Neosufisme Di Kalangan Pengusaha Muslim Indonesia
oleh Mas Say LarosAkhir-akhir ini kajian tentang tasawuf mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Perlahan tapi pasti, tasawuf mulai diterima hamper seluruh kalangan masyarakat khususnya di indonesia.Dan pembahasan mengenai tasawuf ini bukan menjadi sesuatu hal yang kontroversial bagi sebagian umat Islam seperti beberapa abad silam, ketika para sufi banyak yang dianggap menyimpang.Fenomena yang terjadi seperti ini mengindikasikan cara keberagamaan masyarakat yang sudah mulai beralih ke cara sufistik.
Tasawuf sebagai segi batin agama —
sementara segi lahirnya disebut syari’ah — adalah bidang ilmu keislaman
yang bisa dibagi dalam tiga bagian: tasawuf akhlaqi, tasawuf amali dan
tasawuf falsafi. Tasawuf akhlaqi ialah ajaran akhlak dalam kehidupan
sehari-hari guna memperoleh kebahagiaan yang optimal. Tasawuf akhlaqi
meliputi tahalli (penyucian diri dari sifat-sifat tercela, menghiasi dan
membiasakan diri dengan sikap terpuji) dan tajalli, yaitu tersingkapnya
Nur Ilahi.
Kerinduan pada spiritualisme tampaknya
melanda beberapa masyarakat yang terhitung terdidik secara
modern.Dimensi batin ini dalam fitrahnya memang membutuhkan semacam
terapi dalam menghadapi akumulasi kejenuhan dan kekeringan jiwa. Hal
inilah yang antara lain memunculkan tuntutan terhadap pentingnya
spiritualisme. Salah satunya adalah melalui tasawuf.
Dengan banyaknya orang yang mulai melirik
ajaran tasawuf ini khususnya dikalangan pengusaha muslim
mengindikasikan bahwa Neosufisme sudah merasuki jiwa-jiwa entrepreneur
muslim saat ini.Lalu,Bagaimana implementasi neosufisme ini didalam
tataran bisnis yang islami?Oleh karena itu melalui tulisan ini saya
ingin menyampaikan betapa pentingnya penerapan Neosufisme dalam
kehidupan sehari-hari khususnya dunia bisnis.
Pengertian Neo-Sufisme
Neo-sufisme lebih menekankan manusia pada
aspek rekonstruksi moral sosial masyarakat. Sufisme merupakan terapi
yang efektif untuk membuat orang lebih manusiawi pula. Menjalani sufisme
bukan berarti meninggalkan dunia. Tetapi, menjalani sufisme justru
meletakkan nilai yang tinggi pada dunia dan memandang dunia sebagai
media meraih spiritualitas yang sempurna.
Pada hakekatnya Neo-sufisme berarti paham
tasawuf baru, atau menurut istilah Fazlurrahman, tasawuf yang
diperbaharui untuk menyebut paham tasawuf para ahli hadits yang puritan,
terutama tasawuf Ibnu Taimiyah dan muridnya, ibnu Al-Qayum Al-Jauziyah .
Neo-sufisme, dipelopori oleh tokoh salaf,
Ibnu Taimiyah. Meskipun ia menentang berbagai praktek sufi, terutama
kultus individu, namun Ibnu Taimiyah justru mengadopsi metode yang
mereka gunakan. Ia meniru cara-cara kaum sufi dalam menjalin komunikasi
yang akrab dengan Allah SWT.
Sebagai ahli hukum Islam, ia berusaha
menyeimbangkan syari’at dan tasawuf. Adapun caranya ialah, berbagai
ragam pengalaman sufistik ia uji dengan pengalaman empirik. Perilaku
eksternal sufi dikonfrontasikan dan diuji dengan merujuk pada aspek
lahiriah ajaran islam. Neo-Sufisme cenderung mengacu pada kehidupan Nabi
SAW secara utuh. Tidak ada dikotomi antar syari’at dan taswuf karena
nabi Muhammad mampu menggabungkan keduanya dalam satu perilaku dan
cermin kehidupan. Tidak ada dikotomi antara filsafat dan tasawuf karena
Nabi membangun pola kehidupan yang merangkum keduanya.
Dalam buku the seculer city Harvey Cox,
pernah memprediksi keruntuhan agama karena modernisme. Tetapi, agaknya
ia segera merubah teorinya, karena ternyata modernisasai sama sekali
tidak melumpuhkan agama. Modernisme justru mengantar mansuia pada jalan
buntu yang menyebabkan mereka berpaling pada nilai-nilai spritual dan
pencarian makna hidup. Fenomena ini diidentifikasi oleh Futrolokg Jhon
Naisbitt dan Patridcia Abordene sebagai kebangkitan agama (spritualisme)
millenium ketiga (Megatrends 2000, h. 254). Dalam islam kebangkitan
spritualisme yang menandai era baru yang disebut Paskahmodernisme itu
timbul antara lain dalam bentuk Neo-Sufisme.
Neo-Sufisme menurut Fazlurrahman memilki beberapa ciri yang membedakan dengan tasawwuf populer :
1. Pertama, Neo-Sufisme, memberikan
pengahargaan positif pada dunia untuk seorang sufi. Menurut paham ini
tidak harus miskin, bahkan boleh kaya. Kesalehan, menurut paham ini
bukan dengan menolak harta dan kekayaan, tatapi mempergunakannya sesuai
petunjuk Allah dan Sunnah Rasul.
2. Kedua, Neo-Sufisme menekankan kesucian moral dan akhlakul karimah sebagai upaya memperkuat iman dan takwa.
3. Ketiga, dalam Neo-Sufisme terdapat aktivitas dan dinamika baik dalam berpikir maupun dalam bertindak.
Neo-Sufisme tetap menghendaki penghayatan
esoterisme yang mendalam, tetapi tidak dengan mengasingkan diri
(uzlah), melainkan tetap aktif melibatkan diri dalam masyarakat. Selain
sebagai olah rohani, tasawuf klasik berperan melancarkan gerakan oposisi
keagamaan (pious opposition) terhadap praktik-praktik penindasan.
Sejarah Lahirnya Neo-Sufisme
Sebagaimana dengan perjalanan tasawuf
klasik sebagai cikal bakal neo-sufisme diatas, maka dalam
perkembangannya tasawuf terutama pada abad III H, pengaruh eksternal
semakin terasa, antara lain dipengaruhi berbagai macam corak budaya.
Dampak dari hal ini melahirkan dua corak pemikiran tasawuf, yaitu yang
bercorak dengan materi dasarnya bersandar pada Al-Qur’an dan As-Sunnah,
dengan ide gagasan pada pembentukan moralitas, di back up ulama moderat
pada satu sisi, sedang pada sisi lain tasawuf yang bercorak dengan
materi dasarnya banyak bersumber dari filsafat dengan kecendrungan pada
materi hubungan manusia dengan Tuhan, diusung oleh para filosof yang
terkadang mengemukakan paengalaman ekstasik-fananya dan ucapan-ucapan
syatahat ganjil, ditandai banyak pemikiran spekulatif-metafisis, seperti
yang sudah diungkapkan diatas, yaitu al-Hulul, Wahdat Al-Wujud atau
Al-Ittihad atau lainnya.
Sufisme sebagaimana yang telah
diterangkan sebelum ini menempatkan penghayatan keagamaan melalui
pendekatan batiniah. Kesan dari pendekatan esoterik ini adalah
disebabkan kepincangan dalam tindak tanduk nilai-nilai Islam yang lebih
mengutamakan makna batiniah atau ketentuan yang tersirat saja tanpa
memerhatikan juga dari aspek lahiriahnya.
Oleh kerana itu adalah wajar apabila
melalui penonjolan sikap ini, kaum sufi tidak tertarik untuk memikirkan
masalah-masalah sosial kemasyarakatan, bahkan lebih tertumpu ke arah
aspek-aspek peribadatan saja. Dari sudut lain, terdapat pula kelompok
muslimin (bahkan mayoritasnya) yang lebih mengutamakan aspek-aspek
formal–lahiriah ajaran agama melalui pendekatan eksoterik-rasional.
Dalam hal ini, mereka lebih
menitikberatkan perhatian dari aspek-aspek syariah saja sehingga
kelompok ini digelar sebagai kaum lahiriah. Dari banyak usaha percobaan
menyatukan antara dua pandangan yang berbeda orientasi itu, maka
al-Ghazali telah mengutarakan konsep yang dikenal sebagai syariat,
tarekat dan hakikat yang terpadu secara utuh. Dalam hal ini, al-Ghazali
menjelaskan bahwa penghayatan keagamaan harus melalui proses
berperingkat dan berpadu antara syariat dan tasawuf. Sebelum memasuki
dunia tasawuf, seseorang harus terlebih dahulu memahami Syariat, tetapi
untuk dapat memahami Syariat secara benar dan mendalam, harus melalui
proses tarekat.
Tarekat adalah merupakan sistem esoterik
yang akan menghasilkan kualitas pemahaman yang tinggi yang disebut
sebagai hakikat.Usaha rekonsialisasi sufistik ini belum sepenuhnya
berhasil untuk mengembalikan misi dan pesan dasar tasawuf secara total
sebagai pendorong gerakan moral dan ruh Islam yang berkarakter damai dan
harmonis.
Hegemoni lembaga-lembaga tasawuf justru
banyak mengubah dimensi spiritual-moral-sosial kepada dimensi
spiritual-mistik-individual. Namun usaha Ghazali harus diakui sebagai
inspirasi bagi tokoh setelahnya, walaupun Ghazali mempunyai beberapa
kelemahan terutama pada karyanya yang tidak berisi etos sosial dimana
individu menjadi pusat perhatian yang berlebihan, sehingga banyak
diantara pengikut al-Ghazali sendiri dan tarekat pasca al-Ghazali
menyingkir dari dunia sosial dan berpangku tangan dari dinamika sosial,
politik dan kebudayaan masyarakatnya.
Tatkala kondisi dan fenomena ini semakin
melembaga, maka lahirlah kesadaran akan pentingnya membangkitkan kembali
jati diri sufisme yang lebih menekankan dimensi moral umat dengan
merekontruksi sejarah awal dan substansi sufisme. Kesadarana ini
sebagaimana yang diungkapkan Fazlur Rahman dipelopori oleh Ibn Taimiyah,
yang diikuti oleh muridnya Ibn Qayyim al-Jauziyah dan dikembangkan oleh
Fazlur Rahman dengan nama Neo-Sufisme atau sufisme baru.[ Fazlur
Rahman, Islam, terjemahan oleh Ahsin Muhammad (Jakarta : Pustaka
Bandung, 1984), h. 79]
Neo-sufisme secara terminologi pertama
kali ditonjolkan oleh pemikir muslim kontemporer yaitu Fazlur Rahman
dalam bukunya Islam.[ Ibid, 193-194] Kemunculan istilah ini tidak begitu
saja diterima para pemikir muslim, tetapi telah menjadikan perbincangan
yang luas dalam kalangan para ilmuwan. Sebelum Fazlur Rahman, Hamka
telah memperkenalkan istilah tasawuf moden dalam bukunya Tasauf Modern.
Namun dalam dalam karyanya ini tidak ditemui istilah “neo-sufisme” yang
dimaksudkan di sini. Keseluruhan isi buku ini terlihat wujudnya
kesejajaran prinsip-prinsipnya dengan tasawuf al-Ghazali kecuali dalam
hal ‘uzlah. Kalau al-Ghazali mensyaratkan ‘uzlah dalam penjelajahan
menuju konsep hakikat, [ Muhammad al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, Jilid II
(Beirut : Dar al-Ma’rifah, tt), h. 222] maka Hamka menghendaki agar
seseorang pencari kebenaran hakiki tetap aktif dalam berbagai aspek
kehidupan bermasyarakat.[ Hamka, Modern…, h.150-174]
Konsep neo-sufisme oleh Fazlur Rahman
sesungguhnya menghendaki agar umat Islam mampu melakukan tawazun
(keseimbangan) antara pemenuhan kepentingan akhirat dan kepentingan
dunia, serta umat Islam harus mampu meformulasikan ajaran Islam dalam
kehisupan sosial.
Kebangkitan kembali tasawuf di dunia
Islam dengan istilah baru yaitu neo-sufisme nampaknya tidak boleh
dipisahkan dari apa yang disebut sebagai kebangkitan agama. Kebangkitan
ini juga adalah lanjutan kepada penolakan terhadap kepercayaan yang
berlebihan kepada sains dan teknologi selaku produk dari era modenisme.
Modernisme telah dinilai sebagai gagal memberikan kehidupan yang
bermakna kepada manusia. Oleh karena itu ramai manusia telah kembali
kepada nilai-nilai keagamaan kerana salah satu fungsi agama adalah
memberikan makna bagi kehidupan.
Demikianlah, era post-modernisme yang
dibelenggu dengan bermacam-macam krisis yang semakin parah dalam
berbagai aspek kehidupan. Akhlak masyarakat semakin buruk dan kejahatan
semakin banyak. Kebangkitan nilai-nilai keagamaan tidak salah lagi telah
menggerakkan kembali upaya menghidupkan karya-karya klasik dengan
pendekatan baru termasuklah juga dalam bidang tasawuf. Karya-karya dalam
bidang tasawuf yang dihasilkan oleh penulis kontemporari seperti
al-Taftazani menunjukkan adanya garis lurus untuk menegaskan kembali
bahwa tradisi tasawuf tidak pernah lepas dari akar Islam.
Ini menunjukkan bahwa kebangkitan
tasawuf kontemporer ditandai dengan pendekatan yang sangat pesat antara
spiritualisme tasawuf dengan konsep-konsep Syariah. Tasawuf yang dianut
dan dikembangkan oleh sufi kontemporer nampaknya berbeda dari sufisme
yang difahami oleh kebanyakan orang selama ini yaitu sufisme yang hampir
lepas dari akarnya (Islam), cenderung bersifat memisah atau eksklusif.
Menurut mereka, sufisme yang berkembang kebelakangan ini, sebagaimana
dinyatakan oleh Akhbar S Ahmed, pasca-modernisme membawa kita kepada
kesadaran betapa pentingnya nilai keagamaan dan keperluan terhadap
toleransi serta perlunya memahami orang lain yang semuanya terdapat
dalam neosufisme.
Karakteristik Neo-Sufisme
Menurut Fazlur Rahman, neosufisme adalah
“reformed sufism” yang bermaksud sufisme yang telah diperbaharui.[
Rahman, Islam …, h. 196-205] Sekiranya pada era kecemerlangan sufisme
terdahulu aspek yang paling dominan adalah sifat ekstatik-metafisis atau
mistis-filosofis, maka dalam sufisme baru ini ianya digantikan dengan
prinsip-prinsip Islam ortodoks
Neo-sufisme mengalihkan pusat pengamatan
kepada pembinaan semula sosio-moral masyarakat Muslim, sedangkan
sufisme terdahulu didapati lebih bersifat individu dan hampir tidak
melibatkan diri dalam hal-hal kemasyarakatan. Oleh karena itu, karakter
keseluruhan neo-sufisme adalah “puritanis dan aktivis”. Tokoh-tokoh atau
kumpulan yang paling berperanan dalam reformasi sufisme ini juga
merupakan paling bertanggung jawab dalam kristalisasi kebangkitan
neo-sufisme.
Menurut Fazlur Rahman, kumpulan tersebut
adalah kumpulan Ahl al-Hadith.[ Ibid, h. 194] Mereka ini coba untuk
menyesuaikan sebanyak mungkin warisan kaum sufi yang dapat diharmonikan
dengan Islam orthodox terutamanya motif moral sufisme melalui teknik
zikir, muraqabah atau mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Berdasarkan hal tersebut, didapati bahwa
tujuan neo-sufisme cenderung kepada penekanan yang lebih intensif
terhadap memperkukuh iman sesuai dengan prinsip-prinsip akidah Islam dan
penilaian terhadap kehidupan duniawi sama kehidupan ukhrawi.[ Ibid, h.
195] Akibat dari sikap keberagamaan ini menyebabkan wujudnya penyatuan
nilai antara kehidupan duniawi dengan nilai kehidupan ukhrawi atau
kehidupan yang “terresterial” dengan kehidupan yang kosmologis.
Dalam hal ini, al-Qushashi menyatakan
bahawa sufi yang sebenarnya bukanlah yang mengasingkan dirinya dari
masyarakat, tetapi sufi yang tetap aktif di tengah kehidupan masyarakat
dan melakukan al-’amr bi al-ma’ruf wa nahy `an al- munkar (islah) demi
kemajuan dan kesejahteraan masyarakat.[ Ahmad al-Qushashi, al-Simt
al-Majid, (Haiderabad: Da’irat al-Ma`arif al-Zizamiyyah, tt) h. 119-120]
Manakala Sa‘id Ramadan al-Buti pula
mengutarakan konsep Ruhaniyyah al-Ijtima`iyyah atau spiritualisme
sosial. Beliau merupakan penggerak kepada konsep neo-sufisme ini yang
bermarkas di Geneva. Dalam hal ini al-Buti mengecam sikap dan cara hidup
seperti yang digambarkan sufi terdahulu yang sangat mementingkan
ukhrawi, sehingga tersisih daripada kehidupan masyarakat yang menurutnya
itu adalah egois dan pengecut, hanya mementingkan diri sendiri. Sikap
hidup yang benar adalah “tawazun” yaitu keseimbangan dalam diri sendiri
termasuk dalam kehidupan spiritualnya serta kehidupan duniawi dan
ukhrawi.[ Sa`id Ramadan al-Buti, al-Ruhaniyyah al-Ijtima‘iyyah fi
al-Islam, ( Geneva: al-Markaz al-Islam,1965 ) h. 61.]
Adapun cirri-ciri Neo-Sufisme menurut Ahmad Najib Burhani yaitu :
- Tidak mengenal Tarekat
- Inklusif dalam memandang aliran tasawuf bahkan agama lain
- Tidak mengenal guru atau mursyid apalagi guru rohani
- Didominasi kaum terpelajar
Pengikutnya dari kalangan yang bermateri
cukup[ Ahmad Najib Burhani, Sufisme Kota Berpikir Jernih Menemukan
Spiritualis Positif, (Jakarta : Serambi, 2001), h. 13 ]Berdasarkan
beberapa pandangan dan komentar di atas jelas menunjukkan bahawa
neo-sufisme berupaya untuk kembali kepada nilai-nilai Islam yang utuh
(kaffah) yaitu kehidupan yang seimbang (tawazun) dalam segala aspek
kehidupan dan dalam segala segi ekspresi kemanusiaan. Dengan alasan ini
pula dapat dikatakan bahwa yang disebut neo-sufisme itu tidak kesemuanya
adalah “barang baru”, namun lebih tepat dikatakan sebagai sufisme yang
dipraktikkan dalam kehidupan pribadi dan bermasyarakat sesuai dengan
kedudukan masa kini.
Dengan menukilkan sedikit rumusan
Nurcholish Madjid yang mengatakan bahawa neo-sufisme adalah sebuah
esoterisme atau penghayatan keagamaan batini yang menghendaki hidup
secara aktif dan terlibat dalam masalah-masalah kemasyarakatan. [
Madjid, Agama … h.15] Neo-sufisme mendorong dibukanya peluang bagi
penghayatan makna keagamaan dan pengamalannya yang lebih utuh dan tidak
terbatas pada salah satu aspeknya saja tetapi yang lebih penting adalah
keseimbangan (tawazun).
Pandangan Tokoh Tarekat Masa Kini Terhadap Neo-Sufisme
Karena keterbatasan literatur, maka
disini penulis hanya dapat menyampaikan pandangan satu tokoh tarekat
Samaniyah yaitu Syekh Muda Ahmad Arifin terhadap Neo-Sufisme, walaupun
pandangan beliau tidak dapat diartikan merupakan pandangan seluruh tokoh
tarekat saat ini, namun kiranya dapat menjadi bahan perbandingan.
Menyikapi Neo-Sufisme, tokoh ini menolak
dengan tegas keberadaanya dengan beberapa alasan antara lain yaitu
:Kelahiran dan kebangkitan Neo-Sufisme dikarenakan ekses negatif
Neo-Modernisme, sedangkan tasawuf klasik lahir dari Islam itu sendiri.
Dengan demikian Neo-Sufisme adalah tempat pelarian dari ekses negatif
Neo-Modernisme, dan jika hal ini teratasi dengan sendirinya Neo-Sufisme
akan ditinggalkan.
Gagasan Neo-Sufisme lahir dari pemikiran
Fazlur Rahman, Nurcolish Madjid dan Hamka yang tidak pernah masuk
tarekat dan tidak mempunyai guru rohani yang hakikatnya sangat awam
dengan tasawuf, maka sangat diragukan kapasitasnya bila berbicara
tentang tasawuf.
Neo-Sufisme tidak memiliki konsep yang
jelas dalam mengatasi problem manusia, bahkan cenderung menjadikan
tasawuf sebagai komoditi spiritual sesaat konsumen.Neo-Sufisme menuduh
ahli tarekat sebagai orang benci dunia, padahal ahli tarekat tidak
menolak dunia, namun tidak mabuk dunia dan menempatkan harta di hati.
Peran Neosufisme Di Era Modern
Pada dasarnya,Munculnya neosufisme ini
berawal dari akibat adanya perpecahan terselubung oleh umat islam dalam
memahami dan mempraktekkan ajaran-ajaran islam, yang pada akhirnya
menyudutkan dirinya sendiri-sendiri dalam golongan tertentu. Antara
golongan yang semasa hidupnya hanya untuk menyembah Allah.atau
mengutamakan hal-hal yang bersifat bathiniyyah (esoteris) dengan
golongan yang dalam menyembah Allah hanya dengan perantara syariat atau
Dzohiriyyah (eksoteris).
Akhirnya dengan Neosufisme inilah yang
mencoba menyatukan antara saudara-saudara muslim yang
menggolong-golongkan diri dan kelompoknya sendiri-sendiri, mengutamakan
bathiniyyah dan tidak mengesampingkan dzahiriyyah.
Ada berbagai contoh nyata
kesuksesan-kesuksesan yang diraih para tokoh islam zaman dahulu,
ternyata salah satunya tidak mengunggulkan salah satu antara hal-hal
yang bersifat bathiniyyah dan dzahiriyyah walaupun ada juga yang hanya
mengandalkan antara satu dan lainnya. Hal ini dikarenakan sebab ketika
Allah dalam menciptakan makhluk pasti berpasang-pasang dan keduanya
dalam menjalani tugas sebagai makhluk harus seimbang.
Sebagai contoh, ketika para sufisme zaman
dahulu hanya mementingkan hal-hal yang mengacu pada Bathiniyyah dan
mengesampingkan Dzahiriyyah, ternyata tindakan ini tanpa disadari
berdampak fatal. Yakni mereka mengalami kemunduran drastis dalam dunia
yang penuh gemerlap warna ini. Baik yang menyinggung pemikiran atau
perasaan.
Maka, tak heran jika zaman sekarang
banyak Muslimin yang menyesali kejadian itu dan rindu akan zaman
keemasan (Al Asr Al Dzahab) yang pernah diraih para muslim
terdahulu.Contoh nyata kesuksesan dan kebahagiaan yang diraih para
pengikut sufi , didunia dan Insya Allah diakhirat pula. Seperti Umar ibn
Abdul Aziz, seorang raja yang bersifat asketis atau zuhud, Jabir ibn
Hayyan, seorang fisikawan muslim tersohor, Al Junaid, seorang pengusaha
sukses, Syaikh Abu Al Hasan Asy Syadzili, seorang petani sukses dan
Syaikh Fariduddin Al Athar, seorang salesman yang sukses.
Oleh karena itu Neosufisme tetap penting
untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari agar supaya antara
kehidupan dunia dan akhirat bisa seimbang.Allah menciptakan dunia ini
untuk manusia asalkan dimanfaatkan dengan benar sebagai sarana untuk
beribadah kepada allah swt dan mencari Ridho-NYA.
Implementasi Neosufisme Di Kalangan Pengusaha Muslim Indonesia
Aa Gym atau biasa dikenal dengan
panggilan Aa beliau lahir pada hari senin tanggal 29 Januari 1962,
beliau adalah putera tertua dari empat bersaudara pasangan letnan
kolonel (letkol) H. Engkus Kuswara dan Ny. Hj. Yeti Rohayati. Saudara
kandung lainnya adalah: Abdurrahman Yuri, Agung Gunmartin, dan Fathimah
Genstreed.
Pada masa mudanya, selain menuntut ilmu dan aktif berorganisasi, Aa Gym juga memiliki kegemaran berdagang.
Dialah yang memelopori pembuatan stiker-stiker barsablon yang
menunjukkan kekuatan dan keindahan Islam, dia juga pernah berjualan
minyak wangi. Seraya tertawa dia bercerita, pernah seharian suntuk ia
membersihkan botol-botol minyak gosok PPO untuk diisi minyak wangi hasil
racikannya.
Seluruh hasil kerja Aa Gym akhirnya
membuahkan hasil, dia kemudian dapat membeli 1 unit mobil angkutan kota
(angkot) dan kadang-kadang dia yang menjadi supirnya. Jika ada acara
wisuda, dia menjual baterai dan film, selain itu juga kadang-kadang dia
mengamen dari satu rumah makan ke rumah makan lainnya. “Sebenarnya
tujuan saya mengamen ini bukan untuk mencari uang, melainkan ingin
berlatih dalam berhadapan dengan orang lain, tapi ya lumayan juga dapat
uang” ujarnya.
Disamping sebagai seorang Da’I dia juga
dikenal sebagai pengusaha muslim yang cukup sukses.Beliau mengatakan
bahwa pendidikan karakter seperti inilah yang sebenarnya sangat
dibutuhkan dalam aktivitas Bisnis. Karena dengan memiliki pendidikan
karakter yang baik maka aktivitas bisnis yang sedang dijalani akan
selalu berorientasi pada kebaikan dan kebenaran. Dalam dunia bisnis yang
penuh dengan persaingan, diperlukan pribadi yang baik. Seperti yang
dikatakan oleh da`i kondang Aa Gym dalam acara Himpunan Pengusaha Muda
Indonesia (HIPMI) di Bali.
Beliau menyatakan bahwa yang terpenting
dalam pribadi pebisnis adalah Kredibilitas. Yang berarti pendidikan
karakter yang baik. Sama halnya dengan proses maqamat dalam tasawuf,
seorang pebisnis sebelum menjalankan usahanya perlu membersihkan niat
untuk memulai usahanya. Sehingga saat membangun usaha dari nol, dan
mengalami masa-masa tersulit, ia mampu bertahan sekalipun jatuh-bangun
selama proses membangun usaha, ia tetap bisa kuat dan bertahan.
Menjaga kondisi hati dan pikiran agar
tetap fokus kepada Allah, sehingga mampu menghindari melakukan hal-hal
seperti penipuan konsumen dalam penjualan produk atau jasa, dan
benar-benar adil dalam kegiatan bisnis, Pembersihan hati dan stabilisasi
emosi dengan Zero Mind Process ini dikarenakan hati selalu rawan
terkontaminasi oleh berbagai noda.Noda-noda ini lah yang akan menjadi
penghalang proses adopsi sifat-sifat mulai Allah.
DAFTAR PUSTAKA
- Madjid, Nurcholish, Sufisme dan Masa Depan Agama, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1993)
- Rahman, Fazlur, Islam, terjemahan oleh Ahsin Muhammad (Jakarta : Pustaka Bandung, 1984)
- Al-Ghazali, Muhammad, Ihya Ulum al-Din, Jilid II (Beirut : Dar al-Ma’rifah, tt)
- Hamka, Tasauf Modern, (Jakarta : Panji Mas, 2007)
- Burhani, Ahmad Najib, Sufisme Kota Berpikir Jernih Menemukan Spiritualis Positif, (Jakarta : Serambi, 2001)
- http://mulkans.wordpress.com
- http://kanal3.wordpress.com
- http://tasawufislam.blogspot.com
- http://www.pondokhabib.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar