TAREKAT SAMANIYAH
5.Syeikh Muhammad Arsyad Al Banjari
Syekh Muhammad Arsyad bin Abdullah bin Abdur Rahman al-Banjari (atau lebih dikenal dengan nama Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (lahir di Lok Gabang, 17 Maret 1710 – meninggal di Dalam Pagar, 3 Oktober 1812 pada umur 102 tahun atau 15 Shofar 1122 – 6 Syawwal 1227 H) adalah ulama fiqih mazhab Syafi'i yang berasal dari kota Martapura di Tanah Banjar (Kesultanan Banjar), Kalimantan Selatan. Beliau hidup pada masa tahun 1122-1227 hijriyah. Beliau mendapat julukan anumerta Datu Kelampaian.
Beliau adalah pengarang Kitab Sabilal Muhtadin yang banyak menjadi rujukan bagi banyak pemeluk agama Islam di Asia Tenggara
Masa kecil
Sejak dilahirkan, Muhammad Arsyad melewatkan masa kecil di desa kelahirannya
Lok Gabang, Martapura. Sebagaimana anak-anak pada umumnya, Muhammad Arsyad
bergaul dan bermain dengan teman-temannya. Namun pada diri Muhammad Arsyad sudah
terlihat kecerdasannya melebihi dari teman-temannya. Begitu pula akhlak budi
pekertinya yang halus dan sangat menyukai keindahan. Diantara kepandaiannya
adalah seni melukis dan seni tulis. Sehingga siapa saja yang melihat hasil
lukisannya akan kagum dan terpukau. Pada saat Sultan Tahlilullah sedang
bekunjung ke kampung Lok Gabang, sultan melihat hasil lukisan Muhammad Arsyad
yang masih berumur 7 tahun. Terkesan akan kejadian itu, maka Sultan meminta
pada orang tuanya agar anak tersebut sebaiknya tinggal di istana untuk belajar
bersama dengan anak-anak dan cucu Sultan. Di istana, Muhammad Arsyad tumbuh
menjadi anak yang berakhlak mulia, ramah, penurut, dan hormat kepada yang lebih
tua. Seluruh penghuni istana menyayanginya dengan kasih sayang. Sultan sangat
memperhatikan pendidikan Muhammad Arsyad, karena sultan mengharapkan Muhammad
Arsyad kelak menjadi pemimpin yang alim.
Muhammad Arsyad
lahir di Banjarmasin pada hari Kamis dinihari, pukul 03.00 (waktu sahur), 15
Safar 1122 H atau 17 Maret 1710
Beberapa penulis biografi Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, antara lain Mufti Kerajaan Indragiri Abdurrahman Siddiq, berpendapat bahwa ia adalah keturunan Alawiyyin melalui jalur Sultan Abdurrasyid Mindanao.
Jalur nasabnya ialah Maulana Muhammad Arsyad Al Banjari bin Abdullah bin Abu Bakar bin Sultan Abdurrasyid Mindanao bin Abdullah bin Abu Bakar Al Hindi bin Ahmad Ash Shalaibiyyah bin Husein bin Abdullah bin Syaikh bin Abdullah Al Idrus Al Akbar (datuk seluruh keluarga Al Aidrus) bin Abu Bakar As Sakran bin Abdurrahman As Saqaf bin Muhammad Maula Dawilah bin Ali Maula Ad Dark bin Alwi Al Ghoyyur bin Muhammad Al Faqih Muqaddam bin Ali Faqih Nuruddin bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khaliqul Qassam bin Alwi bin Muhammad Maula Shama’ah bin Alawi Abi Sadah bin Ubaidillah bin Imam Ahmad Al Muhajir bin Imam Isa Ar Rumi bin Al Imam Muhammad An Naqib bin Al Imam Ali Uraidhy bin Al Imam Ja’far As Shadiq bin Al Imam Muhammad Al Baqir bin Al Imam Ali Zainal Abidin bin Al Imam Sayyidina Husein bin Al Imam Amirul Mu’minin Ali Karamallah wajhah wa Sayyidah Fatimah Az Zahra binti Rasulullah SAW
Menikah dan Menuntut Ilmu di Mekkah
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari mendapat pendidikan penuh di Istana sehingga usia mencapai 30 tahun. Kemudian ia dikawinkan dengan seorang perempuan bernama Tuan Bajut. Ketika istrinya mengandung anak yang pertama, terlintaslah di hati Muhammad Arsyad suatu keinginan yang kuat untuk menuntut ilmu di tanah suci Mekkah. Maka disampaikannyalah hasrat hatinya kepada sang istri tercinta.Meskipun dengan berat hati mengingat usia pernikahan mereka yang masih muda, akhirnya isterinya mengamini niat suci sang suami dan mendukungnya dalam meraih cita-cita. Maka, setelah mendapat restu dari sultan berangkatlah Muhammad Arsyad ke Tanah Suci mewujudkan cita-citanya. Deraian air mata dan untaian doa mengiringi kepergiannya.
Di Tanah Suci, Muhammad Arsyad mengaji kepada masyaikh terkemuka pada masa itu. Di antara guru beliau adalah Syekh ‘Athaillah bin Ahmad al-Mishry, al-Faqih Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi dan al-‘Arif Billah Syekh Muhammad bin Abdul Karim al-Samman al-Hasani al-Madani.
Syekh yang disebutkan terakhir adalah guru Muhammad Arsyad di bidang tasawuf, dimana di bawah bimbingannyalah Muhammad Arsyad melakukan suluk dan khalwat, sehingga mendapat ijazah darinya dengan kedudukan sebagai khalifah.
Selain itu guru-guru Muhammad Arsyad yang lain seperti Syekh Ahmad bin Abdul Mun'im ad Damanhuri, Syekh Muhammad Murtadha bin Muhammad az Zabidi, Syekh Hasan bin Ahmad al Yamani, Syekh Salm bin Abdullah al Basri, Syekh Shiddiq bin Umar Khan, Syekh Abdullah bin Hijazi asy Syarqawy, Syekh Abdurrahman bin Abdul Aziz al Maghrabi, Syekh Abdurrahamn bin Sulaiman al Ahdal, Syekh Abdurrahman bin Abdul Mubin al Fathani, Syekh Abdul Gani bin Muhammad Hilal, Syekh Abis as Sandi, Syekh Abdul Wahab at Thantawy, Syekh Abdullah Mirghani, Syekh Muhammad bin Ahmad al Jauhari, dan Syekh Muhammad Zain bin Faqih Jalaludin Aceh.
Selama menuntut ilmu di sana, Syekh Muhammad Arsyad menjalin persahabatan dengan sesama penuntut ilmu seperti Syekh Abdussamad Falimbani, Syekh Abdurrahman Misri, dan Syekh Abdul Wahab Bugis.
Setelah lebih kurang 35 tahun menuntut ilmu di Maekkah dan Madinah, timbullah niat untuk menuntut ilmu ke Mesir. Ketika niat ini disampaikan dengan guru mereka, Syekh menyarankan agar keempat muridnya ini untuk pulang ke Jawi (Indonesia) untuk berdakwah di negerinya masing-masing.
kerinduan akan kampung halaman. Terbayang di pelupuk mata indahnya tepian mandi yang di arak barisan pepohonan aren yang menjulang. Terngiang kicauan burung pipit di pematang dan desiran angin membelai hijaunya rumput. Terkenang akan kesabaran dan ketegaran sang istri yang setia menanti tanpa tahu sampai kapan penentiannya akan berakhir. Pada Bulan Ramadhan 1186 H bertepatan 1772 M, sampailah Muhammad Arsyad di kampung halamannya, Martapura, pusat Kesultanan Banjar pada masa itu.
Akan tetapi, Sultan Tahlilullah, seorang yang telah banyak membantunya telah wafat dan digantikan kemudian oleh Sultan Tahmidullah II bin Sultan Tamjidullah I, yaitu cucu Sultan Tahlilullah. Sultan Tahmidullah yang pada ketika itu memerintah Kesultanan Banjar, sangat menaruh perhatian terhadap perkembangan serta kemajuan agama Islam di kerajaannya.
Sultan Tahmidullah II menyambut kedatangan beliau dengan upacara adat kebesaran. Segenap rakyatpun mengelu-elukannya sebagai seorang ulama "Matahari Agama" yang cahayanya diharapkan menyinari seluruh Kesultanan Banjar. Aktivitas beliau sepulangnya dari Tanah Suci dicurahkan untuk menyebarluaskan ilmu pengetahuan yang diperolehnya. Baik kepada keluarga, kerabat ataupun masyarakat pada umumnya. Bahkan, sultan pun termasuk salah seorang muridnya sehingga jadilah dia raja yang ‘alim lagi wara. Selama hidupnya ia memiliki 29 anak dari tujuh isterinya.
Hubungan dengan Kesultanan Banjar
Pada waktu ia berumur sekitar 30 tahun, Sultan mengabulkan keinginannya untuk belajar ke Mekkah demi memperdalam ilmunya. Segala perbelanjaanya ditanggung oleh Sultan. Lebih dari 30 tahun kemudian, yaitu setelah gurunya menyatakan telah cukup bekal ilmunya, barulah Syekh Muhammad Arsyad kembali pulang ke Banjarmasin. Akan tetapi, Sultan Tahlilullah seorang yang telah banyak membantunya telah wafat dan digantikan kemudian oleh Sultan Tahmidullah II bin Sultan Tamjidullah I, yaitu cucu Sultan Tahlilullah.Sultan Tahmidullah II yang pada ketika itu memerintah Kesultanan Banjar, sangat menaruh perhatian terhadap perkembangan serta kemajuan agama Islam di kerajaannya. Sultan inilah yang meminta kepada Syekh Muhammad Arsyad agar menulis sebuah Kitab Hukum Ibadat (Hukum Fiqh), yang kelak kemudian dikenal dengan nama Kitab Sabilal Muhtadin.
Pengajaran dan bermasyarakat
Makam Datuk Kalampayan |
Di samping mendidik, ia juga menulis beberapa kitab dan risalah untuk keperluan murid-muridnya serta keperluan kerajaan. Salah satu kitabnya yang terkenal adalah Kitab Sabilal Muhtadin yang merupakan kitab Hukum-Fiqh dan menjadi kitab-pegangan pada waktu itu, tidak saja di seluruh Kerajaan Banjar tapi sampai ke-seluruh Nusantara dan bahkan dipakai pada perguruan-perguruan di luar Nusantara Dan juga dijadikan dasar Negara Brunai Darussalam.
Karya-karyanya
Kitab karya Syekh Muhammad Arsyad yang paling terkenal ialah Kitab Sabilal Muhtadin, atau selengkapnya adalah Kitab Sabilal Muhtadin lit-tafaqquh fi amriddin, yang artinya dalam terjemahan bebas adalah "Jalan bagi orang-orang yang mendapat petunjuk untuk mendalami urusan-urusan agama".Kitab Sabil al Muhtadin ini bukan saja pernah menjadi rujukan kaum Muslim di Indonesia, tetapi juga di Singapura, Malaysia, Pattani, Vietnam, sampai Kamboja. Kitab ini juga tersimpan di perpustakaan besar di dunia, termasuk di Mekah, Mesir, Turki, dan Beirut. Kitab ini ditulis dalam bahasa Melayu dengan tulisan Arab jawi. Begitu tingginya penghormatan umat atas kitab ini, karena itu harus kembali kita jadikan rujukan.
Lebih-lebih Syekh al Banjari hidup melintasi kurun dua abad, yakni abad ke-18 dan ke-19. Ini adalah masa-masa penting terjadinya perubahan di kalangan umat Islam di satu sisi, dan perubahan ekonomi politik secara umum di lain sisi. Yang terpokok adalah mulai diberlakukannya uang kertas di kalangan Muslim, dan bersamaan dengan itu diperkenalkannya tata pemerintahan ala Eropa, yang asing dalam Islam.
Syekh al-Banjari hidup di abad ke 18 dan ke 19, ketika uang kertas juga telah mulai lazim beredar dan dipakai dalam masyarakat, termasuk di Nusantara. Akan tetapi dalam kitabnya Syekh al-Banjari menyatakan bahwa zakat hanya dapat dibayarkan dengan 'ayn, dan bukan dengan dayn. Adapun yang dimaksud 'ayn di dalam harta moneter tiada lain adalah nuqud, yaitu dinar emas dan dirham perak. Sebelumnya Syekh al-Banjari membedakan dua jenis zakat, yaitu zakat fitrah dan zakat al mal.
Demikian juga untuk komoditi-komoditi yang tidak terkena zakat pada 'ayn-nya sendiri, yaitu harta yang zakatnya ditetapkan atas dasar nilainya, yaitu barang atau komoditi yang diperdagangkan. Ini disebut sebagai zakat perniagaan atau zakat tijarah. Cara menetapkan nilainya, atau qimah-nya, dan alat untuk membayarkannya adalah nuqud, yaitu dinar emas atau dirham perak. Sedangkan untuk zakat fitrah Syekh al Banjari juga menyatakan bahwa kewajibannya adalah atas qut atau makanan pokok, yang tidak ada kaitannya dengan harta uang.
Untuk menegaskan pemahaman kita atas harta tertentu saja yang terkena zakat, dan tidak semua jenis harta terkena zakat bahkan yang dikenal sebagai benda mulia pun yang selain emas dan perak dan barang yang diperdagangkan, Syekh al Banjari secara khusus memberikan pernyataannya. Yaitu tidak ada zakat atas zamrud dan berlian. Penegasan ini diberikan oleh Syekh al Banjari mengingat di Martapura tempat umatnya tinggal banyak dihasilkan zamrud dan berlian. Keduanya hanya terkenai zakat bila diperdagangkan, dan zakatnya dinisab dan dibayarkan dengan dinar emas atau dirham perak
- Kitab Ushuluddin yang biasa disebut Kitab Sifat Duapuluh,
- Kitab Tuhfatur Raghibin, yaitu kitab yang membahas soal-soal itikad serta perbuatan yang sesat,
- Kitab Nuqtatul Ajlan, yaitu kitab tentang wanita serta tertib suami-isteri,
- Kitabul Fara-idl, hukum pembagian warisan.
dari berbagai sumber /Grando
dengan tanpa mengurangi rasa hormat saya dengan kemuliaan dan keberkahan dari syekh muhammad arsyad al banjary , saya meragukan silsilah beliau yang anda tulis , yang nyambung dengan habib abdullah alaydrus , karena abu bakar alhindy tidak punya putra bernama abdullah( kitab syamsuz zhahirah hal .101 karangan habib abdurrahman al masyhur ) ...dan juga tidak saya dapati nama sultan abdurrasyid salah satu dari sultan2 kesultanan mindanao ataupun kesultanan sulu --philippine( liat http://en.wikipedia.org/wiki/Sultanate_of_Maguindanao...)...trus terakhir dikatakan bahwa ayah beliau bernama abdullah berasal dari india ....kan rancu tuh...??????
BalasHapus