Mbah Dullah Waliyullah Kaya Raya
Bagi
warga Nahdliyin siapa yang tak kenal Mbah Dullah Salam, Kajen? Beliau
dikenal sebagai waliyullah yang kaya raya. Berikut penuturan Simbah
Kakung Mustofa Bisri dalam artikelnya.
Berkenaan dengan haul Simbah KH.
Abdullah Salam Kajen, rahimahuLlah, aku turunkan kembali tulisanku saat
itu. Saat kudengar kepulangan orang hebat ini ke hadirat Ilahi 25
Sya’ban 1422. Mudah-mudahan ada manfaatnya.
MBAH DULLAH
Di Surabaya, dalam perjalanan pulang dari
Jember, saya mendapat telpon dari anak saya bahwa Mbah Dullah, KH.
Abdullah Salam Kajen, telah pulang ke rahamtuLlah. Innaa liLlahi wainnaa ilaiHi raaji’uun! Dikabarkan juga, berdasarkan wasiat almarhum walmaghfurlah, jenazah beliau akan langsung dikebumikan sore hari itu juga.
SubhanaLlah! Selalu saja setiap
kali ada tokoh langka yang dicintai banyak orang meninggal, saya merasa
seperti anak-anak yang terpukul, lalu hati kecil bicara yang
tidak-tidak. Seperti kemarin itu ketika mendengar Mbah Dullah wafat,
secara spontan hati kecil saya ‘gerundel’: “Mengapa bukan
koruptor dan tokoh-tokoh jahat yang sibuk pamer gagah tanpa mempedulikan
kepentingan orang banyak itu yang dicabut nyawanya? Mengapa justru
orang baik yang dicintai masyarakat seperti mbah Dullah yang dipanggil?”
Astaghfirullah!
Sepanjang perjalanan itu pun saya terus
diam dengan pikiran mengembara. Kenangan demi kenangan tentang pribadi
mulia mbah Dullah, kembali melela bagai gambar hidup.
Berperawakan gagah. Hidung mancung. Mata
menyorot tajam. Kumis dan jenggotnya yang putih perak, menambah
wibawanya. Hampir selalu tampil dengan pakaian putih-putih bersih,
menyempurnakan kebersihan raut mukanya yang sedap dipandang.
Melihat penampilan dan rumahnya yang tidak lebih baik dari gotakan tempat
tinggal santri-santrinya, mungkin orang akan menganggapnya miskin; atau
minimal tidak kaya. Tapi tengoklah; setiap minggu sekali pengajiannya
diikuti oleh ribuan orang dari berbagai penjuru dan … semuanya disuguh
makan.
Selain pengajian-pengajian itu, setiap
hari beliau menerima tamu dari berbagai kalangan yang rata-rata membawa
masalah untuk dimintakan pemecahannya. Mulai dari persoalan keluarga,
ekonomi, hingga yang berkaitan dengan politik. Bahkan pedagang akik dan
minyak pun beliau terima dan beliau ‘beri berkah’ dengan membeli
dagangan mereka.
Ketika beliau masih menjadi pengurus
(Syuriah) NU, aktifnya melebihi yang muda-muda. Seingat saya, beliau
tidak pernah absen menghadiri musyawarah semacam Bahtsul masaail, pembahasan
masalah-masalah yang berkaitan dengan agama, yang diselenggarakan
wilayah maupun cabang. Pada saat pembukaan muktamar ke 28 di Situbondo,
panitia meminta beliau –atas usul kiai Syahid Kemadu—untuk membuka
Muktamar dengan memimpin membaca Fatihah 41 kali. Dan beliau jalan kaki
dari tempat parkir yang begitu jauh ke tempat sidang, semata-mata agar
tidak menyusahkan panitia.
Semasa kondisi tubuh beliau masih kuat,
beliau juga melayani undangan dari berbagai daerah untuk memimpin
khataman Quran, menikahkan orang, memimpin doa, dsb.
Ketika kondisi beliau sudah tidak begitu kuat, orang-orang pun menyelenggarakan acaranya di rumah beliau. Saya pernah kebetulan sowan, agak kaget di rumah beliau ternyata banyak sekali orang. Belakangan saya ketahui bahwa Mbah Dullah sedang punya gawe. Menikahkan tiga pasang calon pengantin dari berbagai daerah.
Mbah Dullah, begitu orang memanggil kiai sepuh haamilul Qur’an ini,
meskipun sangat disegani dan dihormati termasuk oleh kalangan ulama
sendiri, beliau termasuk kiai yang menyukai musyawarah. Beliau bersedia
mendengarkan bahkan tak segan-segan meminta pendapat orang, termasuk
dari kalangan yang lebih muda. Beliau rela meminjamkan telinganya hingga
untuk sekedar menampung pembicaraan-pembicaraan sepele orang awam. Ini
adalah bagian dari sifat tawaduk dan kedermawanan beliau yang sudah
diketahui banyak orang.
Tawaduk atau rendah hati dan kedermawanan
adalah sikap yang hanya bisa dijalani oleh mereka yang kuat lahir
batin, seperti Mbah Dullah. Mereka yang mempunyai (sedikit) kelebihan,
jarang yang mampu melakukannya. Mempunyai sedikit kelebihan, apakah itu
berupa kekuatan, kekuasaan, kekayaan, atau ilmu pengetahuan, biasanya
membuat orang cenderung arogan atau minimal tak mau direndahkan.
Rendah hati berbeda dengan rendah diri.
Berbeda dengan rendah hati yang muncul dari pribadi yang kuat, rendah
diri muncul dari kelemahan. Mbah Dullah adalah pribadi yang kuat dan
gagah luar dalam. Kekuatan beliau ditopang oleh kekayaan lahir dan
terutama batin. Itu sebabnya, disamping dermawan dan suka memberi, Mbah
Dullah termasuk salah satu –kalau tidak malah satu-satunya – kiai yang
tidak mudah menerima bantuan atau pemberian orang, apalagi sampai
meminta. Pantangan. Seolah-olah beliau memang tidak membutuhkan apa-apa
dari orang lain. Bukankah ini yang namanya kaya?
Ya, mbah Dullah adalah tokoh yang mulai
langka di zaman ini. Tokoh yang hidupnya seolah-olah diwakafkan untuk
masyarakat. Bukan saja karena beliau punya pesantren dan madrasah yang
sangat berkualitas; lebih dari itu sepanjang hidupnya, mbah Dullah tidak
berhenti melayani umat secara langsung maupun melalui organisasi
(Nahdlatul Ulama).
Mungkin banyak orang yang melayani umat,
melalui organanisi atau langsung; tetapi yang dalam hal itu, tidak
mengharap dan tidak mendapat imbalan sebagaimana mbah Dullah, saya rasa
sangat langka saat ini. Melayani bagi mbah Dullah adalah bagian dari
memberi. Dan memberi seolah merupakan kewajiban bagi beliau, sebagaimana
meminta –bahkan sekedar menerima imbalan jasa– merupakan salah satu
pantangan utama beliau.
Beliau tidak hanya memberikan waktunya
untuk santri-santrinya, tapi juga untuk orang-orang awam. Beliau
mempunyai pengajian umum rutin untuk kaum pria dan untuk kaum perempuan
yang beliau sebut dengan tawadluk sebagai ‘belajar bersana’. Mereka yang
mengaji tidak hanya beliau beri ilmu dan hikmah, tapi juga makan
setelah mengaji.
Pernah ada seorang kaya yang ikut mengaji, berbisik-bisik: “Orang sekian banyaknya yang mengaji kok dikasi makan semua, kan kasihan kiai.” Dan orang ini pun sehabis mengaji menyalami mbah Dullah dengan salam tempel, bersalaman
dengan menyelipkan uang. Spontan mbah Dullah minta untuk diumumkan,
agar jamaah yang mengaji tidak usah bersalaman dengan beliau sehabis
mengaji. “Cukup bersalaman dalam hati saja!” kata beliau. Konon orang
kaya itu kemudian diajak beliau ke rumahnya yang sederhana dan
diperlihatkan tumpukan karung beras yang nyaris menyentuh atap rumah,
“Lihatlah, saya ini kaya!” kata beliau kepada tamunya itu.
Memang hanya hamba yang fakir ilaLlah-lah, seperti mbah Dullah, yang sebenar-benar kaya.
Kisah lain; pernah suatu hari datang
menghadap beliau, seseorang dari luar daerah dengan membawa segepok uang
ratusan ribu. Uang itu disodorkan kepada mbah Dullah sambil berkata:
“Terimalah ini, mbah, sedekah kami ala kadarnya.”
“Di tempat Sampeyan apa sudah tak ada lagi orang faqir?” tanya mbah Dullah tanpa sedikit pun melihat tumpukan uang yang disodorkan tamunya, “kok Sampeyan repot-repot membawa sedekah kemari?”
“Orang-orang faqir di tempat saya sudah kebagian semua, mbah; semua sudah saya beri.”
“Apa Sampeyan menganggap saya ini orang faqir?” tanya mbah Dullah.
“Ya enggak, mbah …” jawab si tamu
terbata-bata. Belum lagi selesai bicaranya, mbah Dullah sudah menukas
dengan suara penuh wibawa: “Kalau begitu, Sampeyan bawa kembali uang Sampeyan. Berikan kepada orang faqir yang memerlukannya!”
Kisah yang beredar tentang ‘sikap kaya’ mbah Dullah semacam itu sangat banyak dan masyhur di kalangan masyarakat daerahnya.
Mbah Dullah ‘memiliki’, di samping
pesantren, madrasah yang didirikan bersama rekan-rekannya para kiai
setempat. Madrasah ini sangat terkenal dan berpengaruh; termasuk –kalau
tidak satu-satunya— madrasah yang benar-benar mandiri dengan pengertian
yang sesungguhnya dalam segala hal.
32 tahun pemerintah orde baru tak mampu
menyentuhkan bantuan apa pun ke madrasah ini. Orientasi keilmuan
madrasah ini pun tak tergoyahkan hingga kini. Mereka yang akan sekolah
dengan niat mencari ijazah atau kepentingan-kepentingan di luar
‘menghilangkan kebodohan’, jangan coba-coba memasuki madrasah ini.
Ini bukan berarti madrasahnya itu tidak
menerima pembaruan dan melawan perkembangan zaman. Sama sekali. Seperti
umumnya ulama pesantren, beliau berpegang kepada ‘Al-Muhaafadhatu ‘alal qadiemis shaalih wal akhdzu bil jadiedil ashlah’, Memelihara yang lama yang relevan dan mengambil yang baru yang
lebih relevan. Hal ini bisa dilihat dari kurikulum, sylabus, dan
matapelajaran-matapelajaran yang diajarkan yang disesuaikan dengan
kebutuhan zaman.
Singkat kata, sebagai madrasah tempat
belajar, madrasah mbah Dullah mungkin sama saja dengan yang lain. Yang
membedakan ialah karakternya.
Agaknya mbah Dullah –rahimahuLlah —
melalui teladan dan sentuhannya kepada pesantren dan madrasahnya, ingin
mencetak manusia-manusia yang kuat ‘dari dalam’; yang gagah ‘dari
dalam’; yang kaya ‘dari dalam’; sebagaimana beliau sendiri. Manusia yang
berani berdiri sendiri sebagai khalifah dan hanya tunduk menyerah
sebagai hamba kepada Allah SWT.
Bila benar; inilah perjuang yang luar
biasa berat. Betapa tidak? Kecenderungan manusia di akhir zaman ini
justru kebalikan dari yang mungkin menjadi obsesi mbah Dullah. Manusia
masa kini justru seperti cenderung ingin menjadi orang kuat ‘dari luar’;
gagah ‘dari luar’; kaya ‘dari luar’, meski terus miskin di dalam.
Orang menganggap dirinya kuat bila
memiliki sarana-sarana dan orang-orang di luar dirinya yang memperkuat;
meski bila dilucuti dari semua itu menjadi lebih lemah dari makhluk
yang paling lemah. Orang menganggap dirinya gagah bila mengenakan baju
gagah; meski bila ditelanjangi tak lebih dari kucing kurap. Orang
menganggap dirinya kaya karena merasa memiliki harta berlimpah; meski
setiap saat terus merasa kekurangan.
Waba’du; sayang sekali jarang orang yang
dapat menangkap kelebihan mbah Dullah yang langka itu. Bahkan yang
banyak justru mereka yang menganggap dan memujanya sebagai wali yang
memiliki keistimewaan khariqul ‘aadah. Dapat melihat hal-hal
yang ghaib; dapat bicara dengan orang-orang yang sudah meninggal; dapat
menyembuhkan segala penyakit; dsb. dst. Lalu karenanya, memperlakukan
orang mulia itu sekedar semacam dukun saja. Masya Allah!
Ke-’wali’-an Mbah Dullah –waLlahu a’lam–
justru karena sepanjang hidupnya, beliau berusaha –dan membuktikan
sejauh mungkin– melaksanakan ajaran dan keteladanan pemimpin agungnya,
Muhammad SAW, terutama dalam sikap, perilaku, dan kegiatan-kegiatan
beliau; baik yang berhubungan dengan Allah maupun dengan sesama
hambaNya.
Begitulah; Mbah Dullah yang selalu
memberikan keteduhan itu telah meninggalkan kita di dunia yang semakin
panas ini. Beliau sengaja berwasiat untuk segera dimakamkan apabila
meninggal. Agaknya beliau, seperti saat hidup, tidak ingin menyusahkan
atau merepotkan orang. Atau, siapa tahu, kerinduannya sudah tak
tertahankan untuk menghadap Khaliqnya.
Dan Ahad, 25 Sya’ban 1422 / 11 November
2001 sore, ketika Mbah Dullah dipanggil ke rahmatuLlah, wasiat beliau
pun dilaksanakan. Beliau dikebumikan sore itu juga di dekat surau
sederhananya di Polgarut Kajen Pati.
“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah
kepada Tuhanmu dengan rida dan diridai, masuklah ke dalam golongan
hamba-hamba-sejatiKu, dan masuklah ke dalam sorgaKu!”
Selamat jalan, Mbah Dullah! AnnasakumuLlah ilaa yaumi yub’atsuun!
Dikutip dari kumpulan artikel Simbah Kakung Mustofa Bisri, Rembang, Jawa Tengah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar