjadi kakinya yang dengannya ia berjalan. Jika ia bermohon kepada-Ku,
Aku akan mengabulkan permohonannya. Jika ia berlindung kepada-Ku, Aku
akan melindungi dirinya” (HR. Bukhari).
Daftar Pustaka
Al Quran dan terjemahnya.
Agus Mustofa, 2006, Terpesona di Sidratul Muntaha, Surabaya, Padma.
, 2008, Pusaran Energi Kabah, Surabaya, Padma.
Agus Purwanto, 2008, Ayat-ayat Semesta, Bandung, Mizan Media Utama.
Ahmad Fuad Pasya, 2004, Dimensi Sains Al Quran, Solo, Tiga Serangkai.
Bahaudin Mudhary, 1996, Setetes Rahasia Alam Tuhan, Surabaya, Pustaka Metafisika.
Fritjrof Capra, 2000, The Tao of Physics, Yogyakarta, Jalasutra.
Jalaluddin Rakhmat, 2008, The Road to Allah, Bandung, Mizan Media Utama.
M. Quraish Shihab, 1993, Membumikan Al Quran, Bandung, Mizan.
Syekh Yusuf al-Hajj Ahmad, 2006, Al Quran Kitab Sains dan Media, Jakarta, Grafindo.
Sumber :
1. http://smayani.wordpress.com
2. media.isnet.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar