Mursyid Abdul Ghoni Atau Mbah Ahmad Sadjadi
Semenjak kecil, almarhum KH Abdul Ghoni gemar mengembara untuk menimba
ilmu di berbagai pesantren di tanah Jawa. Riwayat pendidikannya dimulai
di madrasah diniyyah ibtida’iyyah Tegal Sari Sala.
Kemudian beliau melanjutkan ke jenjang lebih tinggi, yakni di Madrasah
Tsanawaiyyah dan Aliyyah Mamba’ul Ulum Sala, dan lulus tahun 1939.
Selain pendidikan formal, beliau yang haus ilmu, memperdalam ilmu agama
dengan nyantrik ke beberapa pondok pesantren. Di antaranya di Jawa Timur
beliau pernah ngaji di Pesantren Termas Pacitan (tahun 1940) yang
diasuh Raden Sayyid Hasan dan Kiai Hamid bin Abdullah, Pesantren
Mojosari Nganjuk yang dipimpin Kiai Zainuddin, dan Pesantren Tebu Ireng
Jombang. Di pesantren yang disebut terakhir tadi, Mbah Sadjadi
mengkhususkan untuk mengkhatamkan kitab hadist Shohih Bukhori.
Di Jawa Tengah, ia pernah nyantri di Pesantren Lasem asuhan Mbah Kiai
Ma’sum, Pesantren Watucongol Muntilan asuhan Kiai Dalhar, dan Pesantren
Bustanul Usyaqil Qur’an Demak asuhan Kiai Raden Muhammad bin Mahfudz
at-Tirmizi. Di pesantren ini, ia berhasil menghafalkan Al-Qur’an selama 3
tahun (1941-1944). Ia juga pernah nyantri di Serang Banten di bawah
bimbingan Kiai Haji Syam’un.
Tak heran jika akhirnya Kiai Abdul
Ghoni, atau yang lebih akrab disapa Mbah Sadjadi ini menjadi ulama yang
sangat luas ilmunya. Ia menguasai berbagai macam keilmuan, seorang
hafidul qur’an, ahli tafsir, ahli hadist, dan juga seorang ahli fiqih.
Kiai Sadjadi menguasai ilmu perbandingan fiqih 4 mazhab.
Aktif berdakwah dan berorganisasi
Kiai
Sadjadi sejak 1977 berada di lingkungan masjid M Tohir, Yosoroto
Laweyan Solo. Dua tahun kemudian ia dipercaya untuk tinggal di masjid
Yosoroto. Dan sejak itulah, para tamu dari thariqah asy-Syadziliyyah
banyak yang berkunjung ke masjid. Setiap hari, puluhan orang bertamu ke
Yosoroto.
Menurut cerita dari KH Adib Zain, Sekretaris Jendral
JATMAN, salah satu pengganti mursyid thoriqoh asy-Syadziliyyah, usai KHR
Ma’ruf Mangun Wiyoto wafat, diantaranya adalah Mbah Sadjadi yang di
usia lanjutnya dikenal dengan sebutan KH Abdul Ghoni.
Ijazah Mbah Sadjadi diperoleh dari Kiai Ma’ruf dan Kiai Ahmad Abdul Haq, pengasuh Pondok pesantren Watucongol Muntilan.
Saat
mengemban amanah di masjid Yosoroto, kiai yang juga dikenal sayang
dengan anak-anak dan selalu berusaha shalat berjama’ah ini, mengadakan
banyak kegiatan keagamaan, di antaranya adalah sema’an Al-Qur’an yang
diselingi dengan penjelasan ayat yang dibaca, rutin setiap malam Rabu.
Dan, khusus pada malam Rabu terakhir diselingi dengan pembacaan shalawat
Burdah karya Imam Bushiri.
Mbah Sulaeman Tanon Sragen, salah
satu santri Kiai Umar Al-Muayyad bercerita, ketika masih mondok di
Al-Muayyad beliau sering disuruh untuk sema’an di masjid Yosoroto.
Menurutnya, banyak kitab yang telah diserap dari lisan sang kiai, di
antaranya tafsir Jalalain, Riyadus Shalihin dan lainnya.
Selain
mengajar di Yosoroto, Kiai Sadjadi juga mengajar santri-santri
Al-Muayyad. Kitab yang diajarkannya adalah tentang perbandingan madzhab
“Al-Mizanul Kubro” karya Syekh Abil Mawahib bin Ahmad bin Aly
al-Anshory. Sedangkan di Masjid Tegalsari Solo beliau mengajarkan Tafsir
Jalalain, matan ghoyah wat taqrib dan Jawahirul Bukhori.
Tidak
hanya itu, ternyata Kiai Sadjadi juga seorang dosen di Universitas
Nahdlatul Ulama Surakarta sejak 1947-1987. Pernah bergabung dalam Laskar
Sabilillah Kota Surakarta (1946), juga pernah menjabat sebagai anggota
DPRD Kota Surakarta dari fraksi NU (1964-1965) dan menjabat mustasyar NU
Kota Surakarta (1987). Sampai akhir hayat pada tahun 1987, beliau terus
mengabdi untuk masyarakat.
Sabtu Pon 21 Maret 1987 bertepatan
dengan 22 Rajab 1407 H sekitar pukul 19.00 WIB. Beliau pergi dalam usia
68 tahun. Kepergiannya membawa duka bagi keluarga, sahabat, para ulama
dan santri-santri beliau. Kiai Sadjadi meninggalkan seorang istri, Nyai
Hj. Chammah Sadjadi, 5 putra dan 3 putri.
Ada beberapa kesaksian
menarik saat prosesi pemakaman beliau. Sebagaimana dikisahkan Ibu Nyai
Hj. Baidhowi Syamsuri (istri KH Baidhowi Syamsuri, pengasuh Pondok
Pesantren Sirojuth Tholibin Brabo) dan juga KH Abdul Karim Ahmad yang
menyaksikan kepergian beliau. Saat keranda beliau diangkat oleh para
santri dan keluarga secara silih berganti, keranda terasa ringan.
Orang-orang
yang membawa keranda Kiai Sadjadi seakan berlari-lari sambil
bershalawat burdah, “Karena ringannya keranda almarhum, yang mengangkat
tak bisa menahan kakinya untuk berlari.” Kata KH Abdul Karim. Menurut
Kiai yang akrab disapa Gus Karim, itu merupakan pertanda bahwa almarhum
sudah tidak sabar ingin bertemu Allah swt, “Para Malaikat penyambut
almarhum juga sudah tak sabar menunggu pecinta shalawat itu.” (Ajie Najmuddin, disarikan dari tulisan A. Himawan asy-Syirbany di Tabloid TAJAM Jamuro)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar