Jumat, 17 Maret 2017

Misteri Pemeluk Islam Pertama di Nusantara

Sejarawan asal Italia, G. E. Gerini di dalam bukunya Futher India and Indo-Malay Archipelago, mencatat bahwa sekitar tahun 606-699M telah banyak masyarakat Arab, yang bermukim di Nusantara. Mereka masuk melalui Barus dan Aceh di Swarnabumi utara. Dari sana menyebar ke seluruh Nusaantara hingga ke China selatan.
Sekitar tahun 625M, sahabat Rasulullah Ibnu Mas’ud bersama kabilah Thoiyk, datang dan bermukim di Sumatera. Di dalam catatan Nusantara, Thoiyk disebut sebagai Ta Ce atau Taceh (sekarang Aceh). (Sumber : Akar Melayu, Kerajaan Melayu Islam Terawal di NusantaraKesultanan Majapahit, Realitas Sejarah Yang Disembunyikan [Hermanus Sinung Janutama]).


Berdasarkan catatan-catatan yang ada, mari kita coba mengungkap misteri, siapa sesungguhnya pemeluk Islam pertama asal Tanah Jawi.
1. Penganut Islam pertama, yang berasal dari Nusantara, kemungkinan adalah Para Leluhur Bangsa Aceh, yang ikut serta menghantar Ibnu Mas’ud ra. bersama kabilahnya.
Di dalam buku Arkeologi Budaya Indonesia, karangan Jakob Sumardjo, diperoleh informasi,  berdasarkan catatan kekaisaran Cina, diberitakan tentang adanya hubungan diplomatik dengan sebuah kerajaan Islam Ta Shi di Nusantara.
Bahasa Cina menyebut muslim sebagai Ta Shi. Ia berasal dari kata Parsi Tajik atau kata arab untuk Kabilah Thayk (Thoiyk)Kabilah Thoiyk ini adalah kabilahnya Ibnu Mas’ud r.a, salah seorang sahabat Nabi, seorang pakar ilmu Alquran (Sumber : Arkeologi Semiotik Sejarah Kebudayaan Nuswantara).
aceh1
2. Penguasa Nusantara, yang pertama memeluk Islam adalah Raja Sriwijaya yang bernama Sri Indravarman.
Pada sekitar awal abad ke 8, orang-orang Persia Muslim mulai berdomisili di Sriwijaya akibat mengungsi dari kerusuhan Kanton.
Dalam perkembang selanjutnya, pada sekitar tahun 717 M, diberitakan ada sebanyak 35 kapal perang dari dinasti Umayyah berkunjung ke Sriwijaya,  dan semakin mempercepat perkembangan Islam di kerajaan tersebut (Sumber : Sejarah Umat Islam; Karangan Prof. Dr. HAMKA).
Ditenggarai karena pengaruh kehadiran bangsa Persia muslim, dan orang muslim Arab yang banyak berkunjung di Sriwijaya, maka raja Srivijaya yang bernama Sri Indravarman masuk Islam pada tahun 718M (Sumber : Ilmu politik Islam V, Sejarah Islam dan Umatnya sampai sekarang; Karangan H Zainal Abidin Ahmad, Bulan Bintang, 1979).
Sehingga sangat dimungkinkan kehidupan sosial Sriwijaya adalah masyarakat sosial yang di dalamnya terdapat masyarakat Buddha dan Muslim sekaligus.
Tercatat beberapa kali raja Sriwijaya berkirim surat ke khalifah Islam di Syiria. Bahkan disalah satu naskah surat adalah ditujukan kepada khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720M) dengan permintaan agar kholifah sudi mengirimkan da’i ke istana Srivijaya (Sumber : Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nsantara abad XVII & XVIII; Karangan Prof. Dr. Azyumardi Azra MA) (Sumber : Wikipedia : Kerajaan Melayu Kuno dan Hadits Nabi, Negeri Samudra dan Palembang Darussalam).

3. Penduduk pulau Jawa, yang pertama memeluk Islam adalah Pangeran Jay Sima (Suku Jawa) dan Rakeyan Sancang (Suku Sunda).
Pangeran Jay Sima…
Hubungan komunikasi antara tanah Jawa dan Jazirah Arab, sudah terjalin cukup lama. Bahkan di awal Perkembangan Islam, telah ada utusan-utusan Khalifah, untuk menemui Para Penguasa di Pulau Jawa.
Pada tahun 654M semasa pemerintahan Khilafah Islam Utsman bin Affan, beliau mengirimkan utusannya Muawiyah bin Abu Sufyan ke tanah Jawa, yakni ke Jepara (pada saat itu namanya Kalingga).
Kalingga pada saat itu, di pimpin oleh seorang wanita, yang bernama Ratu Sima. Dan hasil kunjungan duta Islam ini adalah, Pangeran Jay Sima, putra Ratu Sima dari Kalingga, masuk Islam (Sumber : Ilmu politik Islam V, Sejarah Islam dan Umatnya sampai sekarang; Karangan H Zainal Abidin Ahmad, Bulan Bintang, 1979). ( Sumber : Islam di Indonesia dan Jemaah Haji, Tempo Doeloe)
Rakeyan Sancang…
Mengenai siapa pemeluk Islam pertama di tataran Sunda, menurut Pengamat sejarah Deddy Effendie, adalah seorang Pangeran dari Tarumanegara, yang bernama Rakeyan Sancang.
Rakeyan Sancang disebutkan hidup pada masa Imam Ali bin Abi Thalib. Rakeyan Sancang diceritakan, turut serta membantu Imam Ali dalam pertempuran menalukkan Cyprus, Tripoli dan Afrika Utara, serta ikut membangun kekuasaan Muslim di Iran, Afghanistan dan Sind (644-650 M) (Sumber : Islam masuk ke Garut sejak abad 1 Hijriah dan Jemaah Haji, Tempo Doeloe).
WaLlahu a’lamu bishshawab
Catatan Penambahan
1. Salah satu bukti arkeologis kedatangan Islam di Nusantara pada abad pertama Hijriyah adalah, ditemukan komplek pemakaman Mahligai, yang terletak di Kecamatan Barus Induk, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.
SAMSUNG DIGIMAX A503
Salah satu makam di komplek ini adalah makam Tuan Syekh Rukunuddin, beliau wafat malam 13 Syafar, Tahun 48 Hijiriah (sumber : makam mahligai Barus).


 

Kisah Syekh Subakir, Penumbal Tanah Jawa

  Kisah Syekh Subakir, Penumbal Tanah Jawa

                                               Petilasan Syekh Subakir (Istimewa)


Tak banyak orang tahu dan mengenal nama Syekh Subakir. Padahal Syekh Subakir adalah salah seorang ulama Wali Songo periode pertama yang dikirim khalifah dari Kesultanan Turki Utsmaniyah Sultan Muhammad I untuk menyebarkan agama Islam di wilayah Nusantara.

Syekh Subakir konon adalah seorang ulama besar yang telah menumbal tanah Jawa dari pengaruh negatif makhluk halus saat awal penyebaran ajaran Islam di nusantara.

Kisahnya dimulai saat Sultan Muhammad I, bermimpi mendapat wangsit untuk menyebarkan dakwah Islam ke tanah Jawa.

Adapun mubalighnya diharuskan berjumlah sembilan orang. Jika ada yang pulang atau wafat maka akan digantikan oleh ulama lain asal tetap berjumlah sembilan.

Sehingga dikumpulkanlah beberapa ulama terkemuka dari seluruh dunia Islam waktu itu. Para ulama yang dikumpulkan tersebut mempunyai keahlian masing-masing. Ada yang ahli tata negara, berdakwah, pengobatan, tumbal atau rukyah, dan lain-lain.

Lalu dikirimlah beberapa ulama ke Nusantara atau tanah Jawa. Namun sudah beberapa kali utusan dari Kesultanan Turki Utsmaniyah yang datang ke tanah Jawa, untuk menyebarkan agama Islam tapi pada umumnya mengalami kegagalan.

Penyebabnya masyarakat Jawa saat itu sangat memegang teguh kepercayaannya. Sehingga para ulama yang dikirim mendapatkan halangan karena meskipun berkembang tetapi ajaran Agama Islam hanya dalam lingkungan yang kecil, tidak bisa berkembang secara luas.

Selain itu konon, Pulau Jawa saat itu masih merupakan hutan belantara angker yang dipenuhi makhluk halus dan jin-jin jahat.

Lalu diutuslah Syekh Subakir ulama asal Persia yang ahli dalam merukyah, ekologi, meteorologi dan geofisika ke tanah Jawa.

Beliau diutus secara khusus menangani masalah-masalah gaib dan spiritual yang dinilai telah menjadi penghalang diterimanya Islam oleh masyarakat Jawa ketika itu.

Berdasarkan Babad Tanah Jawa, setelah sampai ke nusantara, Syekh Subakir yang menguasai ilmu gaib dan dapat menerawang makhluk halus mengetahui penyebab utama kegagalan para ulama pendahulu dalam menyebarkan ajaran Islam karena dihalangi para jin dan dedemit penunggu tanah Jawa.

Para jin, dedemit dan lelembut tersebut bisa merubah wujud menjadi ombak besar yang mampu menenggelamkan kapal berikut penumpangnya dan menjadi angin puting beliung yang mampu memporakporandakan apa saja yang berada di depannya.

Selain itu para jin kafir dan bangsa lelembut tersebut juga bisa berubah wujud menjadi hewan buas yang mencelakakan para ulama pendahulu tersebut
GUS MUNIF JAZULI,


 

 
 
 
 
 
 
 
Meneladani seorang ulama tak akan ada habisnya. Selalu saja terselip uswah di setiap sudut kehidupannya. Sekecil apapun yang diperbuat, di balik itu semua akan ada hikmah yang dapat dipetik oleh umat. Dan mungkin itulah yang disinyalir dalam hadis Nabi, bahwa ulama adalah pewaris para Nabi. Bukan mewarisi harta, dirham dan dinar, tapi ilmu dan keteladanan.
Kiai yang Nyentrik
KH. Munif Djazuli adalah putra kelima KH. Achmad Djazuli Usman, pendiri pondok pesantren Al-Falah Ploso Kediri. Sosok kiai yang selalu terlihat berpenampilan nyentrik. Mungkin itu yang bisa digambarkan dari seorang KH. Munif Djazuli, yang juga sering diungkapkan oleh para tokoh. Dari cara berpakaian, mungkin banyak orang yang menilai bahwa Gus Munif selalu berpenampilan dengan pakaian-pakaian yang juga selalu mewah. Namun sejatinya, menurut Ning Eva, putri sulung KH. Munif Djazuli, beliau berpenampilan sedemikian itu bukanlah untuk bermewah-mewahan saja, tapi di balik itu, agar kita tidak sampai dikecilkan, diremehkan hanya karena persoalan penampilan saja. Sehingga segala yang beliau kenakan itu tak lain dan tak bukan adalah untuk ngajeni diri sendiri, agar dalam berdakwah di tengah masyarakat -apalagi masyarakat elit- maka kita akan tetap bisa berdakwah bukan sebagai peminta, tapi penyeru agama Allah yang mulia.
Hal ini mengingatkan kita pada sosok Waliyullah besar yakni Imam Abi Hasan Ali bin abdillah bin Abdil Jabbar Asy Syadzili. Seorang waliyullah agung pendiri tarekat Syadziliyah yang terkenal dengan kekayaan hartanya. Bahkan diceritakan 100 keledaipun tak mampu membawa kunci gudang dan rumahnya karena saking banyaknya. Diceritakan pula bahwa seorang waliyullah dari Jawa pernah menyuruh seorang santrinya untuk mengecek kewalian Imam Syadzili. Santri itu disuruh datang ke Maroko dan bertemu Imam Syadzili. Dia berkata pada Imam Syadzili : “mengapa engkau seorang waliyullah besar masih mau mengumpulkan harta sedemikian banyaknya?, padahal trademark seorang waliyullah itu adalah meninggalkan kehidupan mewah dan memilih kehidupan yang zuhud dan sederhana”.
Pada saat itu Imam Syadzili tak berkata apa-apa, namun beliau mengajak santri itu untuk menaiki kereta kencana yang sangat mewah. Diatas kereta kencana itu si santri disuruh memegang gelas yang berisi penuh dengan air. Dengan gagahnya Imam Syadzili menyopir kereta kencana itu dengan cepat. Sehingga gelas berisi penuh air yang ada ditangan si santri tumpah kemana-mana. Setelah selesai keliling kota, giliran Imam Syadzili yang memegang gelas berisi air penuh, dan si santri yang menyetir kereta kencana dengan cepat. Namun apa yang terjadi?, meskipun kereta kencana melaju dengan cepat tetapi gelas yang berisi penuh air yang ada ditangan Imam Syadzili utuh tk setetespun yang tumpah.
Seusai kejadian itu, sang santri langsung mencium tangan Imam Syadzili sambil menangis dan berkata : “Maafkan saya wahai waliyullah, kini aku sadar bahwa kemegahan dunia yang engkau miliki tidak pernah ada dalam hatimu. Semua hanya untuk kemaslahatan umat saja. Tidak pernah mengotori hati sucimu sehingga lalai kepada Allah”.
Kiai Munif, juga sosok yang sangat cerdas, menurut beberapa saksi, termasuk putra-putrinya, beliau itu menguasai banyak bahasa, mulai Arab, Inggris, Cina, Mandarin, Jepang, Prancis, Spanyol dan sebagaianya. Entah dari mana beliau belajar bahasa-bahasa dunia itu, padahal jika dirunut ke belakang riwayat pendidikan beliau, dulu sekolah rakyat (SR) saja beliau tidak lulus. Kecakapan beliau dengan menggunakan bahasa-bahasa –yang secara logika hanya bisa dilakukan oleh orang yang pernah mempelajarinya- membuat banyak kalangan menyebut bahwa Kiai Munif adalah sosok yang sangat santun dalam berbahasa, tak ayal beliau sering menjadi penengah di antara keluarganya, selalu bisa menyatukan, memberi jalan tengah yang bisa diterima oleh semuanya. Hal ini mengigatkan pada mendiang kakaknya, KH Chamim Djazuli, Gus Miek. Tak pernah diketahui riwayat pendidikannya, tapi sangat mumpuni dalam keilmuannya, baik ilmu agama maupun ilmu-ilmu lainnya. Mungkin inilah satu ilmu ladunni yang diberikan Allah SWT kepada Gus Munif.
Dalam berdakwah, beliau juga sangat nyentrik. Beliau tak pernah membeda-bedakan siapa saja. Semua jika memang membutuhkan untuk diarahkan, maka akan beliau beri arahan. Diceritakan dulu, pernah Prabowo, ketua umum partai Gerindra, sempat ingin sowan kepada Kiai Munif, tapi beliau memberi syarat, Prabowo harus datang sendiri tanpa pengawal, sebab kebiasaan para pejabat jika ke mana saja selalu diiringi pengawal. Kemudian Prabowo pun mengiyakan. Tibalah hari, Prabowo sowan pada kiai Munif. Memang Prabowo datang tanpa pengawal, namun Kiai Munif tidak bisa dibohongi, beliau tahu bahwa ternyata Prabowo tetap membawa pengawal, hanya saja dengan cara menyamar, ada pengawal yang menyamar tukang becak, pedagang dan sebagainya. Akhirnya Prabowo pun meminta maaf pada kiai Munif karena dia tidak menepati janjinya.
Sosok yang Sederhana
Mungkin banyak yang mengira, KH. Munif Djazuli, yang selalu berpenampilan stylist, pengampu pondok pesantren Queen Al-Falah yang begitu besar dan mewah adalah seorang hedonis. Namun asumsi itu tidaklah benar, karena ternyata beliau adalah sosok yang sangat sederhana. Bahkan menurut cucu KH Nurul Huda Djazuli, kakak KH MUnif Djazuli, Agus Nailil Author, KH Munif Djazuli itu tidak memiliki ndalem (rumah). Beliau dan ketiga belas putranya hanya tinggal dalam sebuah kamar yang letaknya di antara kamar-kamar para santri. Jadi bukan bentuk rumah yang beliau miliki untuk tempat tinggal, hanya kamar.
Hingga karena itu, Kiai Munif menjadi sosok yang lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam kamar. Kamar yang selalu dalam keadaan gelap gulita, tanpa secercah cahaya. Mungkin dalam keadaan sunyi inilah beliau lebih bisa untuk bertafakur dan mendekat kapada Allah. Sungguh cermin kehidupan kiai besar yang jauh dari gemerlap dunia.
Dalam hidangan makanan, beliau juga sangat sederhana. Jangan dibayangkan di meja makan beliau tersaji berbagai menu makanan, yang ada hanya makanan-makanan sederhana, seadanya yang cukup untuk penyuplai gizi sebagai bekal ibadah saja. Dan beliau juga menerapkan hidup sederhana ini ketika menyambut para tamu besarnya. Pernah saat itu mantan gubernur Jatim Imam Utomo, dan wakil gubernur Jatim saat ini Gus Ipul datang sowan. Kiai Munif hanya menghidangkan sajian sederhana, makanan yang beliau beli di depan pondok. Ini tak lain adalah untuk memberikan teladan betapa hidup itu tidak perlu bermewah-mewahan, cukup apa yang cukup untuk bekal beribadah saja.
Kesederhanaan ini selalu beliau tanamkan pada putra-putrinya, melalui cermin kehidupan beliau sehari-hari. Bahkan sempat ada yang menawarkan pada beliau agar putra-putrinya dibangunkan sebuah rumah, tapi beliau hanya menjawab, “Biar, sudah saya pasrahkan kepada Allah.” Bukan karena tidak mampu untuk membangun rumah yang mewah. Bahkan andai ingin membangun istana beliau akan bisa. Namun beliau lebih memilih hidup sederhana. Dan mempersembahkan semua harta yang dimiliki hanya untuk umat saja. Bahkan sampai menutup mata, semua sawah, dan apa yang beliau miliki semua diberikan kepada orang lain.
Sosok Yang Bersahaja
Untuk mempersembahkan cinta kasih beliau terhadap sang Ibu, Nyai Radliyah, Kiai Munif –atas saran sang Ibu- mendirikan pondok pesantren Queen Al-Falah yang terletak di sebelah barat pondok pesantren induk Al-Falah. Nama Queen sendiri –menurut penuturan Kiai Munif-diambil dari potongan ayat “quu anfusakum wa ahliikum naroo”. Namun menurut Ning Eva, nama Queen yang artinya ratu itu, adalah untuk memuliakan para pemegang Al-Qur’an, memuliakan ibu, para wanita, menjadikannya ratu. Dan seiring perjalanan waktu, pondok pesantren Queen berkembang menjadi sebuah pesantren yang menampung santri yang ingin sekolah formal.
Betapa perhatian Kiai Munif terhadap keluarganya, para putra-putri, sangat luar biasa. Beliau bahkan sering menyuruh para mufattiys, atau semacam guru privat untuk mengajari putra-putri beliau. Dalam prinsip beliu, yang paling penting dalam hidup ini adalah adab, budi pekerti, tata karma. Ilmu atau kepandaian itu nomor sekian. Sehingga beliau sendiri selalu mencerminkan budi pekerti yang luhur dalam kesehariannya, sabar, teguh, tidak pernah mengeluh. Bahkan dalam kondisi kritis –ketika akan dibawa ke rumah sakit Dr. Soetomo Surabaya- dan kebetulan saat itu satu di antara beberapa keponakan yang mengantarkan lupa tidak memakai peci, dengan tegas beliau menegur “Wes bosen ta dadi santri?” sontak, semua pun takut, dan merasa untung bagi yang waktu itu memakai peci. Beliau benar-benar sangat memperhatikan bagaiamana etika seorang santri, terlebih keluarganya. Jangan sampai seorang santri melepaskan identitas kesantriannya.
Sungguh, telaga teladan yang tak akan habis jika kita meminumnya. Terus meneladani seorang kiai, untuk melanjutkan estafet pewaris para Nabi. Wallahu a’lam.

KH. Zaeinuddin Mojosari   Wali Mastur

TOKOH : KH. Zaeinuddin Mojosari Wali Mastur
Mbah KH. Zainuddin adalah ulama besar Nusantara yang “paling tidak terekspose” bila dibanding dengan ulama-ulama seangkatannya semisal Syekh Nawawi al-Bantaniy, Syekh Sholeh Darat (guru beliau), Syekh Kholil Bangkalan, KH. Dimyathi Tremas Pacitan, Syekh Asnawi Kudus.
KH. Zainuddin merupakan pengasuh Pondok Pesantren Mojosari, Loceret, Nganjuk, Jawa Timur generasi ke 7. Pondok Pesantren Mojosari didirikan pada tahun 1720 M oleh Mbah Kyai Ali Imron, Bendungan.
Ketika dulu para santri masih menggunakan sitem rihlah (kelana), maka Mbah Kiyai Zainuddin adalah salah satu ulama “wajib” yang dituju para santri pada zaman itu dalam rangka menyempurnakan keilmuan para santri. Dari segi usia memang beliau paling muda dengan teman seangkatannya namun beliau yang paling akhir meninggal dunia (menurut keterangan salah satu santrinya wafat beliau tahun 1954).
Beliau menempati sebuah pondok tua yaitu di Mojosari Loceret Nganjuk. Mungkin karena secara geografis berada di kaki gunung Wilis, maka beliau “tidak banyak diekspose” dibanding sahabat-sahabatnya, karena memang dalam sejarahnya beliau cenderung bergerak dalam keilmuan tasawwuf.
Beliau dikenal oleh masyarakat sebagai waliyullah, namun aktivitas sehari-harinya tak beda dengan petani-petani desa yang bersahaja, karamahnya tak pernah dibuat pameran. Bahkan beliau lebih nampak sebagai seorang ulama syari’ah yang kokoh, tugas-tugasnya dijalankan dengan disiplin dan istiqamah. Setelah selesai mengajar di malam hari, sekitar pukul 22.00 beliau istirahat dan bangun jam 02.00 akhir malam, beliau menjalankan tahajjud, tilawah al-Quran dan lain-lain, mendekatkan diri kepada Allah SWT sampai menjelang Shubuh.
Kiai Zainuddin tidak hanya pandai menganjurkan sunnah Rasul, tetapi beliau praktekkan sendiri dalam kehidupan, sesuai dengan nasihat yang sering disampaikannya kepada para santri: “Co, ojo lali karo ayat
أَتَأْمُرُوْنَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ
“Apakah kamu perintah orang lain untuk berbuat baik, padahal kamu melupakan dirimu sendiri?”

Syariat Islam dijalankannya dengan nyata dan konsekuen. Untuk keperluan hidup sehari-hari beliau mengolah tanah pertanian secukupnya. Beliau sendiri sering memegang pacul (cangkul) menanam singkong, jagung atau pisang. Beliau tidak menunjukkan tingkah khariqul ‘adah di hadapan masyarakat. Akan tetapi sepandai-pandai menyimpan durian, tercium juga baunya. Begitu juga halnya Kyai Zainuddin, banyak ulama arif mengakui kewaliannya.
Syahdan pada suatu hari, seperti biasanya pesantren di bulan Sya’ban selalu mengadakan imtihan (selametan) pengajian pondok di akhir tahun. Pada waktu itu beliau bersama-sama pengurus pondok dan tokoh-tokoh kampung Mojosari berkumpul mengadakan musyawarah untuk gawe besar ini. Disepakati perayaan imtihan dilakukan semeriah mungkin dan dilakukan beberapa hari baik melibatkan pondok maupun masyarakat Mojosari. Akhirnya ada sebagian masyarakat yang mengusulkan diadakan kesenian rakyat yaitu “JARANAN”, dan beliau mbah Kyai Zainuddin mengiyakan dengan syarat dilakukan di awal dan di luar pondok (di kampung). Maka bersemangatlah masyarakat Mojosari (saat itu masyarakat Mojosari 90% masih abangan dan terkenal sebagai tempatnya maksiyat).
Berhari-hari masyarakat Mojosari dan pondok dalam suasana gembira. Rupanya hal ini terdengar sampai jauh di luar Nganjuk. Terbukti para Kyai menyikapi insiden tersebut karena melihat bahwa Mbah Kyai Zainuddin adalah salah satu tokoh ulama yang paling disegani. Mereka para Kyai takut hal ini akan berdampak pada masyarakat santri pada waktu itu. Akhirnya Hadhratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari, KH. Abdul Wahab Chasbullah, KH. Bisyri Sansuri dan para Kyai lain bermusyawarah melakukan sikap dan meminta pada Mbah Kyai Zainuddin untuk bersikap tegas dengan adanya “JARANAN” masuk dalam kegiatan Imtihan. Mereka para Kyai akhirnya tidak menuai kesepakatan siapa yang harus sowan menghadap kepada Mbah Kyai Zainuddin. Mereka tidak ada yang berani menghadap mengingat mereka semua adalah murid dan santri beliau. Karena semua Kyai tersebut tidak berani menghadap, akhirnya disepakati dengan memakai mediator surat pernyataan dan ditandatangani oleh bersama.
Setelah selesai rapat musyawarah pernyataan sikap, para Kyai pulang ke rumah masing-masing. Tempat musyawarah waktu itu dilaksanakan di Tebuireng. Saat Hadhratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari istirahat, di dalam istirahat itu beliau diingatkan Allah SWT. lewat mimpi, dimana dalam mimpi itu KH. Hasyim Asy’ari dan para ulama seluruh Nusantara mengadakan shalat jama’ah. Dan ternyata dalam shalat jam’aah para ulama itu yang menjadi Imam adalah Mbah Kiyai Zainuddin. Sedangkan beliau Hadhratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari berada pada barisan shof nomer 7.
Setelah terbangun, surat yang tadi sudah jadi dengan tanda tangan yang lengkap dan tinggal dikirim akhirnya tidak jadi disampaikan kepada Mbah Kiyai Zainuddin. Lantas KH. Hasyim Asy’ari mengabari perihal mimpinya tersebut kepada para Kyai yang ikut menandatangani surat pernyataan di atas. Mereka semua akhirnya sepakat bahwa itu bukan wilayah mereka ngurusi (ikut campur) urusan guru mereka.
Berkat karamah yang dimiliki Mbah Kyai Zainuddin tersebut, terbukti sekarang masyarakat Mojosari Nganjuk yang tadinya 90 % abangan menjadi 99% Islam dan ta’at.
Ketenaran nama Kyai Zainuddin ternyata membawa dampak lain. Sehubungan dengan kewaliannya itulah, banyak orang datang mohon ijazah doa. Namun beliau tetap mengaku tidak punya doa khusus dan memang seperti itulah yang dapat disaksikan, beliau bukan ahli thariqah. Bila ada orang yang datang minta ijazah doa beliau spontan menjawab: “Enggih, sampun kulo ijazahi” (Iya, sudah saya ijazahkan). Entahlah apakah memang benar sudah atau belum, Wallahu a’lam bishshawab.

Selasa, 10 Mei 2016



KYAI TELINGSING
Sebelum berdirinya Kerajaan Islam di Demak, terjadilah kejadian yang menggemparkan di daerah Kudus. Peristiwa itu terjadi pada diri Kanjeng Sunan Sungging. Pada suatu hari Kanjeng Sunan Sungging bermain layang-layang tersiratlah niat beliau untuk melihat dan berkeliling Wilayah Nusantara. Maka mulailah beliau merambat melalui benang layang-layang yang sedang melayang diangkasa. Pada waktu Kanjeng Sunan Sungging sampai ditengah-tengah angkasa, putuslah benang tersebut dan melayanglah beliau bersama layang-layang tersebut hingga sampai ke Tiongkok. Selang beberapa tahun, Kanjeng Sunan Sungging mempersunting seorang gadis Tiongkok. Dalam beberapa tahun kemudian hamillah istri tersebut dan melahirkan bayi laki-laki yang diberi nama The Ling Sing. Setelah The Ling Sing menginjak dewasa, maka ayahandanya Kanjeng Sunan Sungging memberi petuah kepada anak tersebut. Apabila engkau ingin menjadi orang yang mulia di dunia dan akherat, maka ikutilah jejakku. Apakah yang ayahanda maksudkan ? Pergilah kau ke Kudus yang termasuk wilayah Nusantara, disanalah aku pernah berdiam. Maka berangkatlah The Ling Sing ke Kudus. Setelah ia sampai ketempat yang dituju, maka mulailah The Ling Sing menyiapkan diri untuk membenahi sekelilingnya dan berdakwah. Dimana pada waktu itu masyarakat Kudus masih kuat memeluk agama hindu. The Ling Sing yang lebih terkenal dengan sebutan Kyai Telingsing yang telah lama berdakwah telah lanjut usia dan ingin segera mencari penggantinya. Pada suatu hari Kyai Telingsing berdiri sambil menengok kekanan dan kekiri. (bahasa Jawa Ingak-Inguk) seperti mencari sesuatu. Tiba-tiba Sunan Kudus muncul dari arah selatan, dan secara tiba-tiba Sunan Kudus membangun masjid dalam waktu yang amat singkat, bahkan ada yang mengatakan masjid itu muncul dengan sendirinya. Berhubung dengan hal tersebut desa tempat masjid tersebut berdiri dinamakan desa Nganguk dan masjidnya dinamakan masjid nganguk wali. Akhirnya kedua tokoh tersebut bekerja sama dalam mengembangkan dakwah di Kudus. Dan dengan taktik dan siasat dari Kyai Telingsing dan Ja’far Shodiq (Sunan Kudus) akhirnya berhasillah cita-cita keduanya untuk menyebarkan Islam di Kudus. Pada suatu hari Sunan Kudus akan kedatangan rombongan tamu dari Tiongkok. Maka dipanggillah Kyai Telingsing untuk membuat sebuah kenang-kenangan kepada tamu tersebut. Oleh Kyai telingsing dibuatlah sebuah kendi yang bertuliskan indah di dalamnya. Setelah kendi tersebut jadi, maka segera diberikan kepada Sunan Kudus. Sunan Kudus setelah melihat kendi yang menurutnya kurang bagus dan biasa-biasa saja yang tidak pantas untuk dihadiahkan kepada tamu dari Tingkok tersebut, wajahnya berubah sinis dan menerimanya dengan kurang berkenan dan dilemparlah kendi tersebut. Setelah kendi tersebut pecah, terdapatlah lukisan yang indah, dimana ditengah-tengahnya tertulis kalimat syahadat. Seketika itu terperanjatlah beliau menunjukkan kekagumanya, sehingga beliau menyadari, betapa kyai Telingsing adah seorang yang memiliki karomah. Diantara sabda dari Kyai Telingsing, “Sholat Sacolo Saloho Donga sampurna", artinya : Sholat adalah sebagai do’a yang sempurna Lenggahing panggenan Tersetihing ngaji artinya : Menempatkan diri pada sesuatu yang benar, suci dan terpuji. Beliau kini makamnya di kampung sunggingan-Kudus. Ada sebagian orang yang mengatakan kalau beliau adalah seorang pemahat yang masuk dalam aliran Sun Ging. Dari nama Sun Ging inilah kemudian terjadi kata Nyungging yang artinya memahat atau mengukir, dan dari kata Sung Ging itu pulalah terjadi namanya Sungingan sampai sekarang ini. ( H. Zawawi Mufid)
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjUzg-NiE02Fcb9IuWBTmNKb5RGVlmLX_eRfeYh5mKfv1g-smBOb4NsLQkjTyN4hwKiA0-aJAHA0gRbUL61FQWK4A6abcgRbA7gVTpCAFJttu0O0LaKU5Hm55wOSfgoT9sdod2qQMrh3g/s320/pizap.com13777435000318.jpg


MAKAM BATU AMPAR PAMEKASAN MADURA
KISAH BUJU’ BATU AMPAR, MADURA
Sejarah singkat Pesarean Buju’ Batu Ampar
Inilah kisah yang meluruskan tentang animo masyarakat akan kebenaran silsilah keturunan Auliya’ / Pemuka agama dilingkungan Buju’ Batu ampar. Semata-mata untuk mengembalikan kesadaran kita tentang nilai kebesaran Allah SWT. Seperti yang terdapat di Pesarean Buju’ Batu ampar ini adalah kekasih-kekasih Allah yang telah mendapatkan karomah atas kemurahan rahmat dan hidayah-NYA. Kisah ini semoga menjadi teladan serta penuntun bagi kaum muslimin dan muslimat dalam sebuah perjalanan menuju cita-cita mulia, guna menjadi INSAN KAMIL yang memegang teguh, menjaga serta memelihara kemurnian islam hingga hari yang dijanjikan ( kiamat ). Wallahu a’lam Bisshawab. KH.Ach.Fauzy Damanhuri.

Silsilah Auliya’ Batu Ampar, Madura

§ Sayyid Husein, berputra :

a. Syekh Abdul Manan / Buju’ Kosambi
b. Syekh Abdul Rohim / Buju’ Bire

§ Syekh Abdul manan / Buju’ Kosambi, berputra…

§ Syekh Basyaniah / Buju’ Tumpeng, berputra…

§ Syekh Abu Syamsudin ( Su’adi ) / Buju’ Latthong, berputra 3 :
a. Syekh Husein, berputra : ( ket. Dibawah )
b. Syekh Lukman berputra : Syekh Muhammad Yasin
c. Syekh Syamsudin, berputra : Syekh Buddih

§ Syekh Husein, berputra…

§ Syekh Muhammad Ramly, berputra..

§ KH. Damanhuri, berputra / putri 10 :

1. KH. Amar Fadli
2. KH. Mukhlis
3. KH. Romli
4. KH. Mahalli
5. KH. Kholil
6. KH. Abdul Qodir
7. KH.Ach. Fauzy Damanhuri
8. KH. Ainul Yaqin
9. Nyai Hasanah
10. Nyai Zubaidah

Sayyid Husein

Disuatu desa diwilayah Bangkalan, tersebutlah seorang pemuka agama Islam yang bernama Sayyid Husein. Beliau mempunyai banyak pengikut karena ketinggian ilmu Agamanya. Selain akhlaknya yang berbudi luhur, beliau juga memiliki banyak karomah karena kedekatannya dengan sang Kholiq.Beliau sangat dihormati pengikutnya dan semua penduduk disekitar bangkalan.Namun bukan berarti beliau lepas dari orang yang membencinya. Disebabkan karena mereka iri dengan kedudukan beliau dimata masyarakat saat itu.Hingga suatu hari ada seseorang penduduk yang iri dengki dan berniat buruk mencelakai dan menghancurkan kedudukan Sayyid Husein. Orang itu merekayasa cerita fitnah, bahwa Sayyid Husein bersama pengikutnya telah merencanakan pemberontakan dan ingin menggulingkan kekuasaan raja Madura. Alhasil cerita fitnah ini sampai ditelinga sang Raja. Mendengar kabar itu Raja kalang-kabut dan tanpa pikir panjang mengutus panglima perang bersama pasukan untuk menuju kediaman Sayyid Husein.Sayyid Husein yang saat itu sedang beristirahat langsung dikepung dan dibunuh secara kejam oleh prajurit kerajaan.Mereka melakukan hal itu tanpa pikir panjang dan disertai bukti yang kuat. Akhirnya Sayyid Husein yang tidak bersalah itu wafat seketika itu juga dan konon jenazahnya dikebumikan diperkampungan tersebut.

Selang beberapa hari dari wafatnya Sayyid Husein, Raja mendapat berita yang mengejutkan dan sungguh mengecewakan, serta menyesali keputusannya yang sama sekali tidak didasari bukti-bukti yang kuat. Berita tadi mengabarkan bahwa sebenarnya Sayyid Husein tidak bersalah, karena sesungguhnya beliau telah difitnah.Karena sangat menyesali perbuatannya, Raja Bangkalan memberikan gelar kepada beliau dengan sebutan Buju’ Banyu Sangkah ( Buyut Banyu Sangkah ). Dan tempat peristirahatan beliau terletak dikawasan Tanjung Bumi, Bangkalan.

Sayyid Husein wafat dengan meninggalkan dua orang putra. Yang pertama bernama Abdul Manan dan yang kedua bernama Abdul Rohiim. Kedua putra beliau ini sepakat untuk pergi menghindari keadaan dikampung tersebut. Syekh Abdul Rohim lari menuju Desa Bire ( Kabupaten Bangkalan ), dan menetap disana sampai akhir hayat beliau. Dan akhirnya beliau terkenal sebagai Buju’ Bire ( Buyut Bire ).
Wallahu a’lam

Syekh Abdul Manan ( Buju’ Kosambi )

Lain halnya dengan Syekh Abdul Manan. Beliau pergi mengasingkan diri dan menjauh dari kekuasaan Raja Bangkalan. Hari demi hari dilaluinya dengan sengsara dan penuh penderitaan. Beliau sangat terpukul sekali kehilangan orang yang sangat dikasihinya.Hingga akhirnya beliau sampai disebuah hutan lebat ditengah perbukitan diwilayah Batu ampar ( Kabupaten Pamekasan ). Dihutan inilah akhirnya beliau bertapa / bertirakat untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.Dalam melaksanakan hajatnya beliau memilih tempat dibawah Pohon Kosambi. Syahdan tapa beliau ini berlangsung selama 41 tahun. Saat memulai tapa itu beliau berumur 21 tahun. Hingga akhirnya beliau ditemukan anak seorang penduduk desa ( Wanita ) yang sedang mencari kayu dihutan.

Singkat cerita akhirnya Syekh abdul Manan dibawa kerumahnya. Dari hubungan tersebut, timbullah kesepakan antara orang tua si anak tersebut untuk menjodohkan Syekh abdul Manan dengan salah seorang putrinya. Sebagai tanda terima kasih, beliau memilih si sulung sebagai istrinya, walaupun dalam kenyataannya sisulung menderita penyakit kulit. Anehnya terjadi keajaiban di hari ke 41 pernikahan mereka.Saat itu juga sang istri yang semula menderita penyakit kulit tiba-tiba sembuh seketika. Dan bukan hanya itu kulitnya bertambah putih bersih dan cantik jelita, sampai-sampai kecantikannya tersiar kemana-mana.Dan konon kabarnya pula bahwa Raja Sumenep mengagumi dan tertarik akan kecantikan istri Syekh Abdul manan ini.

Dari pernikahan ini, beliau dikarunia seorang putra yang bernama Taqihul Muqadam, setelah itu menyusul pula puta kedua yang diberi nama Basyaniah. Setelah bertahun-tahun menjalankan tugasnya sebagai Khalifah, akhirnya beliau wafat dengan meninggalkan dua orang putra. Jenazahnya dimaqamkan di Batu Ampar dan terkenal dengan julukan Buju’ Kosambi. Dan putra pertama beliau juga saat wafat jenazahnya dikebumikan didekat pusaranya. Wallahu a’lam

Syekh Basyaniah ( Buju’ Tumpeng )

Putra kedua Syekh Abdul manan yang bernama Basyaniah inilah yang mengikuti jejak ayahanda. Beliau senang bertapa dan cenderung menjauhkan diri dari pergaulan dengan masyarakat. Dan beliau juga selalu menutupi karomahnya.Ketertutupan beliau ini semata-mata bertujuan untuk menjaga keturunannya kelak dikemudian hari agar menjadi insan kamil atau manusia sempurna dan sholeh melebihi diri beliau serta menjadi khalifah yang arif dimuka bumi.

Dalam menjalani hajatnya beliau bertapa dan memilih tempat disuatu perbukitan yang terkenal dengan nama Gunung Tompeng yakni suatu bukit sepi dan sunyi yang penuh dengan tanda-tanda kebesaran Illahi. Bukit tersebut terletak kurang lebih 500 m arah barat daya ( antara Barat-Selatan ) dari Desa batu Ampar.

Saat wafatnya beliau meninggalkan seorang putra yang bernama Su’adi atau terkenal dengan sebutan Syekh Abu Syamsudin dan mendapat julukan Buju’ Latthong. Sedang jenazah Syekh Basyaniah dikebumikan berdekatan dengan pusara Ayahanda. Beliau akhirnya mendapat julukan Buju’ Tumpeng. Wallahu a’lam