Ikhtiar Mengakhiri Perseteruan Klasik
judul: Sufi “Ndeso” Vs. Wahabi Kota, Sebuah Kisah Perseteruan Tradisi Islam Nusantara
Penulis: Agus Sunyoto
Penerbit: NouraBooks, Jakarta
Cetakan: I, Juli 2012
Tebal: 277 halaman
Peresensi: Muhammad Itsbatun Najih*
Tradisi
khas Islam Indonesia macam tahlilan, peringatan hari kematian,
peringatan Maulid Nabi, talqin mayit dan haul dalam kurun waktu
belakangan ini ramai-ramai digugat. Bid’ah jadi kosakata lazim guna
melabeli laku yang sudah mendarah daging sejak ratusan tahun silam itu.
Model pemahaman keislaman mereka yang menggugat –buku ini menyebut
Wahabi- adalah model tekstual dan kaku. Baginya, tradisi-tradisi itu
tidak ada dalilnya baik dari Alquran maupun hadis.
Tudingan di atas adalah tudingan sepihak dan alpa sejarah. Buku ini
memaparkan secara gamblang ihwal sejarah manis dan damainya masuknya
Islam ke Indonesia melalui pendekatan budaya. Sejatinya Islam dapat
berkelindan dengan budaya Nusantara. Jalinan itu menghasilkan nilai
positif dengan lahirnya budaya baru tanpa meninggalkan esensi dari
budaya lama. Dengan begitu, wajah Islam di Indonesia mempunyai kekhasan
tersendiri. Pun, Islam nyatanya mampu bertegur sapa dan saling mengisi
dengan budaya lokal.
Pola penyebaran Islam di Indonesia sudah
maklum diketahui sebagai penyebaran tanpa genangan darah dan sabetan
pedang. Penyebar Islam merupakan para pedagang asal Arab, Persia, dan
India. Interaksi para pedagang asing itu dengan masyarakat Indonesia
berkembang menjadi perbincangan keimanan. Ajaran Islam menurut Agus
cepat berkembang salah satunya dikarenakan ada kesamaan pandangan
terutama dalam ranah tasawuf. Namun, sejarawan memberikan tambahan
sejumlah teori seperti melalui jalur pendidikan, pernikahan, kesenian,
dan politik.
Kredit poin penyebar Islam tempo dulu adalah
kecerdasan mereka dalam menghadapi situasi dan kondisi masyarakat
Indonesia. Pendekatan budaya semisal wayang atau arsitektur menara
masjid berbentuk candi merupakan bukti bahwa Islam tidak antipati
terhadap budaya yang terlebih dahulu eksis.
Inilah win-win solution
ala penyebar Islam tempo dulu dalam mengompromikan agama dengan budaya
lokal. Lebih lanjut dieliminasinya istilah-istilah ritual agama
berbahasa Arab yang kemudian diganti dengan bahasa Jawa seperti salat
diganti sembahyang, shaum diganti upawasa, khitan diganti selam sekali lagi juga menunjukkan bahwa ajaran Islam mampu bersinergi dengan kebudayaan (bahasa) lokal.
Tanpa
bermaksud mengadu domba, buku ini hanya menyajikan realitas kekinian
mengenai suatu kelompok yang membuat gugatan-gugatan terhadap tradisi
Islam di Indonesia yang dinilai tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Prinsip kelompok ini adalah melarang semua perbuatan kecuali ada
dalilnya dari Alquran maupun hadis. Sebaliknya, pelaku tradisi itu juga
berlandaskan pada prinsip kebolehan untuk melakukan semua perbuatan
kecuali ada dalil Alquran dan hadis yang melarangnya.
Ada dua
contoh yang dipaparkan Agus Sunyoto terkait kritik dari Wahabi. Pertama,
soal menggelar acara peringatan kematian 7, 40, 100, 1000 hari. Wahabi
mengatakan tradisi itu sebagai warisan ajaran Hindu yang kemudian
diadopsi oleh masyarakat Indonesia. Agus lalu menunjuk hidung. Wahabi di
sini ia arahkan kepada buku karangan Makhrus Ali yang menggugat tradisi
tahlilan, istigatsah, dan ziarah para wali. Agus sebagai salah seorang
peneliti sejarah Islam Nusantara tak segan-segan melibas argumen Makhrus
tersebut sebagai kengawuran.
Agus berujar bahwa tradisi acara
peringatan kematian itu bukanlah mengadopsi dari ajaran Hindu. Bahkan
Hindu tidak mengenal tradisi itu. Justru tradisi itu adalah hasil
pengadopsian dari amalan Syi’ah yang dibawa oleh penyebar Islam dari
Campa ke Indonesia. Jadi, Agus ingin mengatakan bahwa Wahabi buta
sejarah, asal bicara tanpa berlandaskan fakta.
Kedua,
kekurangsukaan Wahabi terhadap obat medis yang dianggap tidak islami dan
mempunyai efek samping karena terdiri dari zat-zat kimia. Sedangkan
pengobatan herbal dan bekam diklaim sebagai pengobatan islami. Agus
kembali meluruskan pandangan keliru itu. Dikatakan baik obat herbal
maupun medis masing-masing memiliki kelemahan dan keunggulan. Metode
pengobatan sama sekali tidak ada kaitannya dengan tendensi pada agama
tertentu.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar