Sabtu, 08 Juni 2013

Syaikh Abdullah bin Abdul Qahhar Al-Bantani : Bergaullah dengan Tabib Penyakit Hati

 

Orang yang ikhlas dalam shalat dan puasa adalah orang yang dilimpahkan taufik, inayah, dan hidayah oleh Allah; serta diliputi pula oleh berkat para wali, orang khawwas (sufi), serta para nabi dan rasul-Nya, khususnya Nabi Muhammad SAW. Mereka adalah tabib penyakit hati dan penawar yang mujarab untuk menolak racun dosa.


Tokoh sufi tidak hanya berasal dari Timur Tengah dan India, tetapi juga dari Nusantara, di antaranya Syaikh Abdullah bin Abdul Qahhar Al-Bantani. Kita baca, di akhir namanya tercantum kata “Al-Bantani”, memang benar ia ber­asal dari tanah Banten, Jawa bagian barat.
Abdullah lahir di Banten, tetapi belum diketahui kapan pastinya tahun kelahir­annya. Hanya, dalam beberapa karya yang ditulisnya, seperti Masyahid An-Nasik fi Maqamat as-Salik, ia menulis karya ini atas perintah Maulana Al-Sultan Abu An-Nashr Muhammad Arif Ad-Din Al-Fath Muhammad Shifa’ Zayn Al-Arifin, yang memerintah Kerajaan Banten 1753-1773 M. Jadi ia hidup pada abad ke-18 M.

Tokoh ini, meski belum banyak di­ketahui  khalayak peminat sastra tasawuf di Indonesia, di daerah Banten cukup di­kenal, dan bahkan karya-karyanya sudah menjadi kajian skripsi mahasiswa Pro­gram Studi Arab di FIB UI Jakarta. Seperti Minal Aidin A. Rahiem, yang mengkaji Masyahid an-Nasik fi Maqamat as-Salik (1981), kemudian Judi Syarif, mengupas kitab Fath al-Muluk, liyashil ila Malik al-Muluk ala Qaidah ahl as-Suluk (1983). Tulisan ini didasarkan atas dua skripsi sarjana itu.
Dalam buku Sejarah Tjikoendoel Sareng Kantetanan (1940), ditemukan, nama Abdullah Rifa’i ini adalah nama putra Syaikh Abdul Qahhar, seorang ula­ma Banten yang menikah dengan Ratu Aisyah, cucu Sultan Ageng Tirtayasa. Ayahanda Ratu Aisyah itu sendiri ialah Aulia Syaikh H. Ilyas Maula Mansyur Abdul Qahhar, yang dimakamkan di Cika­dueun, Pandeglang. Selanjutnya dinyata­kan bahwa Syaikh Abdullah Rifa’i ini me­nikah dengan Ny. R. Modjanagara, putri R. Wiraredja, regent (bupati) Sukaraja, Bogor. Dari pernikahan ini lahir seorang putra, R.A. Mangkupradja, yang kemudi­an menjadi patih Cianjur, dan selanjutnya menurunkan silsilah Bupati Cianjur.
Dalam Sejarah Tjikoendoel ini di­nyata­kan bahwa Syaikh Abdullah Rifa’i hidup sezaman dengan Wiratnudatar III (1707-1726).

Sementara naskah kitab Masyahid An-Nasik menyatakan bahwa Abdullah bin Abdul Qahhar Al-Bantani tinggal atau mondok di Cianjur, maka diperkirakan nama Abdullah Rifa’i dan Abdullah bin Abdul Qahhar adalah nama yang dimiliki satu orang.
Lalu siapa Abdul Qahhar, ayahanda Syaikh Abdullah? Menurut Mohammad Kosasih Admadinata, yang menyimpan naskah Sejarah Tjikoendoel, ia berasal dari negeri Arab. Namun tidak diketahui dari Arab mana.
Dalam sebuah keterangan, Bupati Cianjur R.T.A.A. Prawiradiredja I (1813-1833) adalah keturunan Arab. Namun menurut Mohammad Kosasih Atmadi­nata, yang dimaksud keturuan Arab itu adalah Syaikh Abdullah Rifa’i, yang juga disebut Syaikh Abdullah bin Abdul Qahhar tersebut.
Menurut keterangan kitabnya, Syaikh Abdullah pernah tinggal di Makkah dan menyalin beberapa kitab kuning, di an­taranya Kitab Masa’il, karya Muhammad bin Syaikh Al-Baqi. Bahkan ia pernah menyusun kitab berjudul Syuruth al-Hajj. Dalam naskah itu ia menjelaskan, “Ketika saya tinggal di Makkah Al-Musharrafah – semoga Allah menambah kemulian atas­nya – beberapa sahabat meminta kepada saya agar menyusun dan me­ringkas se­ringkas mungkin syarat-syarat haji, rukun-rukun, kewajiban, sunnah-sunnah, yang mengharamkan dan yang memakruh­kan­nya.”
Dalam berbagai kitab salinan ini, nama­nya berubah menjadi Abdullah bin Abdul Qahhar Al-Jawi. Gelar “Al-Jawi” biasanya disematkan kepada para santri yang berasal dari Jawa atau Indonesia waktu itu. Jadi, ada kemungkinan ia bel­ajar di Makkah beberapa lama dan men­dapatkan tambahan nama “Al-Jawi” pada namanya, tetapi, setelah jadi ulama sufi di Banten, gelarnya berubah menjadi “Al-Bantani”. Hampir serupa yang dialami Syaikh Nawawi Al-Bantani, ulama terke­nal dari Banten lainnya.
Sedang guru-gurunya ketika di Mak­kah adalah Al-Imam Muhammad bin Ali Ath-Thabari, seorang zahid dan arif, lalu Maulana Asy-Syaikh Abdul Wahhab Ath-Thantawi Al-Mishri Al-Azhari. Kepada yang terakhir ini, ia belajar ilmu fiqih, tafsir al-Baidhawi, dan hadits, di Masjid Al-Haram. Ia juga belajar ilmu qiraah sab’ah ke­pada Maulana Syaikh Ali Al-Yamani, Syaikh Al-’Allamah Al-Hafizh Al-Dharir, dan Sayyid Muhammad Al-Maghazi ser­ta Syaikh Al-’Allamah Yusuf bin Ahmad Al-Ghazi Al-Qudsi.
Di Madinah, ia belajar kepada Syaikh Al-Alim Al-’Allamah Al-Arif billah Sayyid Ibrahim Al-Madani bin Maulana Syaikh Muhammad Thahir Al-Madani Al-Kurdi. Sedangkan di Yaman ia belajar kepada Syaikh Al-’Allamah Al-Hafizh Al-Qari’ Maulana Asy-Syaikh Ismail Al-Bazi Al-Zubaidi.
Syaikh Abdullah menulis 17 naskah agama, karya sendiri maupun salinan, di antaranya sudah disebutkan di atas.
Kitab Fath al-Muluk Liyasila Ila Malik al-Muluk ala Qaidah Ahl al-Suluk — Pertolongan untuk Raja-raja agar Sampai kepada Raja (Allah) berdasarkan Ahli Suluk, berisi tiga ajaran pokok. Yaitu apa keutamaan menuntut ilmu, pokok-pokok ajaran tasawuf, dan ihwal ilmu hakikat.
Syaikh Abdullah mengikuti Madzhab Imam Syafi’i dan dalam bertarekat ia meng­ikuti Tarekat Syatariyyah dan Qa­dariyyah. Sedang dalam kalam, ia meng­ikuti aliran Asy’ariyyah dan Maturidiyyah.

Dia adalah Dia, bukan Engkau
Dalam mengajar tasawuf, Syaikh Abdullah mengikuti sufi besar Sahl Ab­dullah Al-Tustari, yang mengatakan bah­wa pokok ilmu tasawuf ada tiga. Pertama, makan barang yang halal. Kedua, meng­ikuti jejak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam. Ketiga, ikhlas dalam segala tindakan.
Syaikh Abdullah juga mengutip Ibrahim Al-Khawwas, sufi besar lainnya, yang mengatakan bahwa bagi orang fakir (sufi), baik dalam keadaan musafir mau­pun mukim, sehat atau sakit, sempit atau lapang, ada dua belas belas perkara.
Yaitu, pertama, kententeraman, ka­rena janji Allah SWT.
Kedua, memutuskan hubungan de­ngan manusia (tidak bergaul kecuali pada hal-hal yang bermanfaat), tetapi tidak memutuskan hubungan dengan Allah SWT.
Ketiga, bermusuhan dengan setan.
Keempat, meraih kesempatan akhir se­suai dengan kemampuan.
Kelima, berkasih sayang kepada se­sama makhluk Allah.
Keenam, tabah menghadapi cobaan.
Ketujuh, melazimkan kesucian dalam setiap waktu.
Kedelapan, rendah hati terhadap se­sama manusia.
Kesembilan, saling memberi nasihat.
Kesepuluh, menyibukkan diri dengan hal-hal yang utama.
Kesebelas, tidak menyia-nyiakan ketaatan, yakni mengerjakan amal yang wajib dan sunnah.
Dan kedua belas, selau ridha, baik dalam keadaan senang maupun susah.
Semua pedoman pokok itu untuk me­nuju menjadi manusia pilihan. Yaitu para ulama, yang mengajarkan ilmunya, dan para sufi, yang arif lagi zuhud. Mereka adalah insan kamil yang mengamalkan cabang-cabang iman secara ikhlas. Cabang-cabang iman dikutip dari kitab Syu’ab al-Iman berdasarkan hadits yang berbunyi, “Iman itu mempunyai cabang lebih dari enam puluh atau tujuh puluh.” (HR Al-Bukhari-Muslim). Cabang iman yang paling utama adalah mengucapkan kalimat tauhid La ilaha illa Allah Muham­mad Rasul Allah, dengan memahami betul maknanya.
Perbedaan tingkat kaum sufi bergan­tung pada tetap-tidaknya al-ahwal (keadaan spiritual) yang ada pada dirinya. Dengan demikian, tingkatan kaum sufi itu adalah al-kha’ifin (orang yang takut – yakni takut kalau doanya tidak dikabulkan Allah), al-rajin (orang yang optimistis), al-muhibbin (orang yang cinta), dan al-za­hidin (orang yang me­ninggalkan kedunia­an).
Sedangkan orang yang telah menca­pai puncak kesempurnaan disebut al-muntahi. Ia adalah orang yang dapat meng­gabungkan amal dengan al-ahwal dalam dirinya. Tingkatan ini dapat dicapai dengan dua cara. Pertama, melakukan puasa, shalat, dan meninggalkan dosa-dosa. Orangnya disebut al-muqtashidin. Kedua, memutuskan hubungan dengan se­sama manusia dan sepenuhnya men­dekatkan diri kepada Allah. Orangnya disebut al-muhaqqiqin.
Dalam akhir kitabnya, Syaikh Abdul­lah menasihati, orang yang ikhlas dalam shalat dan puasa adalah orang yang di­limpahkan taufik, inayah, dan hidayah oleh Allah; serta diliputi pula oleh berkat para wali, orang khawwash (sufi), serta para nabi dan rasul-Nya, khususnya Nabi Muhammad SAW. Mereka adalah tabib penyakit hati dan penawar yang mujarab untuk menolak racun dosa.
“Bergaul dan bersahabatlah dengan mereka. Dengan sebab demikian, Allah singkapkan untukmu rahasia keghaiban. Dan berkat mereka pula, engkau akan se­lamat dari kemusyrikan yang menghala­ngimu menuju Tuhan. Lalu engkau pun akan keluar dari sifat-sifat kemanusiaan. Artinya, keluar dari nafsu dirimu. Setiap kali jiwa menjadi murni, terbukalah bagi diri­mu bahwa Dia adalah Dia, bukan eng­kau.”

Sumber : Alkisah

1 komentar:

  1. Masukkan komentar Anda...Assalamualaikum Wr Wb. Pa admin saya ucapkan terimakasih yg sebesar2nya atas artikel ini, namun sudilah kiranya menjelaskan tentang tokoh yg bernama Syekh Abdullah Rifa'i. siapa sebenarnya beliau.Apakah beliau madih hidup atw sudah wafat? trimakasih Wassalamualaikum wrwb.

    BalasHapus