Sabtu, 14 Desember 2013

HAMDUN DAN MURID (14)

Abdillah dan Amir suatu hari duduk bersama di rumah Hamdun. Mereka ingin mempertanyakan sesuatu.

Abdillah membuka pembicaraan, “Tuan Guru, sudilah menjelaskan faedah membaca Ayat Kursi.”

Hamdun menatap kedua muridnya kemudian menjawab, “Jika kamu bertanya tentang faedahnya maka jawabku dunia ini laksana debu bagi setiap penggalan ayat dari Ayat Kursi itu.”

Amir penasaran dan bertanya, “Tuan Guru, saya mohon penjelasan lagi.”

Hamdun tersenyum dan menjawab, “Baiklah. Aku akan membuat penggalan demi penggalan dari Ayat Kursi itu. ALLAHU, jika Ismudz Dzat itu sudah mendarah daging, maksudnya berzikir dengan sendirinya tanpa lisanmu lagi menzikirkannya, maka sekalian kalimah yang lain tiada perlu lagi. Kamu sudah fana fillah, kamu sudah mati dan tiada lagi dirimu secara makna kecuali Dia. ALLAHU LA ILAHA ILLA HUWAL-HAYYUL-QAYYUM, bagi kamu memiliki hajat kemudian mewiridkan dengan kalimah itu dalam hitungan tertentu, dengan hati yang ikhlas dan menyerahkan dirimu hanya kepada Dia, maka pasti terkabul hajatmu itu atas izin Dia. ALLAHU LA ILAHA ILLA HUWAL-HAYYUL-QAYYUM LA TA’KHUDZUHU SINATU WA LA NAUM, jika ada di antara kamu yang ingin dikuatkan badan dan hati juga ditambahkan kecintaan untuk istiqamah dalam mendekatkan diri kepada Dia, maka bacalah kalimah itu karena Dia menyaksikan tingkah lakumu siang dan malam; saat kamu terjaga maupun tidur, saat kamu berdiri, duduk maupun berbaring. ALLAHU LA ILAHA ILLA HUWAL-HAYYUL-QAYYUM LA TA’KHUDZUHU SINATU WA LA NAUM LAHU MA FIS-SAMAWATI WAL-ARDLI, jika kamu banyak-banyak mewiridkan kalimah itu maka apa saja yang ada di langit dan di bumi akan mencintai kamu. ALLAHU LA ILAHA ILLA HUWAL-HAYYUL-QAYYUM LA TA’KHUDZUHU SINATU WA LA NAUM LAHU MA FIS-SAMAWATI WAL-ARDLI MAN DZAL-LADZI YASFA’U ‘INDAHU ILLA BI-IDZNIHI, jika kamu selalu mewiridkan kalimah itu maka kamu akan selalu dalam perlindungan Dia, tiada sesuatupun akan mencelakaimu kecuali atas kehendak Dia. ALLAHU LA ILAHA ILLA HUWAL-HAYYUL-QAYYUM LA TA’KHUDZUHU SINATU WA LA NAUM LAHU MA FIS-SAMAWATI WAL-ARDLI MAN DZAL-LADZI YASYFA’U ‘INDAHU ILLA BI-IDZNIHI YA’LAMU MA BAINA AIDIHIM WA MA KHALFAHUM WA LA YUHITHUNA BI SYAI’IN MIN ‘ILMIHI ILLA BI MASYA-A, jika kamu mewiridkan kalimah itu maka satu persatu ilmu-ilmu kegaiban akan tersingkap atas izin Dia. Apa yang ada di dalam dirimu, di dalam bumi atau di atas langit; jika Dia mengizinkan semua akan tunduk kepadamu. ALLAHU LA ILAHA ILLA HUWAL-HAYYUL-QAYYUM LA TA’KHUDZUHU SINATU WA LA NAUM LAHU MA FIS-SAMAWATI WAL-ARDLI MAN DZAL-LADZI YASYFA’U ‘INDAHU ILLA BI-IDZNIHI YA’LAMU MA BAINA AIDIHIM WA MA KHALFAHUM WA LA YUHITHUNA BI SYAI’IN MIN ‘ILMIHI ILLA BI MASYA-A WASI’A KURSIYUHUS-SAMAWATI WAL-ARLD WA LA YAUDUHU HIFDZUHUMA, jika kamu banyak mewiridkan kalimah itu, maka segala urusanmu akan mudah kamu selesaikan dan sempurnakan atas izin Dia. Bahkan jika ada anak yang nakal yang suka membantah, menentang dan melawan orangtuanya; bacakan saja kalimah itu tiga kali kemudian tiupkan ke air dan mandikan anak itu dengan air tadi. Insya Allah, atas izin Dia anak itu akan patuh dan berbakti kepada orangtuanya. ALLAHU LA ILAHA ILLA HUWAL-HAYYUL-QAYYUM LA TA’KHUDZUHU SINATU WA LA NAUM LAHU MA FIS-SAMAWATI WAL-ARDLI MAN DZAL-LADZI YASYFA’U ‘INDAHU ILLA BI-IDZNIHI YA’LAMU MA BAINA AIDIHIM WA MA KHALFAHUM WA LA YUHITHUNA BI SYAI’IN MIN ‘ILMIHI ILLA BI MASYA-A WASI’A KURSIYUHUS-SAMAWATI WAL-ARLD WA LA YAUDUHU HIFDZUHUMA WA HUWAL-‘ALIYUL-ADHIM, lengkaplah Ayat Kursi itu dan segala faedah yang lain-lain ada di dalamnya,” jelas Hamdun kepada kedua muridnya itu.

Amir bertanya lagi, “Tuan Guru, tetapi mengapa banyak sekali orang-orang yang membaca Ayat Kursi hanya karena takut pada jin dan hantu?”

Hamdun tertawa dan menjawab, “Itulah orang yang dikuasai nafsunya sendiri, merasa hidup kekal di bumi, takut kepada jin dan hantu karena merasa membawa badan dan kuatir disakiti oleh jin dan hantu itu, akhirnya dia pun kelak kalau mati akan jadi hantu karena tidak tahu apa tujuan dia hidup dan kemana akan kembali.”

Abdillah ikut tertawa sedangkan Amir bingung sendiri.

As Samh bin Al Malik Al Khulwani 

 

As-Samh bin Malik Al-Khaulani (Arab: السمح بن مالك الخولاني) adalah seorang wali (gubernur) dan jenderal Arab di provinsi Al-Andalus (sekarang Iberia) milik Kekhalifahan Umayyah, menjabat sejak tahun 718 hingga 721.
Pada masa pemerintahannya, ia memimpin serangan umat Muslim ke Perancis selatan pada awal abad ke-8. Ia memimpin pasukannya dengan sukses, dan mengepung berbagai kota Perancis termasuk Narbonne, Béziers, Agde, Lodève, Maguelonne (Montpellier) dan Nîmes. Lalu ia kembali ke Spanyol untuk mengumpulkan lebih banyak pasukan, sebelum menyerang kota Kristen Toulouseyang memiliki pertahanan kuat.
Ia kembali ke Perancis dengan tentara berjumlah lebih dari 375.000 orang,[rujukan?] terdiri dari senjata pengepungan, infanteri, kavaleri dan pasukan bayaran. Pengepungan terhadap Toulouse, yang memiliki tembok yang amat kuat, berjalan hingga awal musim panas. Pihak bertahan di Toulouse mulai kekurangan perbekalan dan hampir saja terkalahkan, namun pada 9 Juni 721 Eudes Agung, adipati Aquitane, datang dengan pasukan yang besar, menyerang pasukan As-Samh dari belakang, dan melakukan manuver pengepungan dengan sukses. Bagian pertempuran yang menentukan pun dimulai. As-Samh terjepit di antara pasukan Toulouse dan Eudes, dan mencoba melepaskan diri, namun gagal dan terjebak di temoat yang bernama Ballat. Disinilah As-Samh memutuskan untuk bertempur hingga orang terakhir, dan akhirnya pasukan Kristen berhasil menghancurkan pasukan As-Samh. As-Samh sendiri terluka berat dan meninggal tak lama sesudahnya.

Kamis, 12 Desember 2013

Penyakit-Penyakit Hati

Peran HatiSabda Nabi Muhammad SAW :
أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ
“….Perhatikanlah sesungguhnya di dalam tubuh manusia itu ada sekerat daging, jika sekerat daging itu baik, maka baiklah seluruh tubuh itu. Dan jika sekerat daging itu rusak, maka rusaklah seluruh tubuh, ketahuilah ! yang sekerat itu adalah hati.” (H.R Imam Bukhori & Muslim)
Hati adalah tuan dan rajanya seluruh anggota dan merupakan sumbernya keimanan serta akhlak dan niat yang tercela ataupun terpuji. Dan tidak akan bahagia kehidupan seseorang di dunia dan di akhirat kecuali dengan membersihkan dan mensucikan hati itu dari kejahatan-kejahatannya dankehinaannya, serta menghiasinya dengan kebaikan –kebaikan dan keutamaan-keutamaan.
Akhlak yang tercela dan sifat yang terkutuk di dalam hati itu banyak sekali, demikian juga akhlak yang terpuji serta sifat yang baik-baik yang sebaiknya bagi setiap orang mu’min agar menghiasi hatinya dengan hal-hal tersebut.
Ketahuilah bahwa sifat-sifat yang tercela di dalam hati itu merupakan penyakit baginya dan kadang-kadang menyebabkan kebinasaan di dunia dan di akhirat. Maka setiap mu’min tetap perlu mengobati hatinya dan tidak boleh tidak baginya harus berusaha untuk menyehatkan hatinya, sebab tidak akan selamat di akhirat kecuali yang menghadap Allah dengan hati yang selamat.
Untuk menyelamatkan hati dari penyakit-penyakit yang membinasakan itu, orang mu’min wajib membersihkan hati itu dari ragu-ragu terhadap Allah dan Rasul-Nya dan Akhirat, karena syak (ragu-ragu) itu adalah penyakit hati yang paling berbahaya terutama ketika menghadapi kematian yang kadang-kadang menyebabkan su’ul khotimah.
Penyakit ragu ini kadang-kadang merupakan musibah bagi sebagian orang. Maka tidak boleh bagi orang yang yang terdapat di dalam hatinya keragu-raguan tersebut yang menyebabkan menghadap Allah dalam keadaan ragu-ragu.
Maka wajib bagi orang mu’min untuk bersungguh-sungguh menghilangkan keragu-raguan terhadap Allah dan Rasulnya serta akhirat dari lubuk hatinya dengan sekuat tenaga.
Sesuatu yang paling manfaat untuk menghilangkan keragu-raguan itu ialah “Bertanya kepada Ulama yang ‘arif billah, yang benar-benar ahli dalam agama Allah serta zuhud terhadap dunia .”
Jika tidak mendapatkan ulama yang demikian, maka hendaklah mempelajari kitab-kitabnya yang dikarang oleh beliau-beliau itu dalam hal ilmu Tauhid dan keimanan yang benar.
Termasuk penyakit hati yang berat adalah Sombong, itu adalah sifat syetan : Allah SWT berfirman :
(وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ أَبَىٰ وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ) ,[Surat Al-Baqarah : 34
(لَا جَرَمَ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا يُسِرُّونَ وَمَا يُعْلِنُونَ ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْتَكْبِرِينَ) [Surat An-Nahl : 23],Allah SWT berfirman yang artinya “Orang yang sombong itu dibenci oleh Allah SWT”
Sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang yang berlagak dan bermegah-megah, karena berlagak dan bermegah-megah itu termasuk sifat orang yang sombong. Orang yang sombong dicap hatinya oleh Allah untuk tidak dapat ta’at kepada-Nya.
Sebagaimana firman Allah SWT : (الَّذِينَ يُجَادِلُونَ فِي آيَاتِ اللَّهِ بِغَيْرِ سُلْطَانٍ أَتَاهُمْ ۖ كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ وَعِنْدَ الَّذِينَ آمَنُوا ۚ كَذَٰلِكَ يَطْبَعُ اللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ قَلْبِ مُتَكَبِّرٍ جَبَّارٍ) [Surat Ghafir : 35]  yang artinya :  “Demikianlah Allah mengecap hati setiap orang yang sombong serta dzolim”
Orang yang sombong itu dipalingkan hatinya dari ayat-ayat Allah, sebagaimana firman Allah Ta’ala berfirman :
(سَأَصْرِفُ عَنْ آيَاتِيَ الَّذِينَ يَتَكَبَّرُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَإِنْ يَرَوْا كُلَّ آيَةٍ لَا يُؤْمِنُوا بِهَا وَإِنْ يَرَوْا سَبِيلَ الرُّشْدِ لَا يَتَّخِذُوهُ سَبِيلًا وَإِنْ يَرَوْا سَبِيلَ الْغَيِّ يَتَّخِذُوهُ سَبِيلًا ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا وَكَانُوا عَنْهَا غَافِلِينَ) [Surat Al-Araf : 146]) “Kami akan memalingkan hati orang-orang yang sombong di bumi ini dari ayat-ayat kami dan tidak mau menerima kebenaran
Firman Allah dalam hadits Qudsi : “Kebesaran adalah selendangKU, dan keagungan adalah kainKU, maka barang siapa yang merebut dari padaKU salah satu dari keduanya, pasti AKU lemparkan ia ke dalam neraka.”
Sabda Rasulullah SAW : “Orang-orang yang sombong akan dikumpulkan di padang mahsyar pada hari kiamat sekecil debu dalam bentuk manusia tertimpa kehinaan dari segala arah.”
Dan bersabda Rasulullah SAW: “Barangsiapa mengagungkan dirinya dan bertingkah dalam jalannya, ia akan menemui Allah dan Allah murka kepadanya.”
Bersabda Rasulullah SAW (mengenai Qorun) “ketika dia bergaya dengan pakaiannya karena membanggakan diri, tiba-tiba Allah membenamkan dia ke dalam bumi, maka dia meronta-rnta di dalamnya sampai hari kiamat.”
Tersebut dalam hadits pula : “Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat seberat biji yang kecil dari kesombongan. Bertanya seorang sahabat: “Wahai Rasulullah orang-orang senang jika pakaiannya bagus, sandalnya bagus (Apakah ia termasuk orang yang sombong?) Jawab Rasulullah SAW : “Sesungguhnya Allah SWT indah dan senang kepada keindahan.”
Sombong itu adalah menolak kebenaran dan menghinakan orang lain, maka barangsiapa yang mengagungkan dirinya dan bermegah-megah serta meremehkan/menganggap kecil orang lain, maka ia adalah orang yang sombong yang dikutuk oleh Allah SWT
Sesungguhnya sombong itu adanya di dalam hati, tetap ada ciri-cirinya yang terlihat yaitu :
• Senang menonjolkan diri diantara orang lain dan menampakkan ketinggiannya atas mereka yang senang tampil di dalam pergaulan dari cara berjalannya,
• tidak mau dibantah pembicaraannya walaupun salah dan tidak dapat diterima, dan meremehkan orang-orang Islam yang lemah dan miskin.
• Merasa dirinya suci dan memuji dirinya dan membanggakan nenek moyangnya dari ulama-ulama dan orang yang utama dan bermegah-megah dengan keturunan.
“Barangsiapa yang membanggakan diri kepada orang lain dengan keturunannya dan nenek moyangnya, maka hilanglah keberkahan nenek moyangnya bagi dia. Karena nenek moyangnya itu bukanlah orang-orang yang suka bermegah-megah dan menyombongkan diri kepada orang lain. Kalo mereka berbuat demikian niscaya tidak ada keutamaannya.
Bersabda Rasulullah SAW : “Barangsiapa yang lambat amalnya tidak akan dipercepat oleh nasabnya.”
Dan Sabdanya pula : “Wahai Fatimah binti Rasulullah, aku tidak berguna bagi di sisi Allah sediktpun, selamatkanlah diri kalian dari api neraka…” ….terusannya, ” Tidak lebih unggul orang yang berkulit merah dari pada orang yang berkulit hitam, dan juga tidak lebih unggul orang arab, kecuali dengan taqwanya terhadap Allah. Kalian berasal dari Nabi Adam dan Nabi Adam adalah dari tanah.”
Dan bersabda Rasulullah SAW : “Niscaya orang-orang akan berhenti dari membanggakan keturunannya ataukah akan lebih hina di sisi Allah daripada kecoa”
Keutamaan dan kemulyaan adalah dengan taqwa bukan dengan keturunan sebagaimana firman Allah SWT :
(يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ) : (Q.S Al-Hujurat 49:13),yang artinya : “ Sesungguhnya yang paling diantara kalian di sisi Allah adalah yang paling taqwa diantara kalian”
Walaupun orang Itu termasuk yang paling taqwa, dan paling berilmu, dan paling beribadah kemudian ia sombong terhadap orang lain dan membanggakan diri, niscaya ALLAH menggugurkan taqwanya dan membatalkan ibadahnya, apalagi sebaliknya merupakan kebodohan yang sangat besar dan kedunguan yang sangat parah.
Kebaikan itu seluruhnya ada pada sifat Tawadlu, khusyu dan merendahkan diri kepada Allah SWT. Sabda Rasulullah SAW : “Barangsiapa yang tawadlu, pasti diangkat derajatnya oleh Allah SWT dan barangsiapa yang sombong akan dihinakan oleh Allah SWT”
(Sumber : Kitab Nashoihud Diniyyah)

Mbah Dullah Waliyullah Kaya Raya

mbah Dullah Salam 

Bagi warga Nahdliyin siapa yang tak kenal Mbah Dullah Salam, Kajen? Beliau dikenal sebagai waliyullah yang kaya raya. Berikut penuturan Simbah Kakung Mustofa Bisri dalam artikelnya.
Berkenaan dengan haul Simbah KH. Abdullah Salam Kajen, rahimahuLlah, aku turunkan kembali tulisanku saat itu. Saat kudengar kepulangan orang hebat ini ke hadirat Ilahi 25 Sya’ban 1422. Mudah-mudahan ada manfaatnya.
MBAH DULLAH
Di Surabaya, dalam perjalanan pulang dari Jember, saya mendapat telpon dari anak saya bahwa Mbah Dullah, KH. Abdullah Salam Kajen, telah pulang ke rahamtuLlah. Innaa liLlahi wainnaa ilaiHi raaji’uun! Dikabarkan juga, berdasarkan wasiat almarhum walmaghfurlah, jenazah beliau akan langsung dikebumikan sore hari itu juga.
SubhanaLlah! Selalu saja setiap kali ada tokoh langka yang dicintai banyak orang meninggal, saya merasa seperti anak-anak yang terpukul, lalu hati kecil bicara yang tidak-tidak. Seperti kemarin itu ketika mendengar Mbah Dullah wafat, secara spontan hati kecil saya ‘gerundel’: “Mengapa bukan koruptor dan tokoh-tokoh jahat yang sibuk pamer gagah tanpa mempedulikan kepentingan orang banyak itu yang dicabut nyawanya? Mengapa justru orang baik yang dicintai masyarakat seperti mbah Dullah yang dipanggil?” Astaghfirullah!
Sepanjang perjalanan itu pun saya terus diam dengan pikiran mengembara. Kenangan demi kenangan tentang pribadi mulia mbah Dullah, kembali melela bagai gambar hidup.
Berperawakan gagah. Hidung mancung. Mata menyorot tajam. Kumis dan jenggotnya yang putih perak, menambah wibawanya. Hampir selalu tampil dengan pakaian putih-putih bersih, menyempurnakan kebersihan raut mukanya yang sedap dipandang.
Melihat penampilan dan rumahnya yang tidak  lebih baik dari gotakan tempat tinggal santri-santrinya, mungkin orang akan menganggapnya miskin; atau minimal tidak kaya. Tapi tengoklah; setiap minggu sekali pengajiannya diikuti oleh ribuan orang dari berbagai penjuru dan … semuanya disuguh makan.
Selain pengajian-pengajian itu, setiap hari beliau menerima tamu dari berbagai kalangan yang rata-rata membawa masalah untuk dimintakan pemecahannya. Mulai dari persoalan keluarga, ekonomi, hingga yang berkaitan dengan politik. Bahkan pedagang akik dan minyak pun beliau terima dan beliau ‘beri berkah’ dengan membeli dagangan mereka.
Ketika beliau masih menjadi pengurus (Syuriah) NU, aktifnya melebihi yang muda-muda. Seingat saya, beliau tidak pernah absen menghadiri musyawarah semacam Bahtsul masaail, pembahasan masalah-masalah yang berkaitan dengan agama,  yang diselenggarakan wilayah maupun cabang. Pada saat pembukaan muktamar ke 28 di Situbondo, panitia meminta beliau –atas usul kiai Syahid Kemadu—untuk membuka Muktamar dengan memimpin membaca Fatihah 41 kali. Dan beliau jalan kaki dari tempat parkir yang begitu jauh ke tempat sidang, semata-mata agar tidak menyusahkan panitia.
Semasa kondisi tubuh beliau masih kuat, beliau juga melayani undangan dari berbagai daerah untuk memimpin khataman Quran, menikahkan orang,  memimpin doa, dsb.
Ketika kondisi beliau sudah tidak begitu kuat, orang-orang pun menyelenggarakan acaranya di rumah beliau. Saya pernah kebetulan sowan, agak kaget di rumah beliau ternyata banyak sekali orang. Belakangan saya ketahui bahwa Mbah Dullah sedang punya gawe. Menikahkan tiga pasang calon pengantin dari berbagai daerah.
Mbah Dullah, begitu orang memanggil kiai sepuh haamilul Qur’an ini, meskipun sangat disegani dan dihormati termasuk oleh kalangan ulama sendiri, beliau termasuk  kiai yang menyukai musyawarah. Beliau bersedia mendengarkan bahkan tak segan-segan meminta pendapat orang, termasuk dari kalangan yang lebih muda. Beliau rela meminjamkan telinganya hingga untuk sekedar menampung pembicaraan-pembicaraan sepele orang awam. Ini adalah bagian dari sifat tawaduk dan kedermawanan beliau yang sudah diketahui banyak orang.
Tawaduk atau rendah hati dan kedermawanan adalah sikap yang hanya bisa dijalani oleh mereka yang kuat lahir batin, seperti Mbah Dullah. Mereka yang mempunyai (sedikit) kelebihan, jarang yang mampu melakukannya. Mempunyai sedikit kelebihan, apakah itu berupa kekuatan, kekuasaan, kekayaan, atau ilmu pengetahuan, biasanya membuat orang cenderung arogan atau minimal tak mau direndahkan.
Rendah hati berbeda dengan rendah diri. Berbeda dengan rendah hati yang muncul dari pribadi yang kuat, rendah diri muncul dari kelemahan. Mbah Dullah adalah pribadi yang kuat dan gagah luar dalam. Kekuatan beliau ditopang oleh kekayaan lahir dan terutama batin. Itu sebabnya, disamping dermawan dan suka memberi, Mbah Dullah termasuk salah satu –kalau tidak malah satu-satunya – kiai yang tidak mudah menerima bantuan atau pemberian orang, apalagi sampai meminta. Pantangan. Seolah-olah beliau memang tidak membutuhkan apa-apa dari orang lain. Bukankah ini yang namanya kaya?
Ya, mbah Dullah adalah tokoh yang mulai langka di zaman ini. Tokoh yang  hidupnya seolah-olah diwakafkan untuk masyarakat. Bukan saja karena beliau punya pesantren dan madrasah yang sangat berkualitas; lebih dari itu sepanjang hidupnya, mbah Dullah tidak berhenti melayani umat secara langsung maupun  melalui organisasi (Nahdlatul Ulama).
Mungkin banyak orang yang melayani umat, melalui organanisi atau langsung; tetapi yang dalam hal itu, tidak mengharap dan tidak mendapat imbalan sebagaimana mbah Dullah, saya rasa sangat langka saat ini. Melayani bagi mbah Dullah adalah bagian dari memberi. Dan memberi seolah merupakan kewajiban bagi beliau, sebagaimana meminta –bahkan sekedar menerima imbalan jasa– merupakan salah satu pantangan utama beliau.
Beliau tidak hanya memberikan waktunya untuk santri-santrinya, tapi juga untuk orang-orang awam. Beliau mempunyai pengajian umum rutin untuk kaum pria dan untuk kaum perempuan yang beliau sebut dengan tawadluk sebagai ‘belajar bersana’. Mereka yang mengaji tidak hanya beliau beri ilmu dan hikmah, tapi juga makan setelah mengaji.
Pernah ada seorang kaya yang ikut mengaji, berbisik-bisik: “Orang sekian banyaknya yang mengaji kok dikasi makan semua, kan kasihan kiai.” Dan orang ini pun sehabis mengaji menyalami mbah Dullah dengan salam tempel, bersalaman dengan menyelipkan uang. Spontan mbah Dullah minta untuk diumumkan, agar jamaah yang mengaji tidak usah bersalaman dengan beliau sehabis mengaji. “Cukup bersalaman dalam hati saja!” kata beliau. Konon orang kaya itu kemudian diajak beliau ke rumahnya yang sederhana  dan diperlihatkan tumpukan karung beras yang nyaris menyentuh atap rumah, “Lihatlah, saya ini kaya!” kata beliau kepada tamunya itu.
Memang hanya hamba yang fakir  ilaLlah-lah, seperti mbah Dullah, yang  sebenar-benar kaya.
Kisah lain; pernah suatu hari datang menghadap beliau, seseorang dari luar daerah dengan membawa segepok uang ratusan ribu. Uang itu disodorkan kepada mbah Dullah sambil berkata: “Terimalah ini, mbah, sedekah kami ala kadarnya.”
“Di tempat Sampeyan apa sudah tak ada lagi orang faqir?” tanya mbah Dullah tanpa sedikit pun melihat tumpukan uang yang disodorkan tamunya, “kok Sampeyan repot-repot membawa sedekah kemari?”
“Orang-orang faqir di tempat saya sudah kebagian semua, mbah; semua sudah saya beri.”
“Apa Sampeyan  menganggap saya ini orang faqir?” tanya mbah Dullah.
“Ya enggak, mbah …” jawab si tamu terbata-bata. Belum lagi selesai bicaranya, mbah Dullah sudah menukas dengan suara penuh wibawa: “Kalau begitu, Sampeyan bawa kembali uang Sampeyan. Berikan kepada orang faqir yang memerlukannya!”
Kisah yang beredar tentang ‘sikap kaya’ mbah Dullah semacam itu sangat banyak dan masyhur di kalangan masyarakat daerahnya.
Mbah Dullah ‘memiliki’, di samping pesantren, madrasah yang didirikan bersama rekan-rekannya para kiai setempat. Madrasah ini sangat terkenal dan berpengaruh; termasuk –kalau tidak satu-satunya— madrasah yang benar-benar mandiri dengan pengertian yang sesungguhnya dalam segala hal.
32 tahun pemerintah orde baru tak mampu menyentuhkan bantuan apa pun ke madrasah ini. Orientasi keilmuan madrasah ini pun tak tergoyahkan hingga kini. Mereka yang akan sekolah dengan niat mencari ijazah atau kepentingan-kepentingan di luar ‘menghilangkan kebodohan’, jangan coba-coba memasuki madrasah ini.
Ini bukan berarti madrasahnya itu tidak menerima pembaruan dan melawan perkembangan zaman. Sama sekali. Seperti umumnya ulama pesantren, beliau berpegang kepada ‘Al-Muhaafadhatu ‘alal qadiemis shaalih wal akhdzu bil jadiedil ashlah’, Memelihara yang lama yang relevan dan mengambil yang baru yang lebih relevan. Hal ini bisa dilihat dari kurikulum, sylabus, dan matapelajaran-matapelajaran yang diajarkan yang disesuaikan dengan kebutuhan zaman.
Singkat kata, sebagai madrasah tempat belajar, madrasah mbah Dullah mungkin sama saja dengan yang lain. Yang membedakan ialah karakternya.
Agaknya mbah Dullah –rahimahuLlah — melalui teladan dan sentuhannya kepada pesantren dan madrasahnya, ingin mencetak manusia-manusia yang kuat ‘dari dalam’; yang gagah ‘dari dalam’; yang kaya ‘dari dalam’; sebagaimana beliau sendiri. Manusia yang berani berdiri sendiri sebagai khalifah dan hanya tunduk menyerah sebagai hamba kepada Allah SWT.
Bila benar; inilah perjuang yang luar biasa berat. Betapa tidak? Kecenderungan manusia di akhir zaman ini justru kebalikan dari yang mungkin menjadi obsesi mbah Dullah. Manusia masa kini justru seperti cenderung ingin menjadi orang kuat ‘dari luar’; gagah ‘dari luar’; kaya ‘dari luar’, meski terus miskin di dalam.
Orang menganggap dirinya kuat bila memiliki sarana-sarana  dan orang-orang di luar dirinya yang memperkuat; meski bila dilucuti dari semua itu menjadi lebih lemah dari makhluk yang paling lemah. Orang menganggap dirinya gagah bila mengenakan baju gagah; meski bila ditelanjangi tak lebih dari kucing kurap. Orang menganggap dirinya kaya karena merasa memiliki harta berlimpah; meski setiap saat terus merasa kekurangan.
Waba’du; sayang sekali jarang orang yang dapat menangkap kelebihan mbah Dullah yang langka itu. Bahkan yang banyak justru mereka yang menganggap dan memujanya sebagai wali yang memiliki keistimewaan khariqul ‘aadah. Dapat melihat hal-hal yang ghaib; dapat bicara dengan orang-orang yang sudah meninggal; dapat menyembuhkan segala penyakit; dsb. dst.  Lalu karenanya, memperlakukan orang mulia itu sekedar semacam dukun saja. Masya Allah!
Ke-’wali’-an Mbah Dullah –waLlahu a’lam– justru karena sepanjang hidupnya, beliau berusaha –dan membuktikan sejauh mungkin–  melaksanakan ajaran dan keteladanan pemimpin agungnya, Muhammad SAW, terutama dalam sikap, perilaku, dan kegiatan-kegiatan beliau; baik yang berhubungan dengan Allah maupun dengan sesama hambaNya.
Begitulah; Mbah Dullah yang selalu memberikan keteduhan itu telah meninggalkan  kita di dunia yang semakin panas ini. Beliau sengaja berwasiat untuk segera dimakamkan apabila meninggal. Agaknya beliau, seperti saat hidup, tidak ingin menyusahkan atau merepotkan orang. Atau, siapa tahu, kerinduannya sudah tak tertahankan untuk menghadap Khaliqnya.
Dan Ahad, 25 Sya’ban 1422 / 11 November 2001 sore, ketika Mbah Dullah dipanggil ke rahmatuLlah, wasiat beliau pun dilaksanakan. Beliau dikebumikan sore itu juga di dekat surau sederhananya di Polgarut Kajen Pati.
“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan rida dan diridai, masuklah ke dalam  golongan hamba-hamba-sejatiKu, dan masuklah ke dalam sorgaKu!”
 Selamat jalan, Mbah Dullah! AnnasakumuLlah ilaa yaumi yub’atsuun!         
Dikutip dari kumpulan artikel Simbah Kakung Mustofa Bisri, Rembang, Jawa Tengah


Neosufisme Di Kalangan Pengusaha Muslim Indonesia

 oleh Mas Say Laros

Akhir-akhir ini kajian tentang tasawuf mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Perlahan tapi pasti, tasawuf mulai diterima hamper seluruh kalangan masyarakat khususnya di indonesia.Dan pembahasan mengenai tasawuf ini bukan menjadi sesuatu hal yang kontroversial bagi sebagian umat Islam seperti beberapa abad silam, ketika para sufi banyak yang dianggap menyimpang.Fenomena yang terjadi seperti ini mengindikasikan cara keberagamaan masyarakat yang sudah mulai beralih ke cara sufistik.
Tasawuf sebagai segi batin agama — sementara segi lahirnya disebut syari’ah — adalah bidang ilmu keislaman yang bisa dibagi dalam tiga bagian: tasawuf akhlaqi, tasawuf amali dan tasawuf falsafi. Tasawuf akhlaqi ialah ajaran akhlak dalam kehidupan sehari-hari guna memperoleh kebahagiaan yang optimal. Tasawuf akhlaqi meliputi tahalli (penyucian diri dari sifat-sifat tercela, menghiasi dan membiasakan diri dengan sikap terpuji) dan tajalli, yaitu tersingkapnya Nur Ilahi.
Kerinduan pada spiritualisme tampaknya melanda beberapa masyarakat yang terhitung terdidik secara modern.Dimensi batin ini dalam fitrahnya memang membutuhkan semacam terapi dalam menghadapi akumulasi kejenuhan dan kekeringan jiwa. Hal inilah yang antara lain memunculkan tuntutan terhadap pentingnya spiritualisme. Salah satunya adalah melalui tasawuf.
Dengan banyaknya orang yang mulai melirik ajaran tasawuf ini khususnya dikalangan pengusaha muslim mengindikasikan bahwa Neosufisme sudah merasuki jiwa-jiwa entrepreneur muslim saat ini.Lalu,Bagaimana implementasi neosufisme ini didalam tataran bisnis yang islami?Oleh karena itu melalui tulisan ini saya ingin menyampaikan betapa pentingnya penerapan Neosufisme dalam kehidupan sehari-hari khususnya dunia bisnis.
Pengertian Neo-Sufisme
Neo-sufisme lebih menekankan manusia pada aspek rekonstruksi moral sosial masyarakat. Sufisme merupakan terapi yang efektif untuk membuat orang lebih manusiawi pula. Menjalani sufisme bukan berarti meninggalkan dunia. Tetapi, menjalani sufisme justru meletakkan nilai yang tinggi pada dunia dan memandang dunia sebagai media meraih spiritualitas yang sempurna.
Pada hakekatnya Neo-sufisme berarti paham tasawuf baru, atau menurut istilah Fazlurrahman, tasawuf yang diperbaharui untuk menyebut paham tasawuf para ahli hadits yang puritan, terutama tasawuf Ibnu Taimiyah dan muridnya, ibnu Al-Qayum Al-Jauziyah .
Neo-sufisme, dipelopori oleh tokoh salaf, Ibnu Taimiyah. Meskipun ia menentang berbagai praktek sufi, terutama kultus individu, namun Ibnu Taimiyah justru mengadopsi metode yang mereka gunakan. Ia meniru cara-cara kaum sufi dalam menjalin komunikasi yang akrab dengan Allah SWT.
Sebagai ahli hukum Islam, ia berusaha menyeimbangkan syari’at dan tasawuf. Adapun caranya ialah, berbagai ragam pengalaman sufistik ia uji dengan pengalaman empirik. Perilaku eksternal sufi dikonfrontasikan dan diuji dengan merujuk pada aspek lahiriah ajaran islam. Neo-Sufisme cenderung mengacu pada kehidupan Nabi SAW secara utuh. Tidak ada dikotomi antar syari’at dan taswuf karena nabi Muhammad mampu menggabungkan keduanya dalam satu perilaku dan cermin kehidupan. Tidak ada dikotomi antara filsafat dan tasawuf karena Nabi membangun pola kehidupan yang merangkum keduanya.
Dalam buku the seculer city Harvey Cox, pernah memprediksi keruntuhan agama karena modernisme. Tetapi, agaknya ia segera merubah teorinya, karena ternyata modernisasai sama sekali tidak melumpuhkan agama. Modernisme justru mengantar mansuia pada jalan buntu yang menyebabkan mereka berpaling pada nilai-nilai spritual dan pencarian makna hidup. Fenomena ini diidentifikasi oleh Futrolokg Jhon Naisbitt dan Patridcia Abordene sebagai kebangkitan agama (spritualisme) millenium ketiga (Megatrends 2000, h. 254). Dalam islam kebangkitan spritualisme yang menandai era baru yang disebut Paskahmodernisme itu timbul antara lain dalam bentuk Neo-Sufisme.
Neo-Sufisme menurut Fazlurrahman memilki beberapa ciri yang membedakan dengan tasawwuf populer :
1.      Pertama, Neo-Sufisme, memberikan pengahargaan positif pada dunia untuk seorang sufi. Menurut paham ini tidak harus miskin, bahkan boleh kaya. Kesalehan, menurut paham ini bukan dengan menolak harta dan kekayaan, tatapi mempergunakannya sesuai petunjuk Allah dan Sunnah Rasul.
2.      Kedua, Neo-Sufisme menekankan kesucian moral dan akhlakul karimah sebagai upaya memperkuat iman dan takwa.
3.      Ketiga, dalam Neo-Sufisme terdapat aktivitas dan dinamika baik dalam berpikir maupun dalam bertindak.
Neo-Sufisme tetap menghendaki penghayatan esoterisme yang mendalam, tetapi tidak dengan mengasingkan diri (uzlah), melainkan tetap aktif melibatkan diri dalam masyarakat. Selain sebagai olah rohani, tasawuf klasik berperan melancarkan gerakan oposisi keagamaan (pious opposition) terhadap praktik-praktik penindasan.
Sejarah Lahirnya Neo-Sufisme
Sebagaimana dengan perjalanan tasawuf klasik sebagai cikal bakal neo-sufisme diatas, maka dalam perkembangannya tasawuf terutama pada abad III H, pengaruh eksternal semakin terasa, antara lain dipengaruhi berbagai macam corak budaya. Dampak dari hal ini melahirkan dua corak pemikiran tasawuf, yaitu yang bercorak dengan materi dasarnya bersandar pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, dengan ide gagasan pada pembentukan moralitas, di back up ulama moderat pada satu sisi, sedang pada sisi lain tasawuf yang bercorak dengan materi dasarnya banyak bersumber dari filsafat dengan kecendrungan pada materi hubungan manusia dengan Tuhan, diusung oleh para filosof yang terkadang mengemukakan paengalaman ekstasik-fananya dan ucapan-ucapan syatahat ganjil, ditandai banyak pemikiran spekulatif-metafisis, seperti yang sudah diungkapkan diatas, yaitu al-Hulul, Wahdat Al-Wujud atau Al-Ittihad atau lainnya.
Sufisme sebagaimana yang telah diterangkan sebelum ini menempatkan penghayatan keagamaan melalui pendekatan batiniah. Kesan dari pendekatan esoterik ini adalah disebabkan kepincangan dalam tindak tanduk nilai-nilai Islam yang lebih mengutamakan makna batiniah atau ketentuan yang tersirat saja tanpa memerhatikan juga dari aspek lahiriahnya.
 Oleh kerana itu adalah wajar apabila melalui penonjolan sikap ini, kaum sufi tidak tertarik untuk memikirkan masalah-masalah sosial kemasyarakatan, bahkan lebih tertumpu ke arah aspek-aspek peribadatan saja. Dari sudut lain, terdapat pula kelompok muslimin (bahkan mayoritasnya) yang lebih mengutamakan aspek-aspek formal–lahiriah ajaran agama melalui pendekatan eksoterik-rasional.
Dalam hal ini, mereka lebih menitikberatkan perhatian dari aspek-aspek syariah saja sehingga kelompok ini digelar sebagai kaum lahiriah. Dari banyak usaha percobaan menyatukan antara dua pandangan yang berbeda orientasi itu, maka al-Ghazali telah mengutarakan konsep yang dikenal sebagai syariat, tarekat dan hakikat yang terpadu secara utuh. Dalam hal ini, al-Ghazali menjelaskan bahwa penghayatan keagamaan harus melalui proses berperingkat dan berpadu antara syariat dan tasawuf. Sebelum memasuki dunia tasawuf, seseorang harus terlebih dahulu memahami Syariat, tetapi untuk dapat memahami Syariat secara benar dan mendalam, harus melalui proses tarekat.
Tarekat adalah merupakan sistem esoterik yang akan menghasilkan kualitas pemahaman yang tinggi yang disebut sebagai hakikat.Usaha rekonsialisasi sufistik ini belum sepenuhnya berhasil untuk mengembalikan misi dan pesan dasar tasawuf secara total sebagai pendorong gerakan moral dan ruh Islam yang berkarakter damai dan harmonis.
Hegemoni lembaga-lembaga tasawuf justru banyak mengubah dimensi spiritual-moral-sosial kepada dimensi spiritual-mistik-individual. Namun usaha Ghazali harus diakui sebagai inspirasi bagi tokoh setelahnya, walaupun Ghazali mempunyai beberapa kelemahan terutama pada karyanya yang tidak berisi etos sosial dimana individu menjadi pusat perhatian yang berlebihan, sehingga banyak diantara pengikut al-Ghazali sendiri dan tarekat pasca al-Ghazali menyingkir dari dunia sosial dan berpangku tangan dari dinamika sosial, politik dan kebudayaan masyarakatnya.
Tatkala kondisi dan fenomena ini semakin melembaga, maka lahirlah kesadaran akan pentingnya membangkitkan kembali jati diri sufisme yang lebih menekankan dimensi moral umat dengan merekontruksi sejarah awal dan substansi sufisme. Kesadarana ini sebagaimana yang diungkapkan Fazlur Rahman dipelopori oleh Ibn Taimiyah, yang diikuti oleh muridnya Ibn Qayyim al-Jauziyah dan dikembangkan oleh Fazlur Rahman dengan nama Neo-Sufisme atau sufisme baru.[ Fazlur Rahman, Islam, terjemahan oleh Ahsin Muhammad (Jakarta : Pustaka Bandung, 1984), h. 79]
Neo-sufisme secara terminologi pertama kali ditonjolkan oleh pemikir muslim kontemporer yaitu Fazlur Rahman dalam bukunya Islam.[ Ibid, 193-194] Kemunculan istilah ini tidak begitu saja diterima para pemikir muslim, tetapi telah menjadikan perbincangan yang luas dalam kalangan para ilmuwan. Sebelum Fazlur Rahman, Hamka telah memperkenalkan istilah tasawuf moden dalam bukunya Tasauf Modern. Namun dalam dalam karyanya ini tidak ditemui istilah “neo-sufisme” yang dimaksudkan di sini. Keseluruhan isi buku ini terlihat wujudnya kesejajaran prinsip-prinsipnya dengan tasawuf al-Ghazali kecuali dalam hal ‘uzlah. Kalau al-Ghazali mensyaratkan ‘uzlah dalam penjelajahan menuju konsep hakikat, [ Muhammad al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, Jilid II (Beirut : Dar al-Ma’rifah, tt), h. 222] maka Hamka menghendaki agar seseorang pencari kebenaran hakiki tetap aktif dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat.[ Hamka, Modern…, h.150-174]
Konsep neo-sufisme oleh Fazlur Rahman sesungguhnya menghendaki agar umat Islam mampu melakukan tawazun (keseimbangan) antara pemenuhan kepentingan akhirat dan kepentingan dunia, serta umat Islam harus mampu meformulasikan ajaran Islam dalam kehisupan sosial.
Kebangkitan kembali tasawuf di dunia Islam dengan istilah baru yaitu neo-sufisme nampaknya tidak boleh dipisahkan dari apa yang disebut sebagai kebangkitan agama. Kebangkitan ini juga adalah lanjutan kepada penolakan terhadap kepercayaan yang berlebihan kepada sains dan teknologi selaku produk dari era modenisme. Modernisme telah dinilai sebagai gagal memberikan kehidupan yang bermakna kepada manusia. Oleh karena itu ramai manusia telah kembali kepada nilai-nilai keagamaan kerana salah satu fungsi agama adalah memberikan makna bagi kehidupan.
Demikianlah, era post-modernisme yang dibelenggu dengan bermacam-macam krisis yang semakin parah dalam berbagai aspek kehidupan. Akhlak masyarakat semakin buruk dan kejahatan semakin banyak. Kebangkitan nilai-nilai keagamaan tidak salah lagi telah menggerakkan kembali upaya menghidupkan karya-karya klasik dengan pendekatan baru termasuklah juga dalam bidang tasawuf. Karya-karya dalam bidang tasawuf yang dihasilkan oleh penulis kontemporari seperti al-Taftazani menunjukkan adanya garis lurus untuk menegaskan kembali bahwa tradisi tasawuf tidak pernah lepas dari akar Islam.
 Ini menunjukkan bahwa kebangkitan tasawuf kontemporer ditandai dengan pendekatan yang sangat pesat antara spiritualisme tasawuf dengan konsep-konsep Syariah. Tasawuf yang dianut dan dikembangkan oleh sufi kontemporer nampaknya berbeda dari sufisme yang difahami oleh kebanyakan orang selama ini yaitu sufisme yang hampir lepas dari akarnya (Islam), cenderung bersifat memisah atau eksklusif. Menurut mereka, sufisme yang berkembang kebelakangan ini, sebagaimana dinyatakan oleh Akhbar S Ahmed, pasca-modernisme membawa kita kepada kesadaran betapa pentingnya nilai keagamaan dan keperluan terhadap toleransi serta perlunya memahami orang lain yang semuanya terdapat dalam neosufisme.
Karakteristik Neo-Sufisme
Menurut Fazlur Rahman, neosufisme adalah “reformed sufism” yang bermaksud sufisme yang telah diperbaharui.[ Rahman, Islam …, h. 196-205] Sekiranya pada era kecemerlangan sufisme terdahulu aspek yang paling dominan adalah sifat ekstatik-metafisis atau mistis-filosofis, maka dalam sufisme baru ini ianya digantikan dengan prinsip-prinsip Islam ortodoks
 Neo-sufisme mengalihkan pusat pengamatan kepada pembinaan semula sosio-moral masyarakat Muslim, sedangkan sufisme terdahulu didapati lebih bersifat individu dan hampir tidak melibatkan diri dalam hal-hal kemasyarakatan. Oleh karena itu, karakter keseluruhan neo-sufisme adalah “puritanis dan aktivis”. Tokoh-tokoh atau kumpulan yang paling berperanan dalam reformasi sufisme ini juga merupakan paling bertanggung jawab dalam kristalisasi kebangkitan neo-sufisme.
Menurut Fazlur Rahman, kumpulan tersebut adalah kumpulan Ahl al-Hadith.[ Ibid, h. 194] Mereka ini coba untuk menyesuaikan sebanyak mungkin warisan kaum sufi yang dapat diharmonikan dengan Islam orthodox terutamanya motif moral sufisme melalui teknik zikir, muraqabah atau mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Berdasarkan hal tersebut, didapati bahwa tujuan neo-sufisme cenderung kepada penekanan yang lebih intensif terhadap memperkukuh iman sesuai dengan prinsip-prinsip akidah Islam dan penilaian terhadap kehidupan duniawi sama kehidupan ukhrawi.[ Ibid, h. 195] Akibat dari sikap keberagamaan ini menyebabkan wujudnya penyatuan nilai antara kehidupan duniawi dengan nilai kehidupan ukhrawi atau kehidupan yang “terresterial” dengan kehidupan yang kosmologis.
Dalam hal ini, al-Qushashi menyatakan bahawa sufi yang sebenarnya bukanlah yang mengasingkan dirinya dari masyarakat, tetapi sufi yang tetap aktif di tengah kehidupan masyarakat dan melakukan al-’amr bi al-ma’ruf wa nahy `an al- munkar (islah) demi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat.[ Ahmad al-Qushashi, al-Simt al-Majid, (Haiderabad: Da’irat al-Ma`arif al-Zizamiyyah, tt) h. 119-120]
Manakala Sa‘id Ramadan al-Buti pula mengutarakan konsep Ruhaniyyah al-Ijtima`iyyah atau spiritualisme sosial. Beliau merupakan penggerak kepada konsep neo-sufisme ini yang bermarkas di Geneva. Dalam hal ini al-Buti mengecam sikap dan cara hidup seperti yang digambarkan sufi terdahulu yang sangat mementingkan ukhrawi, sehingga tersisih daripada kehidupan masyarakat yang menurutnya itu adalah egois dan pengecut, hanya mementingkan diri sendiri. Sikap hidup yang benar adalah “tawazun” yaitu keseimbangan dalam diri sendiri termasuk dalam kehidupan spiritualnya serta kehidupan duniawi dan ukhrawi.[ Sa`id Ramadan al-Buti, al-Ruhaniyyah al-Ijtima‘iyyah fi al-Islam, ( Geneva: al-Markaz al-Islam,1965 ) h. 61.]
Adapun cirri-ciri Neo-Sufisme menurut Ahmad Najib Burhani yaitu :
  • Tidak mengenal Tarekat
  • Inklusif dalam memandang aliran tasawuf bahkan agama lain
  • Tidak mengenal guru atau mursyid apalagi guru rohani
  • Didominasi kaum terpelajar
Pengikutnya dari kalangan yang bermateri cukup[ Ahmad Najib Burhani, Sufisme Kota Berpikir Jernih Menemukan Spiritualis Positif, (Jakarta : Serambi, 2001), h. 13 ]Berdasarkan beberapa pandangan dan komentar di atas jelas menunjukkan bahawa neo-sufisme berupaya untuk kembali kepada nilai-nilai Islam yang utuh (kaffah) yaitu kehidupan yang seimbang (tawazun) dalam segala aspek kehidupan dan dalam segala segi ekspresi kemanusiaan. Dengan alasan ini pula dapat dikatakan bahwa yang disebut neo-sufisme itu tidak kesemuanya adalah “barang baru”, namun lebih tepat dikatakan sebagai sufisme yang dipraktikkan dalam kehidupan pribadi dan bermasyarakat sesuai dengan kedudukan masa kini.
Dengan menukilkan sedikit rumusan Nurcholish Madjid yang mengatakan bahawa neo-sufisme adalah sebuah esoterisme atau penghayatan keagamaan batini yang menghendaki hidup secara aktif dan terlibat dalam masalah-masalah kemasyarakatan. [ Madjid, Agama … h.15] Neo-sufisme mendorong dibukanya peluang bagi penghayatan makna keagamaan dan pengamalannya yang lebih utuh dan tidak terbatas pada salah satu aspeknya saja tetapi yang lebih penting adalah keseimbangan (tawazun).
Pandangan Tokoh Tarekat Masa Kini Terhadap Neo-Sufisme
Karena keterbatasan literatur, maka disini penulis hanya dapat menyampaikan pandangan satu tokoh tarekat Samaniyah yaitu Syekh Muda Ahmad Arifin terhadap Neo-Sufisme, walaupun pandangan beliau tidak dapat diartikan merupakan pandangan seluruh tokoh tarekat saat ini, namun kiranya dapat menjadi bahan perbandingan.
Menyikapi Neo-Sufisme, tokoh ini menolak dengan tegas keberadaanya dengan beberapa alasan antara lain yaitu :Kelahiran dan kebangkitan Neo-Sufisme dikarenakan ekses negatif Neo-Modernisme, sedangkan tasawuf klasik lahir dari Islam itu sendiri. Dengan demikian Neo-Sufisme adalah tempat pelarian dari ekses negatif Neo-Modernisme, dan jika hal ini teratasi dengan sendirinya Neo-Sufisme akan ditinggalkan.
Gagasan Neo-Sufisme lahir dari pemikiran Fazlur Rahman, Nurcolish Madjid dan Hamka yang tidak pernah masuk tarekat dan tidak mempunyai guru rohani yang hakikatnya sangat awam dengan tasawuf, maka sangat diragukan kapasitasnya bila berbicara tentang tasawuf.
Neo-Sufisme tidak memiliki konsep yang jelas dalam mengatasi problem manusia, bahkan cenderung menjadikan tasawuf sebagai komoditi spiritual sesaat konsumen.Neo-Sufisme menuduh ahli tarekat sebagai orang benci dunia, padahal ahli tarekat tidak menolak dunia, namun tidak mabuk dunia dan menempatkan harta di hati.
Peran Neosufisme Di Era Modern
Pada dasarnya,Munculnya neosufisme ini berawal dari akibat adanya perpecahan terselubung oleh umat islam dalam memahami dan mempraktekkan ajaran-ajaran islam, yang pada akhirnya menyudutkan dirinya sendiri-sendiri dalam golongan tertentu. Antara golongan yang semasa hidupnya hanya untuk menyembah Allah.atau mengutamakan hal-hal yang bersifat bathiniyyah (esoteris) dengan golongan yang dalam menyembah Allah hanya dengan perantara syariat atau Dzohiriyyah (eksoteris).
Akhirnya dengan Neosufisme inilah yang mencoba menyatukan antara saudara-saudara muslim yang menggolong-golongkan diri dan kelompoknya sendiri-sendiri, mengutamakan bathiniyyah dan tidak mengesampingkan dzahiriyyah.
Ada berbagai contoh nyata kesuksesan-kesuksesan yang diraih para tokoh islam zaman dahulu, ternyata salah satunya tidak mengunggulkan salah satu antara hal-hal yang bersifat bathiniyyah dan dzahiriyyah walaupun ada juga yang hanya mengandalkan antara satu dan lainnya. Hal ini dikarenakan sebab ketika Allah dalam menciptakan makhluk pasti berpasang-pasang dan keduanya dalam menjalani tugas sebagai makhluk harus seimbang.
Sebagai contoh, ketika para sufisme zaman dahulu hanya mementingkan hal-hal yang mengacu pada Bathiniyyah dan mengesampingkan Dzahiriyyah, ternyata tindakan ini tanpa disadari berdampak fatal. Yakni mereka mengalami kemunduran drastis dalam dunia yang penuh gemerlap warna ini. Baik yang menyinggung pemikiran atau perasaan.
Maka, tak heran jika zaman sekarang banyak Muslimin yang menyesali kejadian itu dan rindu akan zaman keemasan (Al Asr Al Dzahab) yang pernah diraih para muslim terdahulu.Contoh nyata kesuksesan dan kebahagiaan yang diraih para pengikut sufi , didunia dan Insya Allah diakhirat pula. Seperti Umar ibn Abdul Aziz, seorang raja yang bersifat asketis atau zuhud, Jabir ibn Hayyan, seorang fisikawan muslim tersohor, Al Junaid, seorang pengusaha sukses, Syaikh Abu Al Hasan Asy Syadzili, seorang petani sukses dan Syaikh Fariduddin Al Athar, seorang salesman yang sukses.
Oleh karena itu Neosufisme tetap penting untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari agar supaya antara kehidupan dunia dan akhirat bisa seimbang.Allah menciptakan dunia ini untuk manusia asalkan dimanfaatkan dengan benar sebagai sarana untuk beribadah kepada allah swt dan mencari Ridho-NYA.
Implementasi Neosufisme Di Kalangan Pengusaha Muslim Indonesia
Aa Gym atau biasa dikenal dengan panggilan Aa beliau lahir pada hari senin tanggal 29 Januari 1962, beliau adalah putera tertua dari empat bersaudara pasangan letnan kolonel (letkol) H. Engkus Kuswara dan Ny. Hj. Yeti Rohayati. Saudara kandung lainnya adalah: Abdurrahman Yuri, Agung Gunmartin, dan Fathimah Genstreed.
Pada masa mudanya, selain menuntut ilmu dan aktif berorganisasi, Aa Gym juga memiliki kegemaran berdagang. Dialah yang memelopori pembuatan stiker-stiker barsablon yang menunjukkan kekuatan dan keindahan Islam, dia juga pernah berjualan minyak wangi. Seraya tertawa dia bercerita, pernah seharian suntuk ia membersihkan botol-botol minyak gosok PPO untuk diisi minyak wangi hasil racikannya.
 Seluruh hasil kerja Aa Gym akhirnya membuahkan hasil, dia kemudian dapat membeli 1 unit mobil angkutan kota (angkot) dan kadang-kadang dia yang menjadi supirnya. Jika ada acara wisuda, dia menjual baterai dan film, selain itu juga kadang-kadang dia mengamen dari satu rumah makan ke rumah makan lainnya. “Sebenarnya tujuan saya mengamen ini bukan untuk mencari uang, melainkan ingin berlatih dalam berhadapan dengan orang lain, tapi ya lumayan juga dapat uang” ujarnya.
Disamping sebagai seorang Da’I dia juga dikenal sebagai pengusaha muslim yang cukup sukses.Beliau mengatakan bahwa pendidikan karakter seperti inilah yang sebenarnya sangat dibutuhkan dalam aktivitas Bisnis. Karena dengan memiliki pendidikan karakter yang baik maka aktivitas bisnis yang sedang dijalani akan selalu berorientasi pada kebaikan dan kebenaran. Dalam dunia bisnis yang penuh dengan persaingan, diperlukan pribadi yang baik. Seperti yang dikatakan oleh da`i kondang Aa Gym dalam acara Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) di Bali.
 Beliau menyatakan bahwa yang terpenting dalam pribadi pebisnis adalah Kredibilitas. Yang berarti pendidikan karakter yang baik. Sama halnya dengan proses maqamat dalam tasawuf, seorang pebisnis sebelum menjalankan usahanya perlu membersihkan niat untuk memulai usahanya. Sehingga saat membangun usaha dari nol, dan mengalami masa-masa tersulit, ia mampu bertahan sekalipun jatuh-bangun selama proses membangun usaha, ia tetap bisa kuat dan bertahan.
Menjaga kondisi hati dan pikiran agar tetap fokus kepada Allah, sehingga mampu menghindari melakukan hal-hal seperti penipuan konsumen dalam penjualan produk atau jasa, dan benar-benar adil dalam kegiatan bisnis, Pembersihan hati dan stabilisasi emosi dengan Zero Mind Process ini dikarenakan hati selalu rawan terkontaminasi oleh berbagai noda.Noda-noda ini lah yang akan menjadi penghalang proses adopsi sifat-sifat mulai Allah.
DAFTAR PUSTAKA


Pentingnya Mempelajari Ilmu Hati (Ilmu Tarekat)

Hati memegang peranan penting bagi manusia. Baik dan buruknya seseorang ditentukan oleh hati sebagaimana Hadis Nabi:
...اَلاَوَاِنَّ فِى الْجَسَدِ مُدْغَةً اِذَاصَلُحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَاِذَافَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ آلآوَهِيَ الْقَلْبُ
“Ingatlah bahwa di dalam tubuh itu ada segumpal darah, bila ia telah baik maka baiklah sekalian badan.Dan bila ia rusak, maka rusaklah sekalian badan. Dan bila ia rusak maka binasalah sekalian badan, itulah yang dikatakan hati”.
Demikianlah pentingnya peranan hati bagi manusia, oleh sebab itu manusia wajib menjaga kesucian hatinya. Adapun yang menjadi penyebab kotornya hati manusia itu adalah disebabkan berbagai penyakit yang terdapat padanya sebagaimana dijelaskan oleh firman Allah:
فِى قُلُوْبِهِمْ مَرَضٌ
“Di dalam hati mereka ada penyakit”. (Q.S. 2 Al-Baqarah: 10)
Menurut Syekh Muda Ahmad Arifin terdapat 6666 ayat Al-Qur’an dan 6666 urat di dalam tubuh manusia, demikian halnya dengan hati manusia, ada 6666 penyakit di dalam hati manusia. Dari sekian banyak penyakit yang ada di dalam hati manusia, ada beberapa penyakit hati yang paling berbahaya, di antaranya: hawa nafsu, cinta dunia, loba, tamak, rakus, pemarah, pengiri, dendam, hasad, munafiq, ria, ujub, takabbur. Jadi bila tidak diobati, maka sambungan ayat mengatakan:
فَزَادَهُمُ اللهُ مَرَضًا
“Lalu ditambah Allah penyakitnya”. (Q.S. 2 Al-Baqarah: 10)
            Demikianlah bahayanya apabila manusia itu tidak segera membersihkan hatinya, maka Allah akan terus menambah penyakitnya. Oleh sebab itu kewajiban pertama bagi manusia adalah terlebih dahulu ia harus mensucikan hatinya sebagaimana firman Allah:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّ
“Beruntunglah orang yang mensucikan hatinya dan mengingat Tuhan-Nya, maka didirikannya sembanhyang”. (Q.S. 87 Al-A’la: 14-15)
            Dari penjelasan surah Al-A’la di ayat 14 dan 15 di atas dapat diambil kesimpulan bahwa ada tiga kewajiban yang dibebankan oleh Allah kepada manusia:
1. Kewajiban Mensucikan Hati
            Di dalam surah Al-A’la ayat 14 Allah menyatakan bahwa orang-orang yang telah mensucikan hatinya sesungguhnya telah memperoleh keberuntungan. Lalu dibenak kita timbul beberapa pertanyaan:
-          Apa yang dimaksud dengan hati yang bersih?
-          Bagaimana cara membersihkan hati?
-          Mengapa orang yang mensucikan hatinya disebut orang yang beruntung?
-          Apa keuntungan yang diperoleh oleh orang yang telah mensucikan hatinya?
Pertama, apa yang dimaksud dengan hati yang bersih? Menurut Syekh Muda ahmad Arifin yang dimaksud dengan hati yang bersih yaitu tidak ada di dalam hati itu selain Allah. Artinya seseorang yang disebut hatinya bersih adalah orang yang senantiasa selalu mengingat Allah. Itulah sebabnya para sufi berkata:
قَلْبُ الْمُؤْمِنِيْنَ بَيْتُ اللهُ
“Hati orang mukmin itu adalah rumah Allah”.
            Kedua, bagaimana cara membersihkan hati? Menurut Syekh Muda Ahmad Arifin satu-satunya cara membersihkan hati yaitu dengan mempelajari ilmu hati. Ilmu hati ini lazim disebut dengan beberapa nama di antaranya: ilmu batin, ilmu hakikat, ilmu tarekat. Menurutnya tujuan mempelajari ilmu hati adalah untuk mengenal Allah, sebab hati merupakan sarana yang telah ditetapkan oleh Allah untuk dapat menyaksikan-Nya sebagaimana firman Allah:
مَاكَذَبَ الْفُؤَادُ مَارَآى
“Tidak dusta apa yang telah dilihat oleh mata hati”. (Q.S. An-Najm: 11)
            Jadi hanya dengan mempelajari ilmu hatilah kita baru dapat mengenal Allah. Apabila kita telah dapat mengenal Allah, barulah kita dapat mengingat-Nya. Dan mengingat Allah merupakan satu-satunya cara untuk membersihkan hati sebagaimana Hadis Nabi:
لِكُلِّ شَيْءٍ صَقَلَةٌ وَصَقَلَةُ الْقَلْبُ ذِكْرُاللهُ
“Segala sesuatu ada alat pembersihnya dan alat pembersih hati yaitu mengingat Allah”.
            Ketiga, mengapa orang yang mensucikan hatinya disebut orang yang beruntung? Menurut Syekh Ahmad Arifin penyebab Allah menyebut orang-orang yang telah mensucikan hatinya sebagai orang-orang yang beruntung adalah disebabkan karena sesungguhnya hanya orang-orang yang telah mensucikan hatinyalah yang dapat mengenal Allah. Menurut al-Ghazali hati manusia berfungsi sebagai cermin yang hanya bisa menangkap cahaya ghaib (Allah) apabila tida tertutup oleh kotoran-kotoran keduniaan. Sesungguhnya hanya orang-orang yang telah mensucikan hatinyalah yang dapat mengenal Allah dan merekalah yang disebut sebagai orang-orang yang beruntung.
            Keempat, apa keuntungan yang diperoleh oleh orang yang telah mensucikan hatinya? Menurut Syekh Muda Ahmad Arifin keuntungan yang diperoleh oleh orang yang telah mensucikan hatinya adalah dapat mengenal Tuhannya. Itulah sebabnya Allah berfirman:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّهَا وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّهَا
“Beruntunglah orang yang telah mensucikan hatinya dan merugilah orang yang telah mengotorinya”. (Q.S. 91 As-Syamsi: 9-10)
            Itulah sebabnya pada ayat di atas Allah memuji orang-orang yang telah mensucikan hatinya, sebab hanya orang-orang yang telah mensucikan hatinya yang dapat mengenal Allah. Adapun orang-orang yang mengotorinya adalah orang-orang yang merugi, karena sesungguhnya orang-orang yang hatinya kotor tidak akan pernah dapat mengenal Tuhannya.
2. Kewajiban Mengingat Allah
            Kewajiban yang kedua adalah mengingat Allah, sebab mustahil kita dapat mengingat Allah kalau kita belum mengenal-Nya dan mustahil kita dapat mengenal-Nya kalau kita belum pernah berjumpa. Dan mustahil kita dapat berjumpa dengan Allah tanpa terlebih dahulu menyertakan diri dan belajar kepada orang yang telah dapat beserta Allah. Itulah sebabnya Nabi memerinthakan kepada kita agar menyertakan diri kepada orang yang telah serta Allah sebagaimana sabda Nabi:
كُنْ مَعَ اللهُ وَاِنْ لَمْ تَكُنْ مَعَ اللهِ فَكُنْ مَعَ مَنْ كَانَ مَعَ اللهِ فَإِنَّهُ يُوْصِلُكَ اِلَى اللهِ
“Sertakanlah kepada Allah, apabila kamu tidak dapat beserta Allah maka sertakanlah dirimu kepada orang yang telah serta Allah, maka ia akan mengenalkan kamu kepada Allah”.
            Berdasarkan Hadis di atas, maka kewajiban pertama bagi manusia adalah mencari guru (wasilah) agar ia dapat memperoleh pengenalan kepada Tuhannya. Setelah manusia itu dapat mengenal Allah maka kewajiban kedua baginya adalah mengingat Tuhan-Nya.
3. Kewajiban Mengerjakan Shalat
            Shalat merupakan tiang agama yang dilaksanakan apabila kita telah melaksanakan kewajiban pertama dan kedua, sebab tujuan shalat adalah untuk mengingat-Nya sebagaimana firman Allah:
اِنَّنِى أَنَااللهُ لاَإِلَهَ اِلاَّ أَنَا فَاعْبُدْنِى وَأَقِمِ الصَّلَوةَ لَذِكْرِى
“Sesungguhnya Aku inilah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku”. (Q.S. 20 Thaha: 14)
            Firman Allah di atas senada dengan firman Allah pada surat Al-A’la ayat 14 dan 15 yang telah diuraikan sebelumnya. Untuk mengetahui secara jelas persamaan makna yang terdapat pada kedua ayat tersebut penulis akan menguraikan kalimat perkalimat pada surat Thaha ayat 14 serta membandingkannya dengan surat Al-A’la ayat 14.
            Pertama, pada bagian awal surat Thaha ayat 14 Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku ini Allah”. Bila kita menganalisis firman Allah tersebut maka dapatlah kita ketahui bahwa sesungguhnya Allah itu ingin dikenal. Firman Allah pada surat Thaha tersebut senada dengan firman Allah pada surat Al-A’la ayat 14: “Beruntunglah orang-orang yang mensucikan hatinya”. Makna beruntung pada ayat ini adalah bahwa keuntungan yang diperoleh oleh orang-orang yang mensucikan hatinya adalah dapat mengenal Allah. Bahkan bila kita analisis lebih jauh selain memiliki persamaan makna, kedua ayat tersebut juga memiliki kaitan di mana ayat yang satu berfungsi sebagai penjelas bagi yang lain. Pada surah Thaha Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku ini Allah”. Ayat tersebut mengintruksikan kepada manusia kewajiban untuk mengenal Allah. Pada surah al-A’la ayat 14 Allah berfirman: “Beruntunglah orang-orang yang mensucikan hatinya”. Pada ayat ini Allah memuji orang-orang yang mensucikan hatinya, sebab hanya orang-orang yang mensucikan hatinyalah yang dapat mengenal Allah dan merekalah yang dinyatakan Allah sebagai orang-orang yang beruntung. Dari uraian singkat di atas dapat disimpulkan bahwa firman Allah pada surat Thaha ayat 14 keduanya mengindikasikan bahwa kewajiban pertama bagi manusia adalah terlebih dahulu mensucikan hatinya agar ia dapat mengenal Tuhannya.
            Kedua, pada bagian tengah surat Thaha Allah berfirman: “Tiada Tuhan selain Aku”. Bila kita analisis firman Allah di atas, maka dapat kita ketahui bahwa maksud yang terkandung di dalamnya adalah perintah untuk mengingat-Nya, sebab kalimat  “Tiada Tuhan selain Allah”, bermakna tidak ada yang boleh diingat selain Allah. Firman Allah pada surat al-A’la ayat 15: “Dan mengingat Tuhannya”. Dari uraian singkat di atas dapat disimpulkan bahwa kewajiban yang kedua bagi manusia adalah mengingat Tuhannya.
            Ketiga, pada bagian akhir surat Thaha Allah berfirman: “Sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku”. Bila kita analisis pada ayat di atas bahwa printah sembah datang setelah terlebih dahulu Allah memerintahkan untuk mengenal dan mengingatnya. Perintah sembah tersebut diwujudkan dengan mendirikan shalat yang tujuannya adalah untuk mengingat-Nya. Firman Allah tersebut senada dengan firman Allah pada surat al-A’la ayat 15: “Maka dirikanlah shlalat”. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa kedua ayat tersebut sama-sama mengindikasikan bahwa shalat merupakan kewajiban ketiga.
            Dari penjelasan di atas dapatlah kita ketahui mengapa para sufi menaruh perhatian besar terhadap hati (qalb) dan menempatkan shalat sebagai kewajiban ketiga. Karena sesungguhnya perintah shalat itu diterima setelah terlebih dahulu Jibril mensucikan hati Nabi Muhammad sebelum ia menghadap Allah. Sebab Allah itu tidak dapat dilihat oleh mata kepala Nabi Muhammad tetapi hanya dapat dilihat oleh mata hati Nabi Muhammad. Oleh sebab itu sebelum Nabi Muhammad berjumpa dengan Allah, terlebih dahulu Jibril mensucikan hatinya, agar nur yang ada di dalam mata hatinya itu dapat memancar, sebab dengan nur itulah Nabi Muhammad dapat menyaksikan Allah. Itulah sebabnya di dalam surah al-Isra’ ayat 1 Allah menggunakan kalimat Maha Suci, sebab Allah itu Maha Suci dan hanya dapat dilihat oleh hamba-hamba-Nya apabila mereka telah mensucikan hati mereka.
            Adapun makna Jibril mensucikan hati Nabi Muhammad menurut Syekh Muda Ahmad Arifin pada hakikatnya adalah sesungguhnya Malaikat Jibril menyampaikan pengenalan kepada Allah dalam istilah ilmu tarekat lazim disebut dengan bai’at. Praktik bai’at yang diterima oleh Nabi dari gurunya Malaikat Jibril diteruskan kepada Ali ibn Abi Thalib dan praktik seperti ini terus berlanjut dari guru ke murid dalam rangkaian silsilah hingga saat ini. Praktik bai’at yang diterapkan di kalangan ahli tarekat sesungguhnya mengacu pada pola yang dilaksanakan oleh Nabi. Jadi berdasarkan tradisi bai’at inilah muncul istilah bahwa “Barangsiapa yang tidak mempunyai syekh maka gurunya adalah setan” sebab Nabi sendiri tidak dapat mengenal Allah tanpa berguru kepada Malaikat Jibril, apalagi kita sebagai manusia biasa yang hina dan dhaif yang tidak mempunyai kedudukan apa-apa di sisi Allah maka mustahil dapat mengenal Allah tanpa guru. Oleh sebab itu Nabi bersabda:
اَلْعِلْمُ عِلْمَانِ فَعِلْمُ بَطِنِ فِى قَلْبِى فَذَالِكَ هُوَ نَفِعِى
“ilmu itu ada dua macam, adapun ilmu batin yang di dalam hati itu jauh lebih bermanfaat”.
            Dari penjelasan Hadis di atas dapatlah kita ketahui bahwa tidak hanya para sufi yang menaruh perhatian besar terhadap hati, bahkan Nabi sendiri lewat Hadisnya secara tegas menyatakan keutamaan ilmu hatilah manusia dapat mengenal Allah.
            Menurut Syekh Ahmad Arifin kekeliruan umat Islam saat ini adalah tidak mau mempelajari ilmu hati dan lebih mengutamakan ilmu syari’at. Oleh sebab itu menurutnya mayoritas umat Islam saat ini tidak mengenal yang mereka sembah dan sesungguhnya mereka berada dalam kesesatan yang nyata sebagaimana firman Allah:
فَوَيْلٌ لِلْقَسِيَةِ قُلُوْبُهُمْ مِنْ ذِكْرِاللهِ أُلَئِكَ فِى ضَلَلٍ مُّبِيْنٍ
“Maka celakalah bagi orang yang hatinya tidak dapat mengingat Allah, mereka itu dalam kesesatan yang nyata”. (Q.S. 39 az-Zumar: 22)
            Demikianlah celaan Allah terhadap orang-orang yang tidak dapat mengingat-Nya, yang kesemuanya itu disebabkan karena mereka tidak mempelajari soal hati. Namun kebanyakan umat Islam saat ini tidak tahu kalau mereka itu tidak tahu. Mereka menganggap bahwa amal ibadah mereka dapat diterima oleh Allah SWT, karena merasa bahwa tauhid mereka telah sempurna, padahal sesungguhnya mereka berada dalam kesesatan yang nyata. Sesungguhnya orang-orang yang bertauhid si sisi Allah adalah orang-orang yang telah mempelajari ilmu hati. Sebab hanya dengan mempelajari ilmu hatilah kita baru dapat mengenal Allah. Jadi sesungguhnya orang-orang yang tidak mempelajari ilmu hati adalah orang-orang yang bertauhid di sisi manusia tetapi sesungguhnya kafir di sisi Allah, sebab tauhid mereka hanya di lidah, namun hatinya tidak pernah menyaksikan Allah. Mereka menganggap bahwa dengan mengucap dua kalimah syahadat dan percaya dalam hati berarti telah Islam dan beriman di sisi Allah. Padahal keislaman dan keimanan mereka itu barulah sebatas percaya kepada Allah. Oleh sebab itu orang-orang yang mengabaikan atau tidak mempelajari ilmu hati (ilmu tarekat) sesungguhnya adalah orang-orang yang mengabaikan tauhid.
            Dari uraian di atas dapatlah kita ketahui betapa pentingnya mempelajari ilmu hati (ilmu tarekat). Jadi dapat disimpulkan bahwa ilmu tauhid yang sesungguhnya adalah dengan mempelajari ilmu hati (ilmu tarekat)
Sumber  http://silsilahsyattariyahsyahid.blogspot.com