ALMAMATER PENGASUH RUMAH NDERES SAMMANI
Pesantren Darul ‘Ulum Jombang,
ternyata bermula dari tanah petak yang suram. Desa Rejoso Kec.
Peterongan tempat berdirinya pesantren ini – yang waktu itu masih
berupa hutan – merupakan lembah hitam para penjahat. Para penduduknya
kerap berbuat onar. “Pokoknya tingkah laku kesehariannya jauh dari
praktek-praktek yang sesuai norma keislaman,” kisah Dra. Hj. Niswah
Qonita As’ad.
Atas kenyataan itu, tak banyak orang
berani melintasi Rejoso. Semuanya ciut nyali. Tapi tak demikian halnya
dengan KH. Tamim Irsyad. Pemuda kelahiran Desa Pareng Bangkalan Madura
itu, malah tertantang untuk memperbaikinya. Santri KH. Cholil Bangkalan
yang sebelumnya sempat singgah di Desa Pajaran Jombang itu pun lebih
memilih tinggal dan menjadikan Rejoso sebagai ladang dakwahnya.
Tahun
1885, KH. Tamim Irsyad memulai perjuangannya dengan mengajar mengaji.
Dia dibantu menantunya, KH. Cholil – sosok alim yang pernah mengenyam
pendidikan agama di bawah bimbingan KH. Hasyim Asy’ari di pesantren
Tebuireng Jombang dan KH. Cholil Bangkalan.
Kyai
Tamim yang mengajar al-Qur’an dan ilmu hukum syari’at, sementara Kyai
Cholil membina mental spiritual santri dengan gemblengan ajaran tasawuf
lewat amalan Thareqat Qodiriyah Wannaqsabandiyah. “Dua keilmuan
itulah yang akan selalu melekat pada pengajaran di pesantren ini,”
ujar Pengasuh Asrama Putri XI Muzamzamah-Chosi’ah ini.
Jejak
langkah dakwah dua kyai tersebut seakan menemukan cahaya. Metode
dakwah yang mereka kembangkan ternyata diminati banyak orang. Ada
sekitar 200 santri yang ingin belajar. Mereka tak hanya datang dari
Jombang, tapi juga Mojokerto, Surabaya, Madura bahkan Jawa Tengah.
Karena banyak yang berasal dari luar kota, Kyai Tamim pun merasa harus
segera mendirikan pondok para santri.
Tahun
1898, Kyai Tamim pun mulai mendirikan sebuah surau dan membangun
sebuah tempat lagi pada tahun 1911. “Surau itu sendiri hingga sekarang
masih terawat baik dan masih dipakai balai pertemuan dan pengajian,”
terang anak keempat pasangan KH. M. As’ad Umar dan Nyai Hj. Azzah As’ad
ini.
Pengajaran di pesantren ini
pun semakin berkembang pesat seiring datangnya KH. Syafawi – adik KH.
Cholil – yang mengajar bidang studi ilmu tafsir dan ilmu alat. Sayang,
Kyai Syafawi tak berusia panjang. Pada tahun 1904, dirinya wafat. Dua
puluh enam tahun berselang, Kyai Tamim menyusul. Maka, pesantren ini
pun hanya menyisakan Kyai Cholil sebagai pengasuh tunggal.
Dalam kesendirianya, Kyai Cholil sempat mengalami jadzab.
Untunglah, kondisi itu tak berjalan lama. Dia pun tak sendirian lagi
mengasuh pesantren. Sebab tak lama kemudian, KH. Romly Tamim tampil
seusai nyantri di Tebuireng dan berguru kepada KH. Akhmad Jufri
Karangkates Kediri, serta KH. Zaid Buntet Cirebon. Putra ke dua Kyai
Tamim Irsyad itulah yang kemudian meneruskan tugas dan tanggung jawab
ayahnya dalam pengajaran ilmu syari’at.
Tahun
1937, Kyai Cholil wafat. Dia digantikan anaknya, KH. Dahlan Cholil
yang sempat mengenyam pendidikan agama di Makkah seusai nyanti di
Tebuireng. “Kyai Romly dan Kyai Dahlan lah yang kemudian memimpin
perkembangan pondok pesantren pada periode pertengahan (1937-1958),”
jelas perempuan kelahiran Jombang, 26 Februari 1969 itu.
Di
tangan kedua tokoh muda inilah, lembaga pendidikan dakwah islamiyah
ini mulai menunjukkan identitasnya. “Mereka memberikan nama untuk
pesantren ini dengan sebutan Pondok Pesantren Darul ‘Ulum yang berarti
rumah ilmu,” papar alumnus S1 Jurusan PAI Fak. Tarbiyah IAIN Sunan
Kalijaga Jogjakarta ini.
Pengkajian
ilmu pengetahuan pada periode ini semakin pesat dan tidak hanya
berkutat pada ilmu agama saja. “Wawasan keilmuan yang bersifat umum
mulai diberikan,” tukas suami H. Ali Muhsin, M.Pd.I atau yang biasa
dipanggil Gus Ali ini. Pembagian tugas antara tokoh-tokoh yang ada pun
semakin jelas dengan dibentuknya struktur organisasi pondok.
Kyai Romli Tamim, urai ibu tiga anak ini, memegang kebijakan umum Pondok Pesantren serta ilmu thasawuf dan thareqat Qodiriyah Wannaqsyabandiyah. Sementara KH. Dahlan Cholil memangku kebijakan khusus siasah
(manajemen) dan pengajian syariat plus al-Qur’an. Kyai Ma’soem Cholil –
adik Kyai Cholil Dahlan – mengemban organisasi sekolah dan
manajemennya. Sementara Kyai Umar Tamim – adik Kyai Romli Tamim –
sebagai pembantu aktif di bidang kethareqatan. “Semua tugas tersebut
masing-masing dibantu oleh santri-santri senior, seperti KH. Ustman Al
Isyaqi yang berasal dari Surabaya dalam praktikum thareqat Qodiriyah Wannaqsyabandiyah,” jelas Dosen PAI Fak. Tarbiyah UNIPDU itu.
Pada
tahun 1938, didirikanlah sekolah klasikal yang pertama di Darul ‘Ulum
yang diberi nama Madrasah Ibtidaiyyah Darul ‘Ulum. Sebagai tindak
lanjut pendidikan MI tersebut, tahun 1949 didirikanlah Madrasah
Mu’allimin (untuk putra). Sementara untuk putri, baru dibangun tahun
1954. “Siswanya waktu sudah mencapai tiga ribu orang,” ujarnya bangga.
Anggota
jam’iyah Thareqat Qadiriyah Wannaqsabandiyah pun bertambah jumlahnya.
Selain Jombang, jamaah yang tergabung berasal dari daerah-daerah
kabupaten lainnya di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat, bahkan ada
Sulawesi Selatan. Hingga sekarang, kita masih bisa menyaksikan
ritualnya di pusat latihan Rejoso jika jam’iyah ini mengadakan perayaan
khusus bagi warganya. “Yang lazim adalah tiga kali dalam satu tahun,
yaitu pada bulan Sya’ban, bulan Muharrom dan bulan Rabi’ul akhir,”
terang pembina pengajian muslimat NU Kec. Peterongan tersebut.
Duka
pun menyelimuti keluarga pesantren Darul ‘Ulum, ketika tahun 1958 dua
tokoh sentralnya meninggal. Kyai Dahlan wafat di bulan Sya’ban, disusul
Kyai Romly pada bulan Ramadhan. Pesantren Darul ‘Ulum pun mengalami
kesenjangan kepemimpinan, terutama dalam bidang thareqat dan ilmu
al-Qur’an.
Beruntung, Darul ‘Ulum
masih memiliki Kyai Ma’soem Cholil. Sayangnya, estafet kepemimpinan
kepada Kyai muda ini pun tak berlangsung lama. Sebab tiga tahun
berselang, dirinya wafat. Darul ‘Ulum kembali bangkit seiring tampilnya
Kyai Bisri Cholil dan KH. Musta’in Romly sebagai pemimpin utama. Darul
‘Ulum pun banyak mengalami perubahan dalam bidang struktur organisasi,
bidang bentuk pendidikan maupun dalam bidang sarana fisik.
Pada
tahun 1965 didirikanlah Universitas Darul ‘Ulum sebagai kelanjutan
wadah pendidikan. Universitas tersebut memiliki enam Fakultas: Alim
Ulama (Ushuluddin), Hukum, Sosial-Politik, Pertanian, Ekonomi, serta
Ilmu Pendidikan.
Ketika tampuk
kepemimpinan dilimpahkan kepada KH. M. As’ad Umar, pesantren ini
mengalami masa keemasan. Tugas kelembagaan semakin diperinci sesuai
profesi perseorangan yang duduk di personalia lembaga. Maka,
selanjutnya di pesantren ini ada tiga lembaga: Yayasan Darul ‘Ulum,
Yayasan Universitas Darul ‘Ulum dan Yayasan thareqat Qodiriyah
Wannaqsyabandiyah. “Masing-masing yayasan terikat oleh nilai dan norma
misi kelembagaan Darul ‘Ulum yang termuat dalam garis besar Khiththah
Trisula,” jelasnya.
Sekarang,
pesantren ini telah memiliki 16 sekolah formal: MIN, MTsN, MTs Plus,
MAN, MA Unggulan, SMP I, SMPN 3 Unggulan, SMA DU I Unggulan
BPP-Teknologi, SMA DU II Unggulan BPP-Teknologi (RSNBI), SMA DU III,
SMK I & II, SMK TELKOM, Sekolah Tahassus Al-Qur’an, UNIPDU dan
UNDAR. Pesantren ini juga mengembangkan sekolah non formal. Diantaranya
Pendidikan Kepramukaan, Pendidikan Leadership, Pengajian Weton (lima
hari sekali), Pengajian Bandongan dan Sorogan, Pendidikan Qiro’at
al-Qur’an dan Pendidikan Kader Organisasi.
Pesantren
ini juga ditunjang dengan sarana prasarana yang memadai. Darul ‘Ulum
memiliki 14 gedung sekolah formal dengan 108 lokal, dua gedung
keterampilan, sembilan aula pertemuan, satu masjid dan sebelas mushala,
serta dua kantor pusat dan tiga belas kantor unit. Pesantren ini juga
dilengkapi 4 kantin makan, 6 sarana wartel, 1 pusat koperasi, 1 unit
kantor Bank, 1 unit Usaha Kesehatan Pondok (UKP), 5 Lab. IPA, 8 Lab.
Bahasa dan 1 Lab. Komputer.
Untuk
menampung sedikitnya 7.000 santri, telah disediakan 34 gedung asrama
dengan total 234 kamar. Bagi mereka yang gemar berolah raga, pesantren
telah menyediakan 2 lapangan sepakbola, 8 lapangan bulu tangkis dan 8
lapangan basket, serta 13 lapangan tenis meja. Semua sarana itu semakin
lengkap dengan hadirnya gedung Islamic Center dan Rumah Sakit UNIPDU.
“Mudah-mudahan kami dapat segera merealisasikan pembangunan yang lebih
berkualitas. Sebab, apa yang kami miliki ini masih dibangun di atas
tanah seluas 6 Ha dari 40 Ha yang kami miliki,” ucapnya berharap.
Semua
siswa yang bersekolah di Darul ‘Ulum wajib tinggal dan mengikuti
pelajaran di asrama. Sama seperti pondok beraliran salaf lainnya,
selain mengkaji kitab kuning, banyak aturan ketat yang harus dipatuhi
para santri. Diantaranya, santri tidak boleh membawa HP dan dilarang
merokok. Bagi santri yang berniat membawa Laptop pun harus dititipkan.
“Setiap penggunaan fasilitas komputer dan internet, pasti ada yang
pengawasnya. Kami telah menyediakan area khusus untuk semua itu,”
ujarnya.
Dengan semua fasilitas
tersebut, lulusan pesantren Darul ‘Ulum diharapkan tidak hanya fasih
dalam ilmu agama, tapi juga menguasai IPTEK dan memiliki mental
spiritualitas yang mumpuni. “Sekolah untuk kuasai IPTEK, Asrama guna
mendalami ilmu agama, serta pengamalan thareqat Qadiriyah
Wannaqsabandiyah buat membentengi dan menyucikan hati,” tandasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar