Kamis, 12 Desember 2013



Neosufisme Di Kalangan Pengusaha Muslim Indonesia

 oleh Mas Say Laros

Akhir-akhir ini kajian tentang tasawuf mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Perlahan tapi pasti, tasawuf mulai diterima hamper seluruh kalangan masyarakat khususnya di indonesia.Dan pembahasan mengenai tasawuf ini bukan menjadi sesuatu hal yang kontroversial bagi sebagian umat Islam seperti beberapa abad silam, ketika para sufi banyak yang dianggap menyimpang.Fenomena yang terjadi seperti ini mengindikasikan cara keberagamaan masyarakat yang sudah mulai beralih ke cara sufistik.
Tasawuf sebagai segi batin agama — sementara segi lahirnya disebut syari’ah — adalah bidang ilmu keislaman yang bisa dibagi dalam tiga bagian: tasawuf akhlaqi, tasawuf amali dan tasawuf falsafi. Tasawuf akhlaqi ialah ajaran akhlak dalam kehidupan sehari-hari guna memperoleh kebahagiaan yang optimal. Tasawuf akhlaqi meliputi tahalli (penyucian diri dari sifat-sifat tercela, menghiasi dan membiasakan diri dengan sikap terpuji) dan tajalli, yaitu tersingkapnya Nur Ilahi.
Kerinduan pada spiritualisme tampaknya melanda beberapa masyarakat yang terhitung terdidik secara modern.Dimensi batin ini dalam fitrahnya memang membutuhkan semacam terapi dalam menghadapi akumulasi kejenuhan dan kekeringan jiwa. Hal inilah yang antara lain memunculkan tuntutan terhadap pentingnya spiritualisme. Salah satunya adalah melalui tasawuf.
Dengan banyaknya orang yang mulai melirik ajaran tasawuf ini khususnya dikalangan pengusaha muslim mengindikasikan bahwa Neosufisme sudah merasuki jiwa-jiwa entrepreneur muslim saat ini.Lalu,Bagaimana implementasi neosufisme ini didalam tataran bisnis yang islami?Oleh karena itu melalui tulisan ini saya ingin menyampaikan betapa pentingnya penerapan Neosufisme dalam kehidupan sehari-hari khususnya dunia bisnis.
Pengertian Neo-Sufisme
Neo-sufisme lebih menekankan manusia pada aspek rekonstruksi moral sosial masyarakat. Sufisme merupakan terapi yang efektif untuk membuat orang lebih manusiawi pula. Menjalani sufisme bukan berarti meninggalkan dunia. Tetapi, menjalani sufisme justru meletakkan nilai yang tinggi pada dunia dan memandang dunia sebagai media meraih spiritualitas yang sempurna.
Pada hakekatnya Neo-sufisme berarti paham tasawuf baru, atau menurut istilah Fazlurrahman, tasawuf yang diperbaharui untuk menyebut paham tasawuf para ahli hadits yang puritan, terutama tasawuf Ibnu Taimiyah dan muridnya, ibnu Al-Qayum Al-Jauziyah .
Neo-sufisme, dipelopori oleh tokoh salaf, Ibnu Taimiyah. Meskipun ia menentang berbagai praktek sufi, terutama kultus individu, namun Ibnu Taimiyah justru mengadopsi metode yang mereka gunakan. Ia meniru cara-cara kaum sufi dalam menjalin komunikasi yang akrab dengan Allah SWT.
Sebagai ahli hukum Islam, ia berusaha menyeimbangkan syari’at dan tasawuf. Adapun caranya ialah, berbagai ragam pengalaman sufistik ia uji dengan pengalaman empirik. Perilaku eksternal sufi dikonfrontasikan dan diuji dengan merujuk pada aspek lahiriah ajaran islam. Neo-Sufisme cenderung mengacu pada kehidupan Nabi SAW secara utuh. Tidak ada dikotomi antar syari’at dan taswuf karena nabi Muhammad mampu menggabungkan keduanya dalam satu perilaku dan cermin kehidupan. Tidak ada dikotomi antara filsafat dan tasawuf karena Nabi membangun pola kehidupan yang merangkum keduanya.
Dalam buku the seculer city Harvey Cox, pernah memprediksi keruntuhan agama karena modernisme. Tetapi, agaknya ia segera merubah teorinya, karena ternyata modernisasai sama sekali tidak melumpuhkan agama. Modernisme justru mengantar mansuia pada jalan buntu yang menyebabkan mereka berpaling pada nilai-nilai spritual dan pencarian makna hidup. Fenomena ini diidentifikasi oleh Futrolokg Jhon Naisbitt dan Patridcia Abordene sebagai kebangkitan agama (spritualisme) millenium ketiga (Megatrends 2000, h. 254). Dalam islam kebangkitan spritualisme yang menandai era baru yang disebut Paskahmodernisme itu timbul antara lain dalam bentuk Neo-Sufisme.
Neo-Sufisme menurut Fazlurrahman memilki beberapa ciri yang membedakan dengan tasawwuf populer :
1.      Pertama, Neo-Sufisme, memberikan pengahargaan positif pada dunia untuk seorang sufi. Menurut paham ini tidak harus miskin, bahkan boleh kaya. Kesalehan, menurut paham ini bukan dengan menolak harta dan kekayaan, tatapi mempergunakannya sesuai petunjuk Allah dan Sunnah Rasul.
2.      Kedua, Neo-Sufisme menekankan kesucian moral dan akhlakul karimah sebagai upaya memperkuat iman dan takwa.
3.      Ketiga, dalam Neo-Sufisme terdapat aktivitas dan dinamika baik dalam berpikir maupun dalam bertindak.
Neo-Sufisme tetap menghendaki penghayatan esoterisme yang mendalam, tetapi tidak dengan mengasingkan diri (uzlah), melainkan tetap aktif melibatkan diri dalam masyarakat. Selain sebagai olah rohani, tasawuf klasik berperan melancarkan gerakan oposisi keagamaan (pious opposition) terhadap praktik-praktik penindasan.
Sejarah Lahirnya Neo-Sufisme
Sebagaimana dengan perjalanan tasawuf klasik sebagai cikal bakal neo-sufisme diatas, maka dalam perkembangannya tasawuf terutama pada abad III H, pengaruh eksternal semakin terasa, antara lain dipengaruhi berbagai macam corak budaya. Dampak dari hal ini melahirkan dua corak pemikiran tasawuf, yaitu yang bercorak dengan materi dasarnya bersandar pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, dengan ide gagasan pada pembentukan moralitas, di back up ulama moderat pada satu sisi, sedang pada sisi lain tasawuf yang bercorak dengan materi dasarnya banyak bersumber dari filsafat dengan kecendrungan pada materi hubungan manusia dengan Tuhan, diusung oleh para filosof yang terkadang mengemukakan paengalaman ekstasik-fananya dan ucapan-ucapan syatahat ganjil, ditandai banyak pemikiran spekulatif-metafisis, seperti yang sudah diungkapkan diatas, yaitu al-Hulul, Wahdat Al-Wujud atau Al-Ittihad atau lainnya.
Sufisme sebagaimana yang telah diterangkan sebelum ini menempatkan penghayatan keagamaan melalui pendekatan batiniah. Kesan dari pendekatan esoterik ini adalah disebabkan kepincangan dalam tindak tanduk nilai-nilai Islam yang lebih mengutamakan makna batiniah atau ketentuan yang tersirat saja tanpa memerhatikan juga dari aspek lahiriahnya.
 Oleh kerana itu adalah wajar apabila melalui penonjolan sikap ini, kaum sufi tidak tertarik untuk memikirkan masalah-masalah sosial kemasyarakatan, bahkan lebih tertumpu ke arah aspek-aspek peribadatan saja. Dari sudut lain, terdapat pula kelompok muslimin (bahkan mayoritasnya) yang lebih mengutamakan aspek-aspek formal–lahiriah ajaran agama melalui pendekatan eksoterik-rasional.
Dalam hal ini, mereka lebih menitikberatkan perhatian dari aspek-aspek syariah saja sehingga kelompok ini digelar sebagai kaum lahiriah. Dari banyak usaha percobaan menyatukan antara dua pandangan yang berbeda orientasi itu, maka al-Ghazali telah mengutarakan konsep yang dikenal sebagai syariat, tarekat dan hakikat yang terpadu secara utuh. Dalam hal ini, al-Ghazali menjelaskan bahwa penghayatan keagamaan harus melalui proses berperingkat dan berpadu antara syariat dan tasawuf. Sebelum memasuki dunia tasawuf, seseorang harus terlebih dahulu memahami Syariat, tetapi untuk dapat memahami Syariat secara benar dan mendalam, harus melalui proses tarekat.
Tarekat adalah merupakan sistem esoterik yang akan menghasilkan kualitas pemahaman yang tinggi yang disebut sebagai hakikat.Usaha rekonsialisasi sufistik ini belum sepenuhnya berhasil untuk mengembalikan misi dan pesan dasar tasawuf secara total sebagai pendorong gerakan moral dan ruh Islam yang berkarakter damai dan harmonis.
Hegemoni lembaga-lembaga tasawuf justru banyak mengubah dimensi spiritual-moral-sosial kepada dimensi spiritual-mistik-individual. Namun usaha Ghazali harus diakui sebagai inspirasi bagi tokoh setelahnya, walaupun Ghazali mempunyai beberapa kelemahan terutama pada karyanya yang tidak berisi etos sosial dimana individu menjadi pusat perhatian yang berlebihan, sehingga banyak diantara pengikut al-Ghazali sendiri dan tarekat pasca al-Ghazali menyingkir dari dunia sosial dan berpangku tangan dari dinamika sosial, politik dan kebudayaan masyarakatnya.
Tatkala kondisi dan fenomena ini semakin melembaga, maka lahirlah kesadaran akan pentingnya membangkitkan kembali jati diri sufisme yang lebih menekankan dimensi moral umat dengan merekontruksi sejarah awal dan substansi sufisme. Kesadarana ini sebagaimana yang diungkapkan Fazlur Rahman dipelopori oleh Ibn Taimiyah, yang diikuti oleh muridnya Ibn Qayyim al-Jauziyah dan dikembangkan oleh Fazlur Rahman dengan nama Neo-Sufisme atau sufisme baru.[ Fazlur Rahman, Islam, terjemahan oleh Ahsin Muhammad (Jakarta : Pustaka Bandung, 1984), h. 79]
Neo-sufisme secara terminologi pertama kali ditonjolkan oleh pemikir muslim kontemporer yaitu Fazlur Rahman dalam bukunya Islam.[ Ibid, 193-194] Kemunculan istilah ini tidak begitu saja diterima para pemikir muslim, tetapi telah menjadikan perbincangan yang luas dalam kalangan para ilmuwan. Sebelum Fazlur Rahman, Hamka telah memperkenalkan istilah tasawuf moden dalam bukunya Tasauf Modern. Namun dalam dalam karyanya ini tidak ditemui istilah “neo-sufisme” yang dimaksudkan di sini. Keseluruhan isi buku ini terlihat wujudnya kesejajaran prinsip-prinsipnya dengan tasawuf al-Ghazali kecuali dalam hal ‘uzlah. Kalau al-Ghazali mensyaratkan ‘uzlah dalam penjelajahan menuju konsep hakikat, [ Muhammad al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, Jilid II (Beirut : Dar al-Ma’rifah, tt), h. 222] maka Hamka menghendaki agar seseorang pencari kebenaran hakiki tetap aktif dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat.[ Hamka, Modern…, h.150-174]
Konsep neo-sufisme oleh Fazlur Rahman sesungguhnya menghendaki agar umat Islam mampu melakukan tawazun (keseimbangan) antara pemenuhan kepentingan akhirat dan kepentingan dunia, serta umat Islam harus mampu meformulasikan ajaran Islam dalam kehisupan sosial.
Kebangkitan kembali tasawuf di dunia Islam dengan istilah baru yaitu neo-sufisme nampaknya tidak boleh dipisahkan dari apa yang disebut sebagai kebangkitan agama. Kebangkitan ini juga adalah lanjutan kepada penolakan terhadap kepercayaan yang berlebihan kepada sains dan teknologi selaku produk dari era modenisme. Modernisme telah dinilai sebagai gagal memberikan kehidupan yang bermakna kepada manusia. Oleh karena itu ramai manusia telah kembali kepada nilai-nilai keagamaan kerana salah satu fungsi agama adalah memberikan makna bagi kehidupan.
Demikianlah, era post-modernisme yang dibelenggu dengan bermacam-macam krisis yang semakin parah dalam berbagai aspek kehidupan. Akhlak masyarakat semakin buruk dan kejahatan semakin banyak. Kebangkitan nilai-nilai keagamaan tidak salah lagi telah menggerakkan kembali upaya menghidupkan karya-karya klasik dengan pendekatan baru termasuklah juga dalam bidang tasawuf. Karya-karya dalam bidang tasawuf yang dihasilkan oleh penulis kontemporari seperti al-Taftazani menunjukkan adanya garis lurus untuk menegaskan kembali bahwa tradisi tasawuf tidak pernah lepas dari akar Islam.
 Ini menunjukkan bahwa kebangkitan tasawuf kontemporer ditandai dengan pendekatan yang sangat pesat antara spiritualisme tasawuf dengan konsep-konsep Syariah. Tasawuf yang dianut dan dikembangkan oleh sufi kontemporer nampaknya berbeda dari sufisme yang difahami oleh kebanyakan orang selama ini yaitu sufisme yang hampir lepas dari akarnya (Islam), cenderung bersifat memisah atau eksklusif. Menurut mereka, sufisme yang berkembang kebelakangan ini, sebagaimana dinyatakan oleh Akhbar S Ahmed, pasca-modernisme membawa kita kepada kesadaran betapa pentingnya nilai keagamaan dan keperluan terhadap toleransi serta perlunya memahami orang lain yang semuanya terdapat dalam neosufisme.
Karakteristik Neo-Sufisme
Menurut Fazlur Rahman, neosufisme adalah “reformed sufism” yang bermaksud sufisme yang telah diperbaharui.[ Rahman, Islam …, h. 196-205] Sekiranya pada era kecemerlangan sufisme terdahulu aspek yang paling dominan adalah sifat ekstatik-metafisis atau mistis-filosofis, maka dalam sufisme baru ini ianya digantikan dengan prinsip-prinsip Islam ortodoks
 Neo-sufisme mengalihkan pusat pengamatan kepada pembinaan semula sosio-moral masyarakat Muslim, sedangkan sufisme terdahulu didapati lebih bersifat individu dan hampir tidak melibatkan diri dalam hal-hal kemasyarakatan. Oleh karena itu, karakter keseluruhan neo-sufisme adalah “puritanis dan aktivis”. Tokoh-tokoh atau kumpulan yang paling berperanan dalam reformasi sufisme ini juga merupakan paling bertanggung jawab dalam kristalisasi kebangkitan neo-sufisme.
Menurut Fazlur Rahman, kumpulan tersebut adalah kumpulan Ahl al-Hadith.[ Ibid, h. 194] Mereka ini coba untuk menyesuaikan sebanyak mungkin warisan kaum sufi yang dapat diharmonikan dengan Islam orthodox terutamanya motif moral sufisme melalui teknik zikir, muraqabah atau mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Berdasarkan hal tersebut, didapati bahwa tujuan neo-sufisme cenderung kepada penekanan yang lebih intensif terhadap memperkukuh iman sesuai dengan prinsip-prinsip akidah Islam dan penilaian terhadap kehidupan duniawi sama kehidupan ukhrawi.[ Ibid, h. 195] Akibat dari sikap keberagamaan ini menyebabkan wujudnya penyatuan nilai antara kehidupan duniawi dengan nilai kehidupan ukhrawi atau kehidupan yang “terresterial” dengan kehidupan yang kosmologis.
Dalam hal ini, al-Qushashi menyatakan bahawa sufi yang sebenarnya bukanlah yang mengasingkan dirinya dari masyarakat, tetapi sufi yang tetap aktif di tengah kehidupan masyarakat dan melakukan al-’amr bi al-ma’ruf wa nahy `an al- munkar (islah) demi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat.[ Ahmad al-Qushashi, al-Simt al-Majid, (Haiderabad: Da’irat al-Ma`arif al-Zizamiyyah, tt) h. 119-120]
Manakala Sa‘id Ramadan al-Buti pula mengutarakan konsep Ruhaniyyah al-Ijtima`iyyah atau spiritualisme sosial. Beliau merupakan penggerak kepada konsep neo-sufisme ini yang bermarkas di Geneva. Dalam hal ini al-Buti mengecam sikap dan cara hidup seperti yang digambarkan sufi terdahulu yang sangat mementingkan ukhrawi, sehingga tersisih daripada kehidupan masyarakat yang menurutnya itu adalah egois dan pengecut, hanya mementingkan diri sendiri. Sikap hidup yang benar adalah “tawazun” yaitu keseimbangan dalam diri sendiri termasuk dalam kehidupan spiritualnya serta kehidupan duniawi dan ukhrawi.[ Sa`id Ramadan al-Buti, al-Ruhaniyyah al-Ijtima‘iyyah fi al-Islam, ( Geneva: al-Markaz al-Islam,1965 ) h. 61.]
Adapun cirri-ciri Neo-Sufisme menurut Ahmad Najib Burhani yaitu :
  • Tidak mengenal Tarekat
  • Inklusif dalam memandang aliran tasawuf bahkan agama lain
  • Tidak mengenal guru atau mursyid apalagi guru rohani
  • Didominasi kaum terpelajar
Pengikutnya dari kalangan yang bermateri cukup[ Ahmad Najib Burhani, Sufisme Kota Berpikir Jernih Menemukan Spiritualis Positif, (Jakarta : Serambi, 2001), h. 13 ]Berdasarkan beberapa pandangan dan komentar di atas jelas menunjukkan bahawa neo-sufisme berupaya untuk kembali kepada nilai-nilai Islam yang utuh (kaffah) yaitu kehidupan yang seimbang (tawazun) dalam segala aspek kehidupan dan dalam segala segi ekspresi kemanusiaan. Dengan alasan ini pula dapat dikatakan bahwa yang disebut neo-sufisme itu tidak kesemuanya adalah “barang baru”, namun lebih tepat dikatakan sebagai sufisme yang dipraktikkan dalam kehidupan pribadi dan bermasyarakat sesuai dengan kedudukan masa kini.
Dengan menukilkan sedikit rumusan Nurcholish Madjid yang mengatakan bahawa neo-sufisme adalah sebuah esoterisme atau penghayatan keagamaan batini yang menghendaki hidup secara aktif dan terlibat dalam masalah-masalah kemasyarakatan. [ Madjid, Agama … h.15] Neo-sufisme mendorong dibukanya peluang bagi penghayatan makna keagamaan dan pengamalannya yang lebih utuh dan tidak terbatas pada salah satu aspeknya saja tetapi yang lebih penting adalah keseimbangan (tawazun).
Pandangan Tokoh Tarekat Masa Kini Terhadap Neo-Sufisme
Karena keterbatasan literatur, maka disini penulis hanya dapat menyampaikan pandangan satu tokoh tarekat Samaniyah yaitu Syekh Muda Ahmad Arifin terhadap Neo-Sufisme, walaupun pandangan beliau tidak dapat diartikan merupakan pandangan seluruh tokoh tarekat saat ini, namun kiranya dapat menjadi bahan perbandingan.
Menyikapi Neo-Sufisme, tokoh ini menolak dengan tegas keberadaanya dengan beberapa alasan antara lain yaitu :Kelahiran dan kebangkitan Neo-Sufisme dikarenakan ekses negatif Neo-Modernisme, sedangkan tasawuf klasik lahir dari Islam itu sendiri. Dengan demikian Neo-Sufisme adalah tempat pelarian dari ekses negatif Neo-Modernisme, dan jika hal ini teratasi dengan sendirinya Neo-Sufisme akan ditinggalkan.
Gagasan Neo-Sufisme lahir dari pemikiran Fazlur Rahman, Nurcolish Madjid dan Hamka yang tidak pernah masuk tarekat dan tidak mempunyai guru rohani yang hakikatnya sangat awam dengan tasawuf, maka sangat diragukan kapasitasnya bila berbicara tentang tasawuf.
Neo-Sufisme tidak memiliki konsep yang jelas dalam mengatasi problem manusia, bahkan cenderung menjadikan tasawuf sebagai komoditi spiritual sesaat konsumen.Neo-Sufisme menuduh ahli tarekat sebagai orang benci dunia, padahal ahli tarekat tidak menolak dunia, namun tidak mabuk dunia dan menempatkan harta di hati.
Peran Neosufisme Di Era Modern
Pada dasarnya,Munculnya neosufisme ini berawal dari akibat adanya perpecahan terselubung oleh umat islam dalam memahami dan mempraktekkan ajaran-ajaran islam, yang pada akhirnya menyudutkan dirinya sendiri-sendiri dalam golongan tertentu. Antara golongan yang semasa hidupnya hanya untuk menyembah Allah.atau mengutamakan hal-hal yang bersifat bathiniyyah (esoteris) dengan golongan yang dalam menyembah Allah hanya dengan perantara syariat atau Dzohiriyyah (eksoteris).
Akhirnya dengan Neosufisme inilah yang mencoba menyatukan antara saudara-saudara muslim yang menggolong-golongkan diri dan kelompoknya sendiri-sendiri, mengutamakan bathiniyyah dan tidak mengesampingkan dzahiriyyah.
Ada berbagai contoh nyata kesuksesan-kesuksesan yang diraih para tokoh islam zaman dahulu, ternyata salah satunya tidak mengunggulkan salah satu antara hal-hal yang bersifat bathiniyyah dan dzahiriyyah walaupun ada juga yang hanya mengandalkan antara satu dan lainnya. Hal ini dikarenakan sebab ketika Allah dalam menciptakan makhluk pasti berpasang-pasang dan keduanya dalam menjalani tugas sebagai makhluk harus seimbang.
Sebagai contoh, ketika para sufisme zaman dahulu hanya mementingkan hal-hal yang mengacu pada Bathiniyyah dan mengesampingkan Dzahiriyyah, ternyata tindakan ini tanpa disadari berdampak fatal. Yakni mereka mengalami kemunduran drastis dalam dunia yang penuh gemerlap warna ini. Baik yang menyinggung pemikiran atau perasaan.
Maka, tak heran jika zaman sekarang banyak Muslimin yang menyesali kejadian itu dan rindu akan zaman keemasan (Al Asr Al Dzahab) yang pernah diraih para muslim terdahulu.Contoh nyata kesuksesan dan kebahagiaan yang diraih para pengikut sufi , didunia dan Insya Allah diakhirat pula. Seperti Umar ibn Abdul Aziz, seorang raja yang bersifat asketis atau zuhud, Jabir ibn Hayyan, seorang fisikawan muslim tersohor, Al Junaid, seorang pengusaha sukses, Syaikh Abu Al Hasan Asy Syadzili, seorang petani sukses dan Syaikh Fariduddin Al Athar, seorang salesman yang sukses.
Oleh karena itu Neosufisme tetap penting untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari agar supaya antara kehidupan dunia dan akhirat bisa seimbang.Allah menciptakan dunia ini untuk manusia asalkan dimanfaatkan dengan benar sebagai sarana untuk beribadah kepada allah swt dan mencari Ridho-NYA.
Implementasi Neosufisme Di Kalangan Pengusaha Muslim Indonesia
Aa Gym atau biasa dikenal dengan panggilan Aa beliau lahir pada hari senin tanggal 29 Januari 1962, beliau adalah putera tertua dari empat bersaudara pasangan letnan kolonel (letkol) H. Engkus Kuswara dan Ny. Hj. Yeti Rohayati. Saudara kandung lainnya adalah: Abdurrahman Yuri, Agung Gunmartin, dan Fathimah Genstreed.
Pada masa mudanya, selain menuntut ilmu dan aktif berorganisasi, Aa Gym juga memiliki kegemaran berdagang. Dialah yang memelopori pembuatan stiker-stiker barsablon yang menunjukkan kekuatan dan keindahan Islam, dia juga pernah berjualan minyak wangi. Seraya tertawa dia bercerita, pernah seharian suntuk ia membersihkan botol-botol minyak gosok PPO untuk diisi minyak wangi hasil racikannya.
 Seluruh hasil kerja Aa Gym akhirnya membuahkan hasil, dia kemudian dapat membeli 1 unit mobil angkutan kota (angkot) dan kadang-kadang dia yang menjadi supirnya. Jika ada acara wisuda, dia menjual baterai dan film, selain itu juga kadang-kadang dia mengamen dari satu rumah makan ke rumah makan lainnya. “Sebenarnya tujuan saya mengamen ini bukan untuk mencari uang, melainkan ingin berlatih dalam berhadapan dengan orang lain, tapi ya lumayan juga dapat uang” ujarnya.
Disamping sebagai seorang Da’I dia juga dikenal sebagai pengusaha muslim yang cukup sukses.Beliau mengatakan bahwa pendidikan karakter seperti inilah yang sebenarnya sangat dibutuhkan dalam aktivitas Bisnis. Karena dengan memiliki pendidikan karakter yang baik maka aktivitas bisnis yang sedang dijalani akan selalu berorientasi pada kebaikan dan kebenaran. Dalam dunia bisnis yang penuh dengan persaingan, diperlukan pribadi yang baik. Seperti yang dikatakan oleh da`i kondang Aa Gym dalam acara Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) di Bali.
 Beliau menyatakan bahwa yang terpenting dalam pribadi pebisnis adalah Kredibilitas. Yang berarti pendidikan karakter yang baik. Sama halnya dengan proses maqamat dalam tasawuf, seorang pebisnis sebelum menjalankan usahanya perlu membersihkan niat untuk memulai usahanya. Sehingga saat membangun usaha dari nol, dan mengalami masa-masa tersulit, ia mampu bertahan sekalipun jatuh-bangun selama proses membangun usaha, ia tetap bisa kuat dan bertahan.
Menjaga kondisi hati dan pikiran agar tetap fokus kepada Allah, sehingga mampu menghindari melakukan hal-hal seperti penipuan konsumen dalam penjualan produk atau jasa, dan benar-benar adil dalam kegiatan bisnis, Pembersihan hati dan stabilisasi emosi dengan Zero Mind Process ini dikarenakan hati selalu rawan terkontaminasi oleh berbagai noda.Noda-noda ini lah yang akan menjadi penghalang proses adopsi sifat-sifat mulai Allah.
DAFTAR PUSTAKA


Tidak ada komentar:

Posting Komentar