KH. Zaeinuddin Mojosari Wali Mastur
Mbah KH. Zainuddin adalah ulama besar Nusantara yang “paling tidak
terekspose” bila dibanding dengan ulama-ulama seangkatannya semisal
Syekh Nawawi al-Bantaniy, Syekh Sholeh Darat (guru beliau), Syekh Kholil
Bangkalan, KH. Dimyathi Tremas Pacitan, Syekh Asnawi Kudus.
KH. Zainuddin merupakan pengasuh Pondok Pesantren Mojosari, Loceret,
Nganjuk, Jawa Timur generasi ke 7. Pondok Pesantren Mojosari didirikan
pada tahun 1720 M oleh Mbah Kyai Ali Imron, Bendungan.
Ketika dulu para santri masih menggunakan sitem rihlah (kelana), maka
Mbah Kiyai Zainuddin adalah salah satu ulama “wajib” yang dituju para
santri pada zaman itu dalam rangka menyempurnakan keilmuan para santri.
Dari segi usia memang beliau paling muda dengan teman seangkatannya
namun beliau yang paling akhir meninggal dunia (menurut keterangan salah
satu santrinya wafat beliau tahun 1954).
Beliau menempati sebuah pondok tua yaitu di Mojosari Loceret Nganjuk.
Mungkin karena secara geografis berada di kaki gunung Wilis, maka beliau
“tidak banyak diekspose” dibanding sahabat-sahabatnya, karena memang
dalam sejarahnya beliau cenderung bergerak dalam keilmuan tasawwuf.
Beliau dikenal oleh masyarakat sebagai waliyullah, namun aktivitas
sehari-harinya tak beda dengan petani-petani desa yang bersahaja,
karamahnya tak pernah dibuat pameran. Bahkan beliau lebih nampak sebagai
seorang ulama syari’ah yang kokoh, tugas-tugasnya dijalankan dengan
disiplin dan istiqamah. Setelah selesai mengajar di malam hari, sekitar
pukul 22.00 beliau istirahat dan bangun jam 02.00 akhir malam, beliau
menjalankan tahajjud, tilawah al-Quran dan lain-lain, mendekatkan diri
kepada Allah SWT sampai menjelang Shubuh.
Kiai Zainuddin tidak hanya pandai menganjurkan sunnah Rasul, tetapi
beliau praktekkan sendiri dalam kehidupan, sesuai dengan nasihat yang
sering disampaikannya kepada para santri: “Co, ojo lali karo ayat
أَتَأْمُرُوْنَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ
“Apakah kamu perintah orang lain untuk berbuat baik, padahal kamu melupakan dirimu sendiri?”
Syariat Islam dijalankannya dengan nyata dan konsekuen. Untuk keperluan
hidup sehari-hari beliau mengolah tanah pertanian secukupnya. Beliau
sendiri sering memegang pacul (cangkul) menanam singkong, jagung atau
pisang. Beliau tidak menunjukkan tingkah khariqul ‘adah di hadapan
masyarakat. Akan tetapi sepandai-pandai menyimpan durian, tercium juga
baunya. Begitu juga halnya Kyai Zainuddin, banyak ulama arif mengakui
kewaliannya.
Syahdan pada suatu hari, seperti biasanya pesantren di bulan Sya’ban
selalu mengadakan imtihan (selametan) pengajian pondok di akhir tahun.
Pada waktu itu beliau bersama-sama pengurus pondok dan tokoh-tokoh
kampung Mojosari berkumpul mengadakan musyawarah untuk gawe besar ini.
Disepakati perayaan imtihan dilakukan semeriah mungkin dan dilakukan
beberapa hari baik melibatkan pondok maupun masyarakat Mojosari.
Akhirnya ada sebagian masyarakat yang mengusulkan diadakan kesenian
rakyat yaitu “JARANAN”, dan beliau mbah Kyai Zainuddin mengiyakan dengan
syarat dilakukan di awal dan di luar pondok (di kampung). Maka
bersemangatlah masyarakat Mojosari (saat itu masyarakat Mojosari 90%
masih abangan dan terkenal sebagai tempatnya maksiyat).
Berhari-hari masyarakat Mojosari dan pondok dalam suasana gembira.
Rupanya hal ini terdengar sampai jauh di luar Nganjuk. Terbukti para
Kyai menyikapi insiden tersebut karena melihat bahwa Mbah Kyai Zainuddin
adalah salah satu tokoh ulama yang paling disegani. Mereka para Kyai
takut hal ini akan berdampak pada masyarakat santri pada waktu itu.
Akhirnya Hadhratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari, KH. Abdul Wahab Chasbullah,
KH. Bisyri Sansuri dan para Kyai lain bermusyawarah melakukan sikap dan
meminta pada Mbah Kyai Zainuddin untuk bersikap tegas dengan adanya
“JARANAN” masuk dalam kegiatan Imtihan. Mereka para Kyai akhirnya tidak
menuai kesepakatan siapa yang harus sowan menghadap kepada Mbah Kyai
Zainuddin. Mereka tidak ada yang berani menghadap mengingat mereka semua
adalah murid dan santri beliau. Karena semua Kyai tersebut tidak berani
menghadap, akhirnya disepakati dengan memakai mediator surat pernyataan
dan ditandatangani oleh bersama.
Setelah selesai rapat musyawarah pernyataan sikap, para Kyai pulang ke
rumah masing-masing. Tempat musyawarah waktu itu dilaksanakan di
Tebuireng. Saat Hadhratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari istirahat, di dalam
istirahat itu beliau diingatkan Allah SWT. lewat mimpi, dimana dalam
mimpi itu KH. Hasyim Asy’ari dan para ulama seluruh Nusantara mengadakan
shalat jama’ah. Dan ternyata dalam shalat jam’aah para ulama itu yang
menjadi Imam adalah Mbah Kiyai Zainuddin. Sedangkan beliau Hadhratus
Syekh KH. Hasyim Asy’ari berada pada barisan shof nomer 7.
Setelah terbangun, surat yang tadi sudah jadi dengan tanda tangan yang
lengkap dan tinggal dikirim akhirnya tidak jadi disampaikan kepada Mbah
Kiyai Zainuddin. Lantas KH. Hasyim Asy’ari mengabari perihal mimpinya
tersebut kepada para Kyai yang ikut menandatangani surat pernyataan di
atas. Mereka semua akhirnya sepakat bahwa itu bukan wilayah mereka
ngurusi (ikut campur) urusan guru mereka.
Berkat karamah yang dimiliki Mbah Kyai Zainuddin tersebut, terbukti
sekarang masyarakat Mojosari Nganjuk yang tadinya 90 % abangan menjadi
99% Islam dan ta’at.
Ketenaran nama Kyai Zainuddin ternyata membawa dampak lain. Sehubungan
dengan kewaliannya itulah, banyak orang datang mohon ijazah doa. Namun
beliau tetap mengaku tidak punya doa khusus dan memang seperti itulah
yang dapat disaksikan, beliau bukan ahli thariqah. Bila ada orang yang
datang minta ijazah doa beliau spontan menjawab: “Enggih, sampun kulo
ijazahi” (Iya, sudah saya ijazahkan). Entahlah apakah memang benar sudah
atau belum, Wallahu a’lam bishshawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar