A. Pendahuluan Siapa yang tidak kenal al-Ghazali, ulama besar yang menyandang gelar Hujjat al-Islam ini. Kedalaman ilmunya, kecerdasan akalnya, kebeningan hatinya, serta ketajaman bashirah-nya tidak ada yang mempertanyakan lagi. Itu semua terbukti dari kekuatan pengaruhnya terhadap para ulama setelahnya, melalui murid-murid dan karya-karyanya sampai saat ini. Karya-karya buah tangan Sang Hujjah ini, tidak hangus dimakan waktu dan tidak lekang ditelan zaman, ia tetap dibaca, dikaji, dan diamalkan serta dijadikan pegangan oleh umat Islam sampai sekarang. Sederet karyanya antara lain: al-Wajid, al-Maqashid, al-Tahafut, al-Iqtishad, al-Mustadhhiri, al-Mustasyfa, kimya al-Sa’adah, Minhaj al-‘Abidin, Mi’yar al-‘Ilm, Muhik al-Nadzar, al-Maksud al-Atsna, al-Ajwibat al-Muskitah, Mizan al-‘Amal, Jawahir al-Qur’an, al-Madzun, al-Munqidh min al-Dzolal, al-Risalah al-Ladunniyah, Misykat al-Anwar, dan magnum opus-nya yang paling terkenal Ihya’ ‘Ulum al-Din, serta masih banyak lagi karya-karya lainnya. Dalam kesempatan ini penulis akan mencoba mengkaji salah satu dari karya al-Ghazali di atas, yaitu Misykat al-Anwar. Kitab ini berisi tafsiran al-Ghazali terhadap QS. Al-Nuur : 35, yang sering disebut-sebut sebagai “Ayat Cahaya” (ayat yang membahas tentang Allah sebagai cahaya langit dan bumi), sehingga kitab ini sering disebut “Tafsir Ayat Cahaya”. Misykat al-Anwar diyakini sebagai satu-satunya karya al-Ghazali yang memaparkan doktrin esoterik beliau. Kitab ini membahas secara komprehensif dimensi-dimensi alam malakut (alam atas), sebuah kajian yang memungkinkan kita mengenal lebih dekat hakikat Allah, Pencipta dan Pengatur Seluruh Semesta. Al-Ghazali membahas alam malakut melalui simbolisme cahaya. Cahaya ini hanya bisa tersingkap oleh para pemilik bashirah (mata hati). Cahaya-cahaya malakut ini memiliki tata urutan, yang sambung-menyambung dan siklusnya berakhir pada Sumber Pertama, Cahaya yang tidak bersandar pada cahaya lain, Cahaya yang Zat-Nya Sendiri menyinari seluruh cahaya, Cahaya di atas cahaya, itulah Allah SWT. B. Penafsiran Al-Ghazali dalam Misykat al-Anwar الله نور السماوات والأرض مثل نوره كمشكاة فيها مصباح المصباح في زجاجة الزجاجة كأنها كوكب دري يوقد من شجرة مباركة زيتونة لا شرقية ولا غربية يكاد زيتها يضيء ولو لم تمسسه نار نور على نور يهدي الله لنوره من يشاء ويضرب الله الأمثال للناس والله بكل شيء عليم Artinya : “Allah adalah cahaya langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah adalah ibarat misykat yang di dalamnya terdapat pelita besar. Pelita itu di dalam kaca, dan kaca misykat itu bagaikan bintang yang bercahaya, seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur sesuatu, juga tidak di sebelah barat (nya). Yang minyaknya (saja) nyaris menerangi, walaupun tidak disentuh oleh api. Cahaya itu di atas segala cahaya. Allah membimbing kepada cahaya-Nya bagi siapa saja yang Dia kehendaki, dan membuat perumpamaan kepada manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Nur, 24 : 35). Dalam menafsirkan ayat tersebut di atas, pada pasal pertama kitab Misykat al-Anwar ini al-Ghazali memberikan penjelasan bahwa cahaya yang hakiki adalah Allah dan nama cahaya bagi selain-Nya adalah metafor (majazi) belaka dan tidak hakiki. Sebelum menjelaskan hakikat cahaya ini, al-Ghazali pertama-tama membedakan makna cahaya menurut pemahaman awwam (umum), kalangan khawas (khusus), dan kalangan khawas al-khawas (khusus dari yang khusus). Karena menurutnya, cahaya itu memiliki tingkatan-tingkatan sesuai dengan pemahaman orangnya. Dengan mengetahui tingkatan itulah, menurutnya, akan terbuka dengan jelas bahwa Allah adalah cahaya yang Maha Tiggi dan paling jauh. Dan akan mengerti pula bahwa Dia adalah Hakikat Cahaya Kebenaran, dan itu satu-satunya cahaya, tidak ada sekutu bagi-Nya. a. Cahaya menurut orang awam Bagi mereka, cahaya adalah cahaya yang nampak dan yang terlihat oleh pandangan kasat mata (indera). Bagi mereka panca indera memiliki peranan yang sangat penting dan yang berlaku hanyalah daya tangkap indera manusiawi. Benda yang bisa ditangkap oleh indera mata dibagi menjadi tiga : (1). Benda yang tidak tampak dengan sendirinya, seperti benda-benda gelap. (2). Benda yang tampak dengan sendirinya, tetapi tidak membuat benda lain kehihatan, seperti bintang-bintang dan zat api apabila tidak menyala, dan (3). Benda yang tampak dengan sendirinya dan dapat membuat benda lain terlihat, seperti matahari, bulan yang sedang memantulkan cahaya, dan api atau pelita yang menyala. Dari ketiga poin di atas, yang dimaksud dengan cahaya adalah yang nomor ketiga. Dan secara global, cahaya adalah sesuatu yang dapat menjadikan benda lainnya tampak, seperti matahari. b. Cahaya menurut kaum Khusus Bagi mereka, cahaya adalah bukan saja apa yang dapat dilihat oleh mata, karena tangkapan penglihatan bergantung kepada cahaya, disamping ia harus dalam keadaan melihat. Walaupun ada cahaya, tapi kalau tidak bisa melihat seperti orang buta, maka tidak akan bisa melihat cahaya itu. Bagi kaum khusus ini, panca indera (mata) memiliki banyak kekurangan dan menurut mereka, ruh yang melihat sama (ruh bashirah) dengan cahaya yang nampak. Bahkan bisa dikatakan ruh memiliki posisi yang lebih tinggi dari pada cahaya. Sebab ia memiliki daya melihat, dan dengannya sesuatu bisa tampak, sementara cahaya sendiri tidak memiliki “daya tangkap penglihatan” dan juga tidak dapat menciptakannya. c. Cahaya menurut Khawas al-khawas Bagi golongan ini, istilah cahaya lebih tepat kalau dipakai untuk cahaya yang dapat memberikan daya penglihatan, bukan untuk sembarang cahaya. Maka ruh yang melihat (ruh bashirah) itulah yang disebut “cahaya”, karena ia memang lebih pantas menyandang istilah tersebut. Dalam diri manusia terdapat mata yang memiliki sifat sempurna, yang tidak memiliki kekurangan seperti mata inderawi, yaitu yang disebut dengan “akal, ruh, atau jiwa” manusia. Mata inderawi memiliki 7 kekurangan, yaitu : 1). tidak bisa melihat dirinya, 2). tidak bisa melihat objek yang terlalu dekat dan terlalu jauh dengannya, 3). tidak bisa melihat benda di balik hijab, 4). Hanya bisa melihat bagian luar benda, tidak pada bagian dalamnya, 5). Hanya dapat melihat sebagian eksistensi, 6). Tidak mampu melihat cakrawala tanpa batas, dan 7). Melihat sesuatu yang besar tampak kecil. Semua itu relatif dapat dihindari oleh akal. Maka akal atau ruh lebih pantas disebut cahaya daripada mata kasat. Walau akal pun kemudian sering ter-hijab (tertutup) oleh hayalan dan prasangka. Hingga pada saatnya tersingkap penutup itu dan terbukalah rahasia. Ketika itulah dikatakan kepadanya : فكشفنا عنك غطاءك فبصرك اليوم حديد “Dan telah kami singkap hijab (penutup) mu, maka penglihatanmu hari ini sangat tajam,” (QS. Qaf, 50 : 22). Al-Qur’an adalah Pelita yang Menyinari Akal Selanjutnya al-Ghazali, menjelaskan bahwa meskipun akal memiliki daya lihat, tetapi tidak berarti apa yang dilihatnya memiliki derajat yang sama. Sebagiannya ada yang terlihat layaknya suatu aksiomatis sebagaimana ilmu-ilmu eksakta. Dan ada juga yang tidak terjangkau oleh akal atau tidak sesuai dengan pengalaman akal. Sehingga akal perlu digerakkan, dirangsang, dan diberi perhatian seperti dalam masalah teori-teori. Pada titik ini, yang mampu memberikan hanyalah para hukama’, yaitu orang-orang yang memperoleh pancaran cahaya hikmah. Ketika seseorang mendapat pancaran cahaya hikmah, dia akan dapat melihat sesuatu secara otomatis karena kehendak-Nya. Dan hikmah terbesar di sini adalah Kalam Allah. Di antara kalam-Nya adalah al-Qur’an. Karenanya, posisi ayat-ayat al-Qur’an di mata akal seperti sinar matahari bagi kasat mata. Al-Qur’an adalah cahaya bagi akal, dan akal adalah cahaya bagi mata. Dengan kerangka inilah dipahami makna Firman Allah SWT: فآمنوا بالله ورسوله والنور الذي أنزلنا والله بما تعملون خبير Artinya : “Dan berimanlah kalian kepada Allah dan Rasul-Nya, dan kepada Nur (Cahaya) yang Kami turunkan.” (QS. Al-Taghabun, 64: 8). Dan Firman-Nya : يا أيها الناس قد جاءكم برهان من ربكم وأنزلنا إليكم نورا مبينا Artinya : “Hai manusia, telah datang kepadamu bukti dari Tuhanmu dan Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang.”(QS. Al-Nisa, 4: 174). Alam Syahadah dan Alam Malakut Kemudian al-Ghazali membedakan dua macam mata, mata inderawi dan mata batin. Mata inderawi ini adalah mata dhahir yang jangkauannya adalah alam yang bisa dirasa dan kasat mata, sementara mata batin adalan mata yang menjangkau alam malakut (alam malaikat). Kedua mata ini memiliki cahaya, yang dengannya kedua mata ini menjadi sempurna. Cahaya mata dhahir adalah matahari dan cahaya mata batin adalah al-Qur’an dan kitab-kitab Allah lainnya yang telah diturunkan. Al-Ghazali membandingkan kedua alam ini (alam syahadah dan alam malakut) bagaikan kulit buah dengan isinya, seperti bentuk dengan ruhnya (esensinya), kegelapan dengan cahaya, atau yang rendah disandingkan dengan yang tinggi. Alam malakut juga sering disebut alam al-ulwi (atas), alam al-ruhani (alam ruhani), dan alam al-nuri (alam cahaya). Sementara alam syahadah sering disebut alam al-sufli (alam rendah), alam al-jismani (alam jasmani), dan alam al-dzulmani (alam kegelapan). Pada dasarnya, manusia tergolong makhluk yang berada di alam rendah, akan tetapi ia dapat naik ke alam yang tinggi. Sedangkan malaikat adalah bagian dari alam malakut, mereka bergantung pada hadirat al-quds (hadirat kesucian Allah SWT), dan dari sana mereka menyinari alam rendah. Rasulullah SAW bersabda : ان الله خلق الخلق فى ظلمة ثمّ افاض عليهم من نوره Artinya : “Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk-Nya dalam kegelapan, kemudian dia melimpahkan cahaya-Nya atas mereka.” Juga dalam sabdanya yang lain : لله ملائكة هم اعلم باعمال النّاس منهم Artinya : “Sesungguhnya Allah SWT mempunyai malaikat, dimana para malaikat ini lebih mengetahui perbuatan manusia, daripada perbuatan mereka sendiri.” Para Nabi, apabila telah naik dan mencapai alam malakut, berarti telah mencapai tingkat yang paling tinggi dan disana mereka dapat menyaksikan beberapa alam gaib, sebab dia telah berada di sisi Allah, yang di tangan-Nya terletak semua kunci kegaiban. Al-Ghazali menjelaskan bahwa alam syahadah adalah miniatur dari alam malakut, ia adalah percikan bekas dari penciptaan alam malakut, seperti halnya bayangan dari fisik seseorang. Sehingga sesuatu yang bersumber dari yang lain, mestinya mempunyai kemiripan dengan aslinya, sedikit ataupun banyak. Barang siapa yang dapat menyingkap hakikat, niscaya dengan mudah akan mampu menyingkap perumpamaan yang ada dalam al-Qur’an. Para Nabi dan Ulama adalah Pelita Allah Seperti telah disebutkan semula bahwa sesuatu yang dapat menerangi dirinya, bahkan dapat menerangi yang lainnya, layaklah baginya disebut ‘cahaya’. Atau bahkan lebih tepat kalau ia disebut lentera yang menyinari (siraj al-munir), karena pancaran sinarnya pada yang lainnya. Dan keistimewaan ini terdapat pada al-ruh al-quds al-nabawi (ruh suci kenabian), yang melalui pancarannya terlimpah cahaya pengetahuan pada makhluk. Dengan demikian, dapat dimengerti kenapa Allah SWT menamakan Nabi Muhammad SAW sebagai siraj al-munir (lentera yang menyinari), yang juga diberikan kepada seluruh nabi dan para ulama (walaupun di antara mereka terdapat perbedaan). Api Sumber Cahaya Bumi Jika kita kembalikan pembahasan kita pada penafsiran ayat di atas, maka pantaslah atas sesuatu yang dapat memberikan cahaya penglihatan kepada yang lain, dinamakan sebagai lentera/pelita penerang. Dan pelita itu memperoleh cahayanya dari sesuatu yang dinamakan api. Cahaya yang ada di atas bumi ini (para Nabi dan ulama) memperoleh cahaya dari alam atas (tinggi). Sedang minyak ruh suci kenabian sendiri nyaris bersinar walaupun tidak tersentuh api. Dan setelah tersentuh api, ruh itu berubah menjadi “cahaya di atas cahaya.” Ruh itu menyulut cahaya bumi, khususnya setelah ruh itu tersentuh oleh ruh Ilahiyah, yang berada di alam atas. Jika ruh atas itu yang dianggap sebagai sumber dari nyalanya segala pelita bumi, maka tidak ada perumpamaan yang lebih tepat bagi ruh itu kecuali api, dan tidak ada perumpamaan bagi api itu kecuali api yang terdapat di balik gunung Sinai (api yang menampakkan diri pada nabi Musa. QS. 28 : 29). Tingkatan Cahaya Cahaya langit adalah sumber cahaya di bumi. Dan apabila diurutkan, maka yang paling dekat dengan sumber cahaya awal itulah yang lebih tepat disebut cahaya, sebab cahaya inilah yang paling tinggi derajatnya. Untuk menjelaskan tata urutan ini, al-Ghazali menggunakan perumpamaan. Seperti halnya cahaya bulan purnama yang masuk ke dalam fentilasi rumah. Cahaya itu jatuh ke sebuah cermin, kemudian cermin yang kejatuhan cahaya itu memantulkannya ke dinding di sekitarnya. Akhirnya dari biasan dinding ini dapat menyinari lantai rumah. Kita memahami bahwa cahaya yang menerangi lantai itu berasal dari cahaya dinding, cahaya dinding bersumber dari cahaya cermin, sedangkan cahaya yang menerpa cermin itu berasal dari cahaya bulan purnama, adapun cahaya bulan itu bersumber dari cahaya matahari. Secara berurutan, keempat cahaya itu tingkatannya lebih tinggi antara yang satu dengan yang lainnya. Dan yang paling tinggi adalah yang paling sempurna. Hal itu juga berlaku bagi cahaya-cahaya malakut. Dan hal ini hanya bisa tersingkap bagi para pemilik bashirah (mata hati). Maka tidak aneh kalau malaikat Istafil di atas tingkatan Jibril. Di antara para malaikat itu terdapat tingkatan yang lebih dekat lagi kepada hadirat al-rububiyah (hadirat ketuhanan), sebagai sumber dari segala cahaya. Di antara mereka terdapat tingkatan yang tidak mungkin dapat di hitung. Diketahui bahwa cahaya-cahaya itu memiliki tata urutan, tapi menurut al-Ghazali, bukan berarti itu sambung-menyambung tanpa batas. Cahaya itu terus membumbung naik hingga mencapai sumber cahaya pertama, yaitu Cahaya itu sendiri, yang Zatnya tidak disinari oleh cahaya lain. Ia memancarkan cahayanya ke seluruh cahaya sesuai dengan tata urutannya masing-masing. Maka sekarang, al-Ghazali mempertanyakan, manakah yang lebih berhak disebut cahaya, apakah cahaya yang merupakan hasil pinjaman dari yang lain ataukah yang bercahaya dengan sendirinya sekaligus memberi cahaya pada setiap yang lainnya?. Maka jelaslah menurutnya, bahwa yang paling berhak disebut cahaya hanyalah cahaya yang paling jauh dan tertinggi, yang tidak ada lagi cahaya di atasnya dan darinya terpancarlah cahaya-cahaya menuju lainnya. Sampai sini, jelaslah penafsiran al-Ghazali atas ayat di atas, bahwa “Allah adalah cahaya langit dan bumi.” Perumpamaan Misykat, Pelita, Kaca, Pohon, Minyak dan Api Dalam menjelaskan perumpamaan di atas, al-Ghazali pertama-tama mengajukan dua pokok pembahasan. Pertama, penjelasan tentang rahasia perumpamaan, metode, dan sistematika makna-makna yang dikemas dalam bentuk perumpamaan itu. Dan menyangkut relevansi alam syahadah sebagai materi perumpamaan dengan alam malakut, yang dari alam itu ruh-ruh turun. Kedua, penjelasan tentang tingkatan ruh manusiawi dan derajat cahayanya. Perumpamaan tersebut tersirat pada surat al-Nur : 35. Ibn Mas’ud membaca ayat tersebut sebagai berikut : مثل نوره (فى قلب المؤمن) كمشكاة فيها.... “Perumpamaan cahaya Allah ( di dalam hati orang-orang mukmin) seperti misykat …” sedangkan Ubay bin Kaab membacanya sebagai berikut : “Perumpamaan cahaya hati orang-orang mukmin seperti misykat di dalamnya…” A. Rahasia Perumpamaan dan Metodenya Al-Ghazali mengatakan bahwa alam ini ada dua macam: alam ruhani dan alam jasmani. Untuk kedua alam ini terdapat banyak peristilahan tetapi maknanya adalah sama. Orang yang telah mencapai alam hakikat, mereka menjadikan makna sebagai pokok, sedangkan istilah hanyalah sebagai pelengkap saja. Di antara kedua alam ini terdapat hubungan. Alam inderawi (jasmani) hanyalah media pendakian ke alam akal (ruhani). Seandainya tidak ada hubungan antara kedua alam ini, niscaya jalan pendakian ke alam akal akan tertutup. Jika media itu tertutup, maka mustahil bagi seseorang untuk berjalan menuju ke hadirat rububiyah dan termasuk pula jalan untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah SWT. Siapa pun tidak akan bisa mendekatkan diri kepada Allah SWT sebelum menginjakkan kakinya di arena hadirat al-quds. Sedangkan hadirat al-quds yang al-Ghazali maksud adalah alam yang tidak dapat disadap oleh indera penglihatan maupun khayalan. Secara global, yang dimaksud dengan hadirat al-quds adalah kawasan di mana tidak ada sesuatu yang keluar darinya, dan tidak ada pula sesuatu yang asing baginya yang masuk ke dalamnya. Al-Ghazali menamakan ini al-ruh al-basyari (ruh manusiawi), yaitu tempat limpahan goresan-goresan kesucian yang disebut al-wadi al-quds (lembah kesucian). Secara majazi, istilah hadirah al-quds ini dapat diartikan dengan ruang kesucian Ilahi. Ketika berbicara tentang Zat Allah berkaitan dengan ayat di atas, al-Ghazali mengatakan bahwa tidak ada perumpamaan bagi Zat, karena Dia Maha Suci dari seluruh bentuk perumpamaan dan kesamaan. Dia adalah Allah Yang Maha Haqq. Hal ini juga seperti yang dikatakan Rasulullah SAW ketika ditanya tentang perumpamaan Allah. Beliau hanya menjawab dengan membacakan surat al-Ikhlas. Begitu pula ketika Nabi Musa as. ditanya oleh Fir’aun tentang hal itu, Nabi Musa hanya menjawab : “Dia adalah Tuhan langit dan bumi”. Dan selanjutnya : “Dia adalah Tuhan kalian dan Tuhan kakek moyang kalian yang terdahulu…”(QS. Ash-Shaffat, 37 : 126). Mengenai perumpamaan ini, al-Ghazali kemudian menyinggung permisalan dalam ta’bir mimpi. Menurutnya, mimpi merupakan bagian dari kenabian. Bermimpi tentang matahari dapat dita’birkan sebagai raja. Penta’biran itu tentunya didasarkan atas persamaan makna (simbol), yaitu kekuasaan yang tinggi dengan memancarkan cahaya pengaruh dan wibawanya di depan rakyat. Bulan diartikan sebagai seorang menteri, karena ketika matahari tidak tampak, dia limpahkan cahayanya kepada bulan untuk memberikan sinarnya ke bumi. Sang raja melimpahkan tugasnya kepada para menterinya untuk disampaikan kepada rakyatnya. Dan masih banyak lagi ta’bir mimpi yang lain, yang itu semua artinya bahwa dari alam ruhani yang tinggi itu terdapat perumpamaan-perumpamaan, yang darinya memancar percikan ma’rifat dan mukasyafah (keterbukaan tabir kegaiban secara spiritual) ke dalam kalbu insani. B. Tingkatan Cahaya Manusia Untuk Memahami Ilustrasi Dalam Al-Qur’an Dalam membahas tingkatan cahaya manusia ini, al-Ghazali membedakannya menjadi lima macam. Pertama, ruh inderawi, yaitu ruh yang dapat menyadap segala sesuatu yang ditranfer oleh panca indera. Kedua, ruh khayal (ruh imajinatif), yaitu ruh yang merekam informasi yang disampaikan oleh panca indera, kemudian menyimpannya, selanjutnya dikirim ke ruh akal di saat membutuhkannya. Ketiga, ruh aqli, yaitu ruh yang dapat menyadap makna-makna di luar indera dan khayal. Ruh ini merupakan substansi manusiawi yang tidak dimiliki oleh hewan, bayi, atau anak kecil. Keempat, ruh fikri (ruh pemikiran), yaitu ruh yang mengambil ilmu-ilmu akal murni. Dan kelima, ruh al-quds al-nabawi (ruh suci kenabian), yaitu ruh yang khusus dimiliki oleh para Nabi dan sebagian para wali. Di dalam ruh ini tersingkaplah lauh-lauh (catatan-catatan) gaib, terbuka pula hukum-hukum akhirat, pengetahuan-pengetahuan tentang kerajaan langit dan bumi, bahkan terbuka pula pengetahuan-pengetahuan rabbani (tentang ketuhanan), yang semua itu tidak dapat terjangkau oleh kemampuan akal dan pemikiran. Pengertian Allah Adalah Cahaya Langit dan Bumi Semua (kelima) macam ruh di atas adalah cahaya-cahaya, sebab dengan cahaya itu segala sesuatu menjadi kelihatan. Dan kelima ruh tersebut oleh al-Ghazali diperbandingkan dengan misykat, kaca (zujajah), pelita (mishbah), pohon (sajarah), dan minyak (zaitun). Pertama, tentang ruh inderawi, bila dilihat dari keistimewaannya, akan ditemukan cahayanya yang keluar dari berbagai celah seperti mata, telinga, hidung, den sebagainya. Karena itu perumpamaannya yang paling tepat baginya di alam kasat mata adalah Misykat. Kedua, tentang ruh khayali, memiliki tiga sifat: 1). Ia berasal dari materi alam rendah yang pekat, 2). Khayal yang pekat ini bila dijernihkan, diperhalus, dan dirapikan akan mendekati batas makna yang hanya dapat ditangkap oleh daya akal, sehingga hampir menyamainya dan tidak menghalangi pancaran cahaya darinya, 3). Khayal itu pada dasarnya sangat dibutuhkan untuk membuat sistematika ilmu pengetahuan, agar tidak goyah, tidak terombang ambing, dan tidak berantakan. Ketiga ciri khas ini tidak akan ditemui perumpamaannya pada benda apa pun di alam kasat mata, dalam hubungannya “kaca yang melihat”, kecuali pada ‘kaca’ (zujajah). Ketiga, tentang ruh aqli, yang berfungsi untuk menangkap makna-makna mulia Ilahiyah. Maka perumpamaanya adalah ‘Pelita’ (Mishbah). Dari penjelasan yang lalu ditemukan alasan kenapa para Nabi itu disebut sebagai siraj al-munir (Pelita penerang). Keempat, tentang ruh fikri, dimana di antara ciri khasnya adalah ia tumbuh dari ‘satu’ kemudian bercabang menjadi ‘dua’, dan masing-masing keduanya bercabang-cabang lagi, begitu seterusnya, sehingga menjadi banyak. Setelah itu cabang-cabang itu membuahkan benih baru untuk ditanam menjadi pohon serupa. Dengan demikian perumpamaan ruh fikr (pemikiran) yang paling tepat di alam kasat mata ini adalah “Pohon” (Sajarah). Dan pohon yang paling tepat adalah pohon zaitun, yang minyaknya dapat dijadikan bahan bakar untuk menyalakan pelita. Di samping itu minyak zaitun memiliki keistimewaan, yakni cahaya yang ditimbulkan lebih terang daripada minyak lainnya. Jika pohon yang banyak buahnya dinamakan dengan pohon berkah, maka pohon zaitun yang sangat banyak buahnya lebih tepat dinamakan pohon ‘penuh berkah’, atau ‘pohon yang diberkahi’. Dan bila cabang dari akal pikiran murni tidak dapat dikaitkan dengan arah dekat atau jauh, berarti cabang pikiran itu tidak di timur dan juga tidak di barat. Kelima, tentang ruh kenabian, yang dihubungkan dengan para nabi dan wali, yakni ketika ruh ini dalam kondisi puncak kebenderangan dan kejernihan. Ruh pikiran ini ada dua macam, yaitu : 1). Ruh pikiran yang memerlukan pengajaran, rangsangan, dan motivasi dari luar, agar tetap berkembang menuju ilmu pengetahuan, dan 2). Ruh pikiran yang mampu mengembangkan diri tanpa bantuan dari luar. Bagi ruh pikiran murni yang memiliki kesiapan yang kuat, digambarkan seperti minyaknya saja bercahaya walaupun tidak tersentuh api. Sebab di antara para wali ada juga yang nyaris bercahaya dengan sendirinya, sehingga seakan-akan tidak memerlukan bantuan dari para Nabi. Demikian juga di antara para nabi ada yang hampir tidak membutuhkan bantuan malaikat. Begitulah perumpamaan “Minyak” (Zaitun) ini sangat sesuai dengan ruh seperti dibahas tadi. Menurut al-Ghazali, jika cahaya ini membentuk sistem, maka cahaya inderawi menduduki posisi pertama dan menjadi mukaddimah bagi cahaya khayali, begitulah seterusnya sampai pada cahaya fikri (pemikiran) dan cahaya akal. Dengan demikian tepat sekali bila “kaca” (semprong) dijadikan tempat bagi pelita (lampu), dan misykat (ceruk) itu sebagai tempat kaca. Jelasnya, pelita itu berada di dalam kaca dan kaca berada di dalam misykat. Jika semua itu dinamakan cahaya-cahaya, dimana cahaya yang satu berada di atas cahaya lainnya, maka itulah yang dimaksudkan dengan ilustrasi Cahaya di atas cahaya. Demikianlah penafsiran sang sufi agung yang sudah mencapai tingkat hakikat. Sehingga ia mampu menyibak tirai hijab, menguak rahasia terdalam, dan membuka pintu pengetahuan yang tersirat dari al-Qur’an surat an-Nur : 35 ini. Walaupun beliau sendiri mengatakan bahwa penjelasan yang ada dalam kitab ini tidaklah mampu menguak semua misteri hakikat, tetapi paling tidak, beliau dengan karyanya ini telah mampu memperkenalkan gambaran-gambaran alam hakikat dan mengantarkan kita ke gerbang lautan Kerajaan Ilahi yang tak bertepi. Subhanallah. Wallahu a’lam bi al-shawab.
Read more at: http://alifbraja.blogspot.com/2012/10/penafsiran-sufi-atas-ayat-cahaya.html
Copyright © ALIFBRAJA|alifbraja.blogspot.com Under Common Share Alike Atribution
Read more at: http://alifbraja.blogspot.com/2012/10/penafsiran-sufi-atas-ayat-cahaya.html
Copyright © ALIFBRAJA|alifbraja.blogspot.com Under Common Share Alike Atribution
Copyright © ALIFBRAJA|alifbraja.blogspot.com Under Common Share Alike Atribution
Tidak ada komentar:
Posting Komentar