Sabtu, 14 Desember 2013
As Samh bin Al Malik Al Khulwani
As-Samh bin Malik Al-Khaulani (Arab: السمح بن مالك الخولاني) adalah seorang wali (gubernur) dan jenderal Arab di provinsi Al-Andalus (sekarang Iberia) milik Kekhalifahan Umayyah, menjabat sejak tahun 718 hingga 721.
Pada masa pemerintahannya, ia memimpin serangan umat Muslim ke Perancis selatan pada awal abad ke-8. Ia memimpin pasukannya dengan sukses, dan mengepung berbagai kota Perancis termasuk Narbonne, Béziers, Agde, Lodève, Maguelonne (Montpellier) dan Nîmes. Lalu ia kembali ke Spanyol untuk mengumpulkan lebih banyak pasukan, sebelum menyerang kota Kristen Toulouseyang memiliki pertahanan kuat.
Ia kembali ke Perancis dengan tentara berjumlah lebih dari 375.000 orang,[rujukan?] terdiri dari senjata pengepungan, infanteri, kavaleri dan pasukan bayaran. Pengepungan terhadap Toulouse,
yang memiliki tembok yang amat kuat, berjalan hingga awal musim panas.
Pihak bertahan di Toulouse mulai kekurangan perbekalan dan hampir saja
terkalahkan, namun pada 9 Juni 721 Eudes Agung,
adipati Aquitane, datang dengan pasukan yang besar, menyerang pasukan
As-Samh dari belakang, dan melakukan manuver pengepungan dengan sukses.
Bagian pertempuran yang menentukan pun dimulai. As-Samh terjepit di
antara pasukan Toulouse dan Eudes, dan mencoba melepaskan diri, namun
gagal dan terjebak di temoat yang bernama Ballat.
Disinilah As-Samh memutuskan untuk bertempur hingga orang terakhir, dan
akhirnya pasukan Kristen berhasil menghancurkan pasukan As-Samh.
As-Samh sendiri terluka berat dan meninggal tak lama sesudahnya.
Kamis, 12 Desember 2013
Penyakit-Penyakit Hati
أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً
إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ
الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ
“….Perhatikanlah sesungguhnya di dalam
tubuh manusia itu ada sekerat daging, jika sekerat daging itu baik, maka
baiklah seluruh tubuh itu. Dan jika sekerat daging itu rusak, maka
rusaklah seluruh tubuh, ketahuilah ! yang sekerat itu adalah hati.” (H.R
Imam Bukhori & Muslim)
Hati adalah tuan dan rajanya seluruh
anggota dan merupakan sumbernya keimanan serta akhlak dan niat yang
tercela ataupun terpuji. Dan tidak akan bahagia kehidupan seseorang di
dunia dan di akhirat kecuali dengan membersihkan dan mensucikan hati itu
dari kejahatan-kejahatannya dankehinaannya, serta menghiasinya dengan
kebaikan –kebaikan dan keutamaan-keutamaan.
Akhlak yang tercela dan sifat yang terkutuk di dalam hati itu banyak
sekali, demikian juga akhlak yang terpuji serta sifat yang baik-baik
yang sebaiknya bagi setiap orang mu’min agar menghiasi hatinya dengan
hal-hal tersebut.
Ketahuilah bahwa sifat-sifat yang tercela di dalam hati itu merupakan penyakit baginya dan kadang-kadang menyebabkan kebinasaan di dunia dan di akhirat. Maka setiap mu’min tetap perlu mengobati hatinya dan tidak boleh tidak baginya harus berusaha untuk menyehatkan hatinya, sebab tidak akan selamat di akhirat kecuali yang menghadap Allah dengan hati yang selamat.
Untuk menyelamatkan hati dari penyakit-penyakit yang membinasakan itu, orang mu’min wajib membersihkan hati itu dari ragu-ragu terhadap Allah dan Rasul-Nya dan Akhirat, karena syak (ragu-ragu) itu adalah penyakit hati yang paling berbahaya terutama ketika menghadapi kematian yang kadang-kadang menyebabkan su’ul khotimah.
Penyakit ragu ini kadang-kadang
merupakan musibah bagi sebagian orang. Maka tidak boleh bagi orang yang
yang terdapat di dalam hatinya keragu-raguan tersebut yang menyebabkan
menghadap Allah dalam keadaan ragu-ragu.
Maka wajib bagi orang mu’min untuk bersungguh-sungguh menghilangkan
keragu-raguan terhadap Allah dan Rasulnya serta akhirat dari lubuk
hatinya dengan sekuat tenaga.
Sesuatu yang paling manfaat untuk
menghilangkan keragu-raguan itu ialah “Bertanya kepada Ulama yang ‘arif
billah, yang benar-benar ahli dalam agama Allah serta zuhud terhadap
dunia .”
Jika tidak mendapatkan ulama yang demikian, maka hendaklah mempelajari
kitab-kitabnya yang dikarang oleh beliau-beliau itu dalam hal ilmu
Tauhid dan keimanan yang benar.
Termasuk penyakit hati yang berat adalah Sombong, itu adalah sifat syetan : Allah SWT berfirman :
(وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ أَبَىٰ وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ) ,[Surat Al-Baqarah : 34
(لَا جَرَمَ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا
يُسِرُّونَ وَمَا يُعْلِنُونَ ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْتَكْبِرِينَ)
[Surat An-Nahl : 23],Allah SWT berfirman yang artinya “Orang yang
sombong itu dibenci oleh Allah SWT”
Sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang yang berlagak dan bermegah-megah, karena berlagak dan bermegah-megah itu termasuk sifat orang yang sombong. Orang yang sombong dicap hatinya oleh Allah untuk tidak dapat ta’at kepada-Nya.
Sebagaimana firman Allah SWT : (الَّذِينَ يُجَادِلُونَ فِي آيَاتِ اللَّهِ بِغَيْرِ سُلْطَانٍ أَتَاهُمْ ۖ كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ وَعِنْدَ الَّذِينَ آمَنُوا ۚ كَذَٰلِكَ يَطْبَعُ اللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ قَلْبِ مُتَكَبِّرٍ جَبَّارٍ) [Surat Ghafir : 35] yang artinya : “Demikianlah Allah mengecap hati setiap orang yang sombong serta dzolim”
Orang yang sombong itu dipalingkan hatinya dari ayat-ayat Allah, sebagaimana firman Allah Ta’ala berfirman :
(سَأَصْرِفُ عَنْ آيَاتِيَ الَّذِينَ يَتَكَبَّرُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَإِنْ يَرَوْا كُلَّ آيَةٍ لَا يُؤْمِنُوا بِهَا وَإِنْ يَرَوْا سَبِيلَ الرُّشْدِ لَا يَتَّخِذُوهُ سَبِيلًا وَإِنْ يَرَوْا سَبِيلَ الْغَيِّ يَتَّخِذُوهُ سَبِيلًا ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا وَكَانُوا عَنْهَا غَافِلِينَ) [Surat Al-Araf : 146]) “Kami akan memalingkan hati orang-orang yang sombong di bumi ini dari ayat-ayat kami dan tidak mau menerima kebenaran
Firman Allah dalam hadits Qudsi :
“Kebesaran adalah selendangKU, dan keagungan adalah kainKU, maka barang
siapa yang merebut dari padaKU salah satu dari keduanya, pasti AKU
lemparkan ia ke dalam neraka.”
Sabda Rasulullah SAW : “Orang-orang yang sombong akan dikumpulkan di
padang mahsyar pada hari kiamat sekecil debu dalam bentuk manusia
tertimpa kehinaan dari segala arah.”
Dan bersabda Rasulullah SAW:
“Barangsiapa mengagungkan dirinya dan bertingkah dalam jalannya, ia akan
menemui Allah dan Allah murka kepadanya.”
Bersabda Rasulullah SAW (mengenai Qorun) “ketika dia bergaya dengan
pakaiannya karena membanggakan diri, tiba-tiba Allah membenamkan dia ke
dalam bumi, maka dia meronta-rnta di dalamnya sampai hari kiamat.”
Tersebut dalam hadits pula : “Tidak akan
masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat seberat biji yang
kecil dari kesombongan. Bertanya seorang sahabat: “Wahai Rasulullah
orang-orang senang jika pakaiannya bagus, sandalnya bagus (Apakah ia
termasuk orang yang sombong?) Jawab Rasulullah SAW : “Sesungguhnya Allah
SWT indah dan senang kepada keindahan.”
Sombong itu adalah menolak kebenaran dan menghinakan orang lain, maka
barangsiapa yang mengagungkan dirinya dan bermegah-megah serta
meremehkan/menganggap kecil orang lain, maka ia adalah orang yang
sombong yang dikutuk oleh Allah SWT
Sesungguhnya sombong itu adanya di dalam hati, tetap ada ciri-cirinya yang terlihat yaitu :
• Senang menonjolkan diri diantara orang lain dan menampakkan
ketinggiannya atas mereka yang senang tampil di dalam pergaulan dari
cara berjalannya,
• tidak mau dibantah pembicaraannya walaupun salah dan tidak dapat
diterima, dan meremehkan orang-orang Islam yang lemah dan miskin.
• Merasa dirinya suci dan memuji dirinya dan membanggakan nenek
moyangnya dari ulama-ulama dan orang yang utama dan bermegah-megah
dengan keturunan.
“Barangsiapa yang membanggakan diri kepada orang lain dengan keturunannya dan nenek moyangnya, maka hilanglah keberkahan nenek moyangnya bagi dia. Karena nenek moyangnya itu bukanlah orang-orang yang suka bermegah-megah dan menyombongkan diri kepada orang lain. Kalo mereka berbuat demikian niscaya tidak ada keutamaannya.
Bersabda Rasulullah SAW : “Barangsiapa yang lambat amalnya tidak akan dipercepat oleh nasabnya.”
Dan Sabdanya pula : “Wahai Fatimah binti Rasulullah, aku tidak berguna
bagi di sisi Allah sediktpun, selamatkanlah diri kalian dari api
neraka…” ….terusannya, ” Tidak lebih unggul orang yang berkulit merah
dari pada orang yang berkulit hitam, dan juga tidak lebih unggul orang
arab, kecuali dengan taqwanya terhadap Allah. Kalian berasal dari Nabi
Adam dan Nabi Adam adalah dari tanah.”
Dan bersabda Rasulullah SAW : “Niscaya orang-orang akan berhenti dari
membanggakan keturunannya ataukah akan lebih hina di sisi Allah daripada
kecoa”
Keutamaan dan kemulyaan adalah dengan taqwa bukan dengan keturunan sebagaimana firman Allah SWT :
(يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ) : (Q.S Al-Hujurat 49:13),yang artinya : “ Sesungguhnya yang paling diantara kalian di sisi Allah adalah yang paling taqwa diantara kalian”
Walaupun orang Itu termasuk yang paling
taqwa, dan paling berilmu, dan paling beribadah kemudian ia sombong
terhadap orang lain dan membanggakan diri, niscaya ALLAH menggugurkan
taqwanya dan membatalkan ibadahnya, apalagi sebaliknya merupakan
kebodohan yang sangat besar dan kedunguan yang sangat parah.
Kebaikan itu seluruhnya ada pada sifat Tawadlu, khusyu dan merendahkan
diri kepada Allah SWT. Sabda Rasulullah SAW : “Barangsiapa yang tawadlu,
pasti diangkat derajatnya oleh Allah SWT dan barangsiapa yang sombong
akan dihinakan oleh Allah SWT”
(Sumber : Kitab Nashoihud Diniyyah)
Mbah Dullah Waliyullah Kaya Raya
Bagi
warga Nahdliyin siapa yang tak kenal Mbah Dullah Salam, Kajen? Beliau
dikenal sebagai waliyullah yang kaya raya. Berikut penuturan Simbah
Kakung Mustofa Bisri dalam artikelnya.
Berkenaan dengan haul Simbah KH.
Abdullah Salam Kajen, rahimahuLlah, aku turunkan kembali tulisanku saat
itu. Saat kudengar kepulangan orang hebat ini ke hadirat Ilahi 25
Sya’ban 1422. Mudah-mudahan ada manfaatnya.
MBAH DULLAH
Di Surabaya, dalam perjalanan pulang dari
Jember, saya mendapat telpon dari anak saya bahwa Mbah Dullah, KH.
Abdullah Salam Kajen, telah pulang ke rahamtuLlah. Innaa liLlahi wainnaa ilaiHi raaji’uun! Dikabarkan juga, berdasarkan wasiat almarhum walmaghfurlah, jenazah beliau akan langsung dikebumikan sore hari itu juga.
SubhanaLlah! Selalu saja setiap
kali ada tokoh langka yang dicintai banyak orang meninggal, saya merasa
seperti anak-anak yang terpukul, lalu hati kecil bicara yang
tidak-tidak. Seperti kemarin itu ketika mendengar Mbah Dullah wafat,
secara spontan hati kecil saya ‘gerundel’: “Mengapa bukan
koruptor dan tokoh-tokoh jahat yang sibuk pamer gagah tanpa mempedulikan
kepentingan orang banyak itu yang dicabut nyawanya? Mengapa justru
orang baik yang dicintai masyarakat seperti mbah Dullah yang dipanggil?”
Astaghfirullah!
Sepanjang perjalanan itu pun saya terus
diam dengan pikiran mengembara. Kenangan demi kenangan tentang pribadi
mulia mbah Dullah, kembali melela bagai gambar hidup.
Berperawakan gagah. Hidung mancung. Mata
menyorot tajam. Kumis dan jenggotnya yang putih perak, menambah
wibawanya. Hampir selalu tampil dengan pakaian putih-putih bersih,
menyempurnakan kebersihan raut mukanya yang sedap dipandang.
Melihat penampilan dan rumahnya yang tidak lebih baik dari gotakan tempat
tinggal santri-santrinya, mungkin orang akan menganggapnya miskin; atau
minimal tidak kaya. Tapi tengoklah; setiap minggu sekali pengajiannya
diikuti oleh ribuan orang dari berbagai penjuru dan … semuanya disuguh
makan.
Selain pengajian-pengajian itu, setiap
hari beliau menerima tamu dari berbagai kalangan yang rata-rata membawa
masalah untuk dimintakan pemecahannya. Mulai dari persoalan keluarga,
ekonomi, hingga yang berkaitan dengan politik. Bahkan pedagang akik dan
minyak pun beliau terima dan beliau ‘beri berkah’ dengan membeli
dagangan mereka.
Ketika beliau masih menjadi pengurus
(Syuriah) NU, aktifnya melebihi yang muda-muda. Seingat saya, beliau
tidak pernah absen menghadiri musyawarah semacam Bahtsul masaail, pembahasan
masalah-masalah yang berkaitan dengan agama, yang diselenggarakan
wilayah maupun cabang. Pada saat pembukaan muktamar ke 28 di Situbondo,
panitia meminta beliau –atas usul kiai Syahid Kemadu—untuk membuka
Muktamar dengan memimpin membaca Fatihah 41 kali. Dan beliau jalan kaki
dari tempat parkir yang begitu jauh ke tempat sidang, semata-mata agar
tidak menyusahkan panitia.
Semasa kondisi tubuh beliau masih kuat,
beliau juga melayani undangan dari berbagai daerah untuk memimpin
khataman Quran, menikahkan orang, memimpin doa, dsb.
Ketika kondisi beliau sudah tidak begitu kuat, orang-orang pun menyelenggarakan acaranya di rumah beliau. Saya pernah kebetulan sowan, agak kaget di rumah beliau ternyata banyak sekali orang. Belakangan saya ketahui bahwa Mbah Dullah sedang punya gawe. Menikahkan tiga pasang calon pengantin dari berbagai daerah.
Mbah Dullah, begitu orang memanggil kiai sepuh haamilul Qur’an ini,
meskipun sangat disegani dan dihormati termasuk oleh kalangan ulama
sendiri, beliau termasuk kiai yang menyukai musyawarah. Beliau bersedia
mendengarkan bahkan tak segan-segan meminta pendapat orang, termasuk
dari kalangan yang lebih muda. Beliau rela meminjamkan telinganya hingga
untuk sekedar menampung pembicaraan-pembicaraan sepele orang awam. Ini
adalah bagian dari sifat tawaduk dan kedermawanan beliau yang sudah
diketahui banyak orang.
Tawaduk atau rendah hati dan kedermawanan
adalah sikap yang hanya bisa dijalani oleh mereka yang kuat lahir
batin, seperti Mbah Dullah. Mereka yang mempunyai (sedikit) kelebihan,
jarang yang mampu melakukannya. Mempunyai sedikit kelebihan, apakah itu
berupa kekuatan, kekuasaan, kekayaan, atau ilmu pengetahuan, biasanya
membuat orang cenderung arogan atau minimal tak mau direndahkan.
Rendah hati berbeda dengan rendah diri.
Berbeda dengan rendah hati yang muncul dari pribadi yang kuat, rendah
diri muncul dari kelemahan. Mbah Dullah adalah pribadi yang kuat dan
gagah luar dalam. Kekuatan beliau ditopang oleh kekayaan lahir dan
terutama batin. Itu sebabnya, disamping dermawan dan suka memberi, Mbah
Dullah termasuk salah satu –kalau tidak malah satu-satunya – kiai yang
tidak mudah menerima bantuan atau pemberian orang, apalagi sampai
meminta. Pantangan. Seolah-olah beliau memang tidak membutuhkan apa-apa
dari orang lain. Bukankah ini yang namanya kaya?
Ya, mbah Dullah adalah tokoh yang mulai
langka di zaman ini. Tokoh yang hidupnya seolah-olah diwakafkan untuk
masyarakat. Bukan saja karena beliau punya pesantren dan madrasah yang
sangat berkualitas; lebih dari itu sepanjang hidupnya, mbah Dullah tidak
berhenti melayani umat secara langsung maupun melalui organisasi
(Nahdlatul Ulama).
Mungkin banyak orang yang melayani umat,
melalui organanisi atau langsung; tetapi yang dalam hal itu, tidak
mengharap dan tidak mendapat imbalan sebagaimana mbah Dullah, saya rasa
sangat langka saat ini. Melayani bagi mbah Dullah adalah bagian dari
memberi. Dan memberi seolah merupakan kewajiban bagi beliau, sebagaimana
meminta –bahkan sekedar menerima imbalan jasa– merupakan salah satu
pantangan utama beliau.
Beliau tidak hanya memberikan waktunya
untuk santri-santrinya, tapi juga untuk orang-orang awam. Beliau
mempunyai pengajian umum rutin untuk kaum pria dan untuk kaum perempuan
yang beliau sebut dengan tawadluk sebagai ‘belajar bersana’. Mereka yang
mengaji tidak hanya beliau beri ilmu dan hikmah, tapi juga makan
setelah mengaji.
Pernah ada seorang kaya yang ikut mengaji, berbisik-bisik: “Orang sekian banyaknya yang mengaji kok dikasi makan semua, kan kasihan kiai.” Dan orang ini pun sehabis mengaji menyalami mbah Dullah dengan salam tempel, bersalaman
dengan menyelipkan uang. Spontan mbah Dullah minta untuk diumumkan,
agar jamaah yang mengaji tidak usah bersalaman dengan beliau sehabis
mengaji. “Cukup bersalaman dalam hati saja!” kata beliau. Konon orang
kaya itu kemudian diajak beliau ke rumahnya yang sederhana dan
diperlihatkan tumpukan karung beras yang nyaris menyentuh atap rumah,
“Lihatlah, saya ini kaya!” kata beliau kepada tamunya itu.
Memang hanya hamba yang fakir ilaLlah-lah, seperti mbah Dullah, yang sebenar-benar kaya.
Kisah lain; pernah suatu hari datang
menghadap beliau, seseorang dari luar daerah dengan membawa segepok uang
ratusan ribu. Uang itu disodorkan kepada mbah Dullah sambil berkata:
“Terimalah ini, mbah, sedekah kami ala kadarnya.”
“Di tempat Sampeyan apa sudah tak ada lagi orang faqir?” tanya mbah Dullah tanpa sedikit pun melihat tumpukan uang yang disodorkan tamunya, “kok Sampeyan repot-repot membawa sedekah kemari?”
“Orang-orang faqir di tempat saya sudah kebagian semua, mbah; semua sudah saya beri.”
“Apa Sampeyan menganggap saya ini orang faqir?” tanya mbah Dullah.
“Ya enggak, mbah …” jawab si tamu
terbata-bata. Belum lagi selesai bicaranya, mbah Dullah sudah menukas
dengan suara penuh wibawa: “Kalau begitu, Sampeyan bawa kembali uang Sampeyan. Berikan kepada orang faqir yang memerlukannya!”
Kisah yang beredar tentang ‘sikap kaya’ mbah Dullah semacam itu sangat banyak dan masyhur di kalangan masyarakat daerahnya.
Mbah Dullah ‘memiliki’, di samping
pesantren, madrasah yang didirikan bersama rekan-rekannya para kiai
setempat. Madrasah ini sangat terkenal dan berpengaruh; termasuk –kalau
tidak satu-satunya— madrasah yang benar-benar mandiri dengan pengertian
yang sesungguhnya dalam segala hal.
32 tahun pemerintah orde baru tak mampu
menyentuhkan bantuan apa pun ke madrasah ini. Orientasi keilmuan
madrasah ini pun tak tergoyahkan hingga kini. Mereka yang akan sekolah
dengan niat mencari ijazah atau kepentingan-kepentingan di luar
‘menghilangkan kebodohan’, jangan coba-coba memasuki madrasah ini.
Ini bukan berarti madrasahnya itu tidak
menerima pembaruan dan melawan perkembangan zaman. Sama sekali. Seperti
umumnya ulama pesantren, beliau berpegang kepada ‘Al-Muhaafadhatu ‘alal qadiemis shaalih wal akhdzu bil jadiedil ashlah’, Memelihara yang lama yang relevan dan mengambil yang baru yang
lebih relevan. Hal ini bisa dilihat dari kurikulum, sylabus, dan
matapelajaran-matapelajaran yang diajarkan yang disesuaikan dengan
kebutuhan zaman.
Singkat kata, sebagai madrasah tempat
belajar, madrasah mbah Dullah mungkin sama saja dengan yang lain. Yang
membedakan ialah karakternya.
Agaknya mbah Dullah –rahimahuLlah —
melalui teladan dan sentuhannya kepada pesantren dan madrasahnya, ingin
mencetak manusia-manusia yang kuat ‘dari dalam’; yang gagah ‘dari
dalam’; yang kaya ‘dari dalam’; sebagaimana beliau sendiri. Manusia yang
berani berdiri sendiri sebagai khalifah dan hanya tunduk menyerah
sebagai hamba kepada Allah SWT.
Bila benar; inilah perjuang yang luar
biasa berat. Betapa tidak? Kecenderungan manusia di akhir zaman ini
justru kebalikan dari yang mungkin menjadi obsesi mbah Dullah. Manusia
masa kini justru seperti cenderung ingin menjadi orang kuat ‘dari luar’;
gagah ‘dari luar’; kaya ‘dari luar’, meski terus miskin di dalam.
Orang menganggap dirinya kuat bila
memiliki sarana-sarana dan orang-orang di luar dirinya yang memperkuat;
meski bila dilucuti dari semua itu menjadi lebih lemah dari makhluk
yang paling lemah. Orang menganggap dirinya gagah bila mengenakan baju
gagah; meski bila ditelanjangi tak lebih dari kucing kurap. Orang
menganggap dirinya kaya karena merasa memiliki harta berlimpah; meski
setiap saat terus merasa kekurangan.
Waba’du; sayang sekali jarang orang yang
dapat menangkap kelebihan mbah Dullah yang langka itu. Bahkan yang
banyak justru mereka yang menganggap dan memujanya sebagai wali yang
memiliki keistimewaan khariqul ‘aadah. Dapat melihat hal-hal
yang ghaib; dapat bicara dengan orang-orang yang sudah meninggal; dapat
menyembuhkan segala penyakit; dsb. dst. Lalu karenanya, memperlakukan
orang mulia itu sekedar semacam dukun saja. Masya Allah!
Ke-’wali’-an Mbah Dullah –waLlahu a’lam–
justru karena sepanjang hidupnya, beliau berusaha –dan membuktikan
sejauh mungkin– melaksanakan ajaran dan keteladanan pemimpin agungnya,
Muhammad SAW, terutama dalam sikap, perilaku, dan kegiatan-kegiatan
beliau; baik yang berhubungan dengan Allah maupun dengan sesama
hambaNya.
Begitulah; Mbah Dullah yang selalu
memberikan keteduhan itu telah meninggalkan kita di dunia yang semakin
panas ini. Beliau sengaja berwasiat untuk segera dimakamkan apabila
meninggal. Agaknya beliau, seperti saat hidup, tidak ingin menyusahkan
atau merepotkan orang. Atau, siapa tahu, kerinduannya sudah tak
tertahankan untuk menghadap Khaliqnya.
Dan Ahad, 25 Sya’ban 1422 / 11 November
2001 sore, ketika Mbah Dullah dipanggil ke rahmatuLlah, wasiat beliau
pun dilaksanakan. Beliau dikebumikan sore itu juga di dekat surau
sederhananya di Polgarut Kajen Pati.
“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah
kepada Tuhanmu dengan rida dan diridai, masuklah ke dalam golongan
hamba-hamba-sejatiKu, dan masuklah ke dalam sorgaKu!”
Selamat jalan, Mbah Dullah! AnnasakumuLlah ilaa yaumi yub’atsuun!
Dikutip dari kumpulan artikel Simbah Kakung Mustofa Bisri, Rembang, Jawa Tengah
Neosufisme Di Kalangan Pengusaha Muslim Indonesia
oleh Mas Say LarosAkhir-akhir ini kajian tentang tasawuf mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Perlahan tapi pasti, tasawuf mulai diterima hamper seluruh kalangan masyarakat khususnya di indonesia.Dan pembahasan mengenai tasawuf ini bukan menjadi sesuatu hal yang kontroversial bagi sebagian umat Islam seperti beberapa abad silam, ketika para sufi banyak yang dianggap menyimpang.Fenomena yang terjadi seperti ini mengindikasikan cara keberagamaan masyarakat yang sudah mulai beralih ke cara sufistik.
Tasawuf sebagai segi batin agama —
sementara segi lahirnya disebut syari’ah — adalah bidang ilmu keislaman
yang bisa dibagi dalam tiga bagian: tasawuf akhlaqi, tasawuf amali dan
tasawuf falsafi. Tasawuf akhlaqi ialah ajaran akhlak dalam kehidupan
sehari-hari guna memperoleh kebahagiaan yang optimal. Tasawuf akhlaqi
meliputi tahalli (penyucian diri dari sifat-sifat tercela, menghiasi dan
membiasakan diri dengan sikap terpuji) dan tajalli, yaitu tersingkapnya
Nur Ilahi.
Kerinduan pada spiritualisme tampaknya
melanda beberapa masyarakat yang terhitung terdidik secara
modern.Dimensi batin ini dalam fitrahnya memang membutuhkan semacam
terapi dalam menghadapi akumulasi kejenuhan dan kekeringan jiwa. Hal
inilah yang antara lain memunculkan tuntutan terhadap pentingnya
spiritualisme. Salah satunya adalah melalui tasawuf.
Dengan banyaknya orang yang mulai melirik
ajaran tasawuf ini khususnya dikalangan pengusaha muslim
mengindikasikan bahwa Neosufisme sudah merasuki jiwa-jiwa entrepreneur
muslim saat ini.Lalu,Bagaimana implementasi neosufisme ini didalam
tataran bisnis yang islami?Oleh karena itu melalui tulisan ini saya
ingin menyampaikan betapa pentingnya penerapan Neosufisme dalam
kehidupan sehari-hari khususnya dunia bisnis.
Pengertian Neo-Sufisme
Neo-sufisme lebih menekankan manusia pada
aspek rekonstruksi moral sosial masyarakat. Sufisme merupakan terapi
yang efektif untuk membuat orang lebih manusiawi pula. Menjalani sufisme
bukan berarti meninggalkan dunia. Tetapi, menjalani sufisme justru
meletakkan nilai yang tinggi pada dunia dan memandang dunia sebagai
media meraih spiritualitas yang sempurna.
Pada hakekatnya Neo-sufisme berarti paham
tasawuf baru, atau menurut istilah Fazlurrahman, tasawuf yang
diperbaharui untuk menyebut paham tasawuf para ahli hadits yang puritan,
terutama tasawuf Ibnu Taimiyah dan muridnya, ibnu Al-Qayum Al-Jauziyah .
Neo-sufisme, dipelopori oleh tokoh salaf,
Ibnu Taimiyah. Meskipun ia menentang berbagai praktek sufi, terutama
kultus individu, namun Ibnu Taimiyah justru mengadopsi metode yang
mereka gunakan. Ia meniru cara-cara kaum sufi dalam menjalin komunikasi
yang akrab dengan Allah SWT.
Sebagai ahli hukum Islam, ia berusaha
menyeimbangkan syari’at dan tasawuf. Adapun caranya ialah, berbagai
ragam pengalaman sufistik ia uji dengan pengalaman empirik. Perilaku
eksternal sufi dikonfrontasikan dan diuji dengan merujuk pada aspek
lahiriah ajaran islam. Neo-Sufisme cenderung mengacu pada kehidupan Nabi
SAW secara utuh. Tidak ada dikotomi antar syari’at dan taswuf karena
nabi Muhammad mampu menggabungkan keduanya dalam satu perilaku dan
cermin kehidupan. Tidak ada dikotomi antara filsafat dan tasawuf karena
Nabi membangun pola kehidupan yang merangkum keduanya.
Dalam buku the seculer city Harvey Cox,
pernah memprediksi keruntuhan agama karena modernisme. Tetapi, agaknya
ia segera merubah teorinya, karena ternyata modernisasai sama sekali
tidak melumpuhkan agama. Modernisme justru mengantar mansuia pada jalan
buntu yang menyebabkan mereka berpaling pada nilai-nilai spritual dan
pencarian makna hidup. Fenomena ini diidentifikasi oleh Futrolokg Jhon
Naisbitt dan Patridcia Abordene sebagai kebangkitan agama (spritualisme)
millenium ketiga (Megatrends 2000, h. 254). Dalam islam kebangkitan
spritualisme yang menandai era baru yang disebut Paskahmodernisme itu
timbul antara lain dalam bentuk Neo-Sufisme.
Neo-Sufisme menurut Fazlurrahman memilki beberapa ciri yang membedakan dengan tasawwuf populer :
1. Pertama, Neo-Sufisme, memberikan
pengahargaan positif pada dunia untuk seorang sufi. Menurut paham ini
tidak harus miskin, bahkan boleh kaya. Kesalehan, menurut paham ini
bukan dengan menolak harta dan kekayaan, tatapi mempergunakannya sesuai
petunjuk Allah dan Sunnah Rasul.
2. Kedua, Neo-Sufisme menekankan kesucian moral dan akhlakul karimah sebagai upaya memperkuat iman dan takwa.
3. Ketiga, dalam Neo-Sufisme terdapat aktivitas dan dinamika baik dalam berpikir maupun dalam bertindak.
Neo-Sufisme tetap menghendaki penghayatan
esoterisme yang mendalam, tetapi tidak dengan mengasingkan diri
(uzlah), melainkan tetap aktif melibatkan diri dalam masyarakat. Selain
sebagai olah rohani, tasawuf klasik berperan melancarkan gerakan oposisi
keagamaan (pious opposition) terhadap praktik-praktik penindasan.
Sejarah Lahirnya Neo-Sufisme
Sebagaimana dengan perjalanan tasawuf
klasik sebagai cikal bakal neo-sufisme diatas, maka dalam
perkembangannya tasawuf terutama pada abad III H, pengaruh eksternal
semakin terasa, antara lain dipengaruhi berbagai macam corak budaya.
Dampak dari hal ini melahirkan dua corak pemikiran tasawuf, yaitu yang
bercorak dengan materi dasarnya bersandar pada Al-Qur’an dan As-Sunnah,
dengan ide gagasan pada pembentukan moralitas, di back up ulama moderat
pada satu sisi, sedang pada sisi lain tasawuf yang bercorak dengan
materi dasarnya banyak bersumber dari filsafat dengan kecendrungan pada
materi hubungan manusia dengan Tuhan, diusung oleh para filosof yang
terkadang mengemukakan paengalaman ekstasik-fananya dan ucapan-ucapan
syatahat ganjil, ditandai banyak pemikiran spekulatif-metafisis, seperti
yang sudah diungkapkan diatas, yaitu al-Hulul, Wahdat Al-Wujud atau
Al-Ittihad atau lainnya.
Sufisme sebagaimana yang telah
diterangkan sebelum ini menempatkan penghayatan keagamaan melalui
pendekatan batiniah. Kesan dari pendekatan esoterik ini adalah
disebabkan kepincangan dalam tindak tanduk nilai-nilai Islam yang lebih
mengutamakan makna batiniah atau ketentuan yang tersirat saja tanpa
memerhatikan juga dari aspek lahiriahnya.
Oleh kerana itu adalah wajar apabila
melalui penonjolan sikap ini, kaum sufi tidak tertarik untuk memikirkan
masalah-masalah sosial kemasyarakatan, bahkan lebih tertumpu ke arah
aspek-aspek peribadatan saja. Dari sudut lain, terdapat pula kelompok
muslimin (bahkan mayoritasnya) yang lebih mengutamakan aspek-aspek
formal–lahiriah ajaran agama melalui pendekatan eksoterik-rasional.
Dalam hal ini, mereka lebih
menitikberatkan perhatian dari aspek-aspek syariah saja sehingga
kelompok ini digelar sebagai kaum lahiriah. Dari banyak usaha percobaan
menyatukan antara dua pandangan yang berbeda orientasi itu, maka
al-Ghazali telah mengutarakan konsep yang dikenal sebagai syariat,
tarekat dan hakikat yang terpadu secara utuh. Dalam hal ini, al-Ghazali
menjelaskan bahwa penghayatan keagamaan harus melalui proses
berperingkat dan berpadu antara syariat dan tasawuf. Sebelum memasuki
dunia tasawuf, seseorang harus terlebih dahulu memahami Syariat, tetapi
untuk dapat memahami Syariat secara benar dan mendalam, harus melalui
proses tarekat.
Tarekat adalah merupakan sistem esoterik
yang akan menghasilkan kualitas pemahaman yang tinggi yang disebut
sebagai hakikat.Usaha rekonsialisasi sufistik ini belum sepenuhnya
berhasil untuk mengembalikan misi dan pesan dasar tasawuf secara total
sebagai pendorong gerakan moral dan ruh Islam yang berkarakter damai dan
harmonis.
Hegemoni lembaga-lembaga tasawuf justru
banyak mengubah dimensi spiritual-moral-sosial kepada dimensi
spiritual-mistik-individual. Namun usaha Ghazali harus diakui sebagai
inspirasi bagi tokoh setelahnya, walaupun Ghazali mempunyai beberapa
kelemahan terutama pada karyanya yang tidak berisi etos sosial dimana
individu menjadi pusat perhatian yang berlebihan, sehingga banyak
diantara pengikut al-Ghazali sendiri dan tarekat pasca al-Ghazali
menyingkir dari dunia sosial dan berpangku tangan dari dinamika sosial,
politik dan kebudayaan masyarakatnya.
Tatkala kondisi dan fenomena ini semakin
melembaga, maka lahirlah kesadaran akan pentingnya membangkitkan kembali
jati diri sufisme yang lebih menekankan dimensi moral umat dengan
merekontruksi sejarah awal dan substansi sufisme. Kesadarana ini
sebagaimana yang diungkapkan Fazlur Rahman dipelopori oleh Ibn Taimiyah,
yang diikuti oleh muridnya Ibn Qayyim al-Jauziyah dan dikembangkan oleh
Fazlur Rahman dengan nama Neo-Sufisme atau sufisme baru.[ Fazlur
Rahman, Islam, terjemahan oleh Ahsin Muhammad (Jakarta : Pustaka
Bandung, 1984), h. 79]
Neo-sufisme secara terminologi pertama
kali ditonjolkan oleh pemikir muslim kontemporer yaitu Fazlur Rahman
dalam bukunya Islam.[ Ibid, 193-194] Kemunculan istilah ini tidak begitu
saja diterima para pemikir muslim, tetapi telah menjadikan perbincangan
yang luas dalam kalangan para ilmuwan. Sebelum Fazlur Rahman, Hamka
telah memperkenalkan istilah tasawuf moden dalam bukunya Tasauf Modern.
Namun dalam dalam karyanya ini tidak ditemui istilah “neo-sufisme” yang
dimaksudkan di sini. Keseluruhan isi buku ini terlihat wujudnya
kesejajaran prinsip-prinsipnya dengan tasawuf al-Ghazali kecuali dalam
hal ‘uzlah. Kalau al-Ghazali mensyaratkan ‘uzlah dalam penjelajahan
menuju konsep hakikat, [ Muhammad al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, Jilid II
(Beirut : Dar al-Ma’rifah, tt), h. 222] maka Hamka menghendaki agar
seseorang pencari kebenaran hakiki tetap aktif dalam berbagai aspek
kehidupan bermasyarakat.[ Hamka, Modern…, h.150-174]
Konsep neo-sufisme oleh Fazlur Rahman
sesungguhnya menghendaki agar umat Islam mampu melakukan tawazun
(keseimbangan) antara pemenuhan kepentingan akhirat dan kepentingan
dunia, serta umat Islam harus mampu meformulasikan ajaran Islam dalam
kehisupan sosial.
Kebangkitan kembali tasawuf di dunia
Islam dengan istilah baru yaitu neo-sufisme nampaknya tidak boleh
dipisahkan dari apa yang disebut sebagai kebangkitan agama. Kebangkitan
ini juga adalah lanjutan kepada penolakan terhadap kepercayaan yang
berlebihan kepada sains dan teknologi selaku produk dari era modenisme.
Modernisme telah dinilai sebagai gagal memberikan kehidupan yang
bermakna kepada manusia. Oleh karena itu ramai manusia telah kembali
kepada nilai-nilai keagamaan kerana salah satu fungsi agama adalah
memberikan makna bagi kehidupan.
Demikianlah, era post-modernisme yang
dibelenggu dengan bermacam-macam krisis yang semakin parah dalam
berbagai aspek kehidupan. Akhlak masyarakat semakin buruk dan kejahatan
semakin banyak. Kebangkitan nilai-nilai keagamaan tidak salah lagi telah
menggerakkan kembali upaya menghidupkan karya-karya klasik dengan
pendekatan baru termasuklah juga dalam bidang tasawuf. Karya-karya dalam
bidang tasawuf yang dihasilkan oleh penulis kontemporari seperti
al-Taftazani menunjukkan adanya garis lurus untuk menegaskan kembali
bahwa tradisi tasawuf tidak pernah lepas dari akar Islam.
Ini menunjukkan bahwa kebangkitan
tasawuf kontemporer ditandai dengan pendekatan yang sangat pesat antara
spiritualisme tasawuf dengan konsep-konsep Syariah. Tasawuf yang dianut
dan dikembangkan oleh sufi kontemporer nampaknya berbeda dari sufisme
yang difahami oleh kebanyakan orang selama ini yaitu sufisme yang hampir
lepas dari akarnya (Islam), cenderung bersifat memisah atau eksklusif.
Menurut mereka, sufisme yang berkembang kebelakangan ini, sebagaimana
dinyatakan oleh Akhbar S Ahmed, pasca-modernisme membawa kita kepada
kesadaran betapa pentingnya nilai keagamaan dan keperluan terhadap
toleransi serta perlunya memahami orang lain yang semuanya terdapat
dalam neosufisme.
Karakteristik Neo-Sufisme
Menurut Fazlur Rahman, neosufisme adalah
“reformed sufism” yang bermaksud sufisme yang telah diperbaharui.[
Rahman, Islam …, h. 196-205] Sekiranya pada era kecemerlangan sufisme
terdahulu aspek yang paling dominan adalah sifat ekstatik-metafisis atau
mistis-filosofis, maka dalam sufisme baru ini ianya digantikan dengan
prinsip-prinsip Islam ortodoks
Neo-sufisme mengalihkan pusat pengamatan
kepada pembinaan semula sosio-moral masyarakat Muslim, sedangkan
sufisme terdahulu didapati lebih bersifat individu dan hampir tidak
melibatkan diri dalam hal-hal kemasyarakatan. Oleh karena itu, karakter
keseluruhan neo-sufisme adalah “puritanis dan aktivis”. Tokoh-tokoh atau
kumpulan yang paling berperanan dalam reformasi sufisme ini juga
merupakan paling bertanggung jawab dalam kristalisasi kebangkitan
neo-sufisme.
Menurut Fazlur Rahman, kumpulan tersebut
adalah kumpulan Ahl al-Hadith.[ Ibid, h. 194] Mereka ini coba untuk
menyesuaikan sebanyak mungkin warisan kaum sufi yang dapat diharmonikan
dengan Islam orthodox terutamanya motif moral sufisme melalui teknik
zikir, muraqabah atau mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Berdasarkan hal tersebut, didapati bahwa
tujuan neo-sufisme cenderung kepada penekanan yang lebih intensif
terhadap memperkukuh iman sesuai dengan prinsip-prinsip akidah Islam dan
penilaian terhadap kehidupan duniawi sama kehidupan ukhrawi.[ Ibid, h.
195] Akibat dari sikap keberagamaan ini menyebabkan wujudnya penyatuan
nilai antara kehidupan duniawi dengan nilai kehidupan ukhrawi atau
kehidupan yang “terresterial” dengan kehidupan yang kosmologis.
Dalam hal ini, al-Qushashi menyatakan
bahawa sufi yang sebenarnya bukanlah yang mengasingkan dirinya dari
masyarakat, tetapi sufi yang tetap aktif di tengah kehidupan masyarakat
dan melakukan al-’amr bi al-ma’ruf wa nahy `an al- munkar (islah) demi
kemajuan dan kesejahteraan masyarakat.[ Ahmad al-Qushashi, al-Simt
al-Majid, (Haiderabad: Da’irat al-Ma`arif al-Zizamiyyah, tt) h. 119-120]
Manakala Sa‘id Ramadan al-Buti pula
mengutarakan konsep Ruhaniyyah al-Ijtima`iyyah atau spiritualisme
sosial. Beliau merupakan penggerak kepada konsep neo-sufisme ini yang
bermarkas di Geneva. Dalam hal ini al-Buti mengecam sikap dan cara hidup
seperti yang digambarkan sufi terdahulu yang sangat mementingkan
ukhrawi, sehingga tersisih daripada kehidupan masyarakat yang menurutnya
itu adalah egois dan pengecut, hanya mementingkan diri sendiri. Sikap
hidup yang benar adalah “tawazun” yaitu keseimbangan dalam diri sendiri
termasuk dalam kehidupan spiritualnya serta kehidupan duniawi dan
ukhrawi.[ Sa`id Ramadan al-Buti, al-Ruhaniyyah al-Ijtima‘iyyah fi
al-Islam, ( Geneva: al-Markaz al-Islam,1965 ) h. 61.]
Adapun cirri-ciri Neo-Sufisme menurut Ahmad Najib Burhani yaitu :
- Tidak mengenal Tarekat
- Inklusif dalam memandang aliran tasawuf bahkan agama lain
- Tidak mengenal guru atau mursyid apalagi guru rohani
- Didominasi kaum terpelajar
Pengikutnya dari kalangan yang bermateri
cukup[ Ahmad Najib Burhani, Sufisme Kota Berpikir Jernih Menemukan
Spiritualis Positif, (Jakarta : Serambi, 2001), h. 13 ]Berdasarkan
beberapa pandangan dan komentar di atas jelas menunjukkan bahawa
neo-sufisme berupaya untuk kembali kepada nilai-nilai Islam yang utuh
(kaffah) yaitu kehidupan yang seimbang (tawazun) dalam segala aspek
kehidupan dan dalam segala segi ekspresi kemanusiaan. Dengan alasan ini
pula dapat dikatakan bahwa yang disebut neo-sufisme itu tidak kesemuanya
adalah “barang baru”, namun lebih tepat dikatakan sebagai sufisme yang
dipraktikkan dalam kehidupan pribadi dan bermasyarakat sesuai dengan
kedudukan masa kini.
Dengan menukilkan sedikit rumusan
Nurcholish Madjid yang mengatakan bahawa neo-sufisme adalah sebuah
esoterisme atau penghayatan keagamaan batini yang menghendaki hidup
secara aktif dan terlibat dalam masalah-masalah kemasyarakatan. [
Madjid, Agama … h.15] Neo-sufisme mendorong dibukanya peluang bagi
penghayatan makna keagamaan dan pengamalannya yang lebih utuh dan tidak
terbatas pada salah satu aspeknya saja tetapi yang lebih penting adalah
keseimbangan (tawazun).
Pandangan Tokoh Tarekat Masa Kini Terhadap Neo-Sufisme
Karena keterbatasan literatur, maka
disini penulis hanya dapat menyampaikan pandangan satu tokoh tarekat
Samaniyah yaitu Syekh Muda Ahmad Arifin terhadap Neo-Sufisme, walaupun
pandangan beliau tidak dapat diartikan merupakan pandangan seluruh tokoh
tarekat saat ini, namun kiranya dapat menjadi bahan perbandingan.
Menyikapi Neo-Sufisme, tokoh ini menolak
dengan tegas keberadaanya dengan beberapa alasan antara lain yaitu
:Kelahiran dan kebangkitan Neo-Sufisme dikarenakan ekses negatif
Neo-Modernisme, sedangkan tasawuf klasik lahir dari Islam itu sendiri.
Dengan demikian Neo-Sufisme adalah tempat pelarian dari ekses negatif
Neo-Modernisme, dan jika hal ini teratasi dengan sendirinya Neo-Sufisme
akan ditinggalkan.
Gagasan Neo-Sufisme lahir dari pemikiran
Fazlur Rahman, Nurcolish Madjid dan Hamka yang tidak pernah masuk
tarekat dan tidak mempunyai guru rohani yang hakikatnya sangat awam
dengan tasawuf, maka sangat diragukan kapasitasnya bila berbicara
tentang tasawuf.
Neo-Sufisme tidak memiliki konsep yang
jelas dalam mengatasi problem manusia, bahkan cenderung menjadikan
tasawuf sebagai komoditi spiritual sesaat konsumen.Neo-Sufisme menuduh
ahli tarekat sebagai orang benci dunia, padahal ahli tarekat tidak
menolak dunia, namun tidak mabuk dunia dan menempatkan harta di hati.
Peran Neosufisme Di Era Modern
Pada dasarnya,Munculnya neosufisme ini
berawal dari akibat adanya perpecahan terselubung oleh umat islam dalam
memahami dan mempraktekkan ajaran-ajaran islam, yang pada akhirnya
menyudutkan dirinya sendiri-sendiri dalam golongan tertentu. Antara
golongan yang semasa hidupnya hanya untuk menyembah Allah.atau
mengutamakan hal-hal yang bersifat bathiniyyah (esoteris) dengan
golongan yang dalam menyembah Allah hanya dengan perantara syariat atau
Dzohiriyyah (eksoteris).
Akhirnya dengan Neosufisme inilah yang
mencoba menyatukan antara saudara-saudara muslim yang
menggolong-golongkan diri dan kelompoknya sendiri-sendiri, mengutamakan
bathiniyyah dan tidak mengesampingkan dzahiriyyah.
Ada berbagai contoh nyata
kesuksesan-kesuksesan yang diraih para tokoh islam zaman dahulu,
ternyata salah satunya tidak mengunggulkan salah satu antara hal-hal
yang bersifat bathiniyyah dan dzahiriyyah walaupun ada juga yang hanya
mengandalkan antara satu dan lainnya. Hal ini dikarenakan sebab ketika
Allah dalam menciptakan makhluk pasti berpasang-pasang dan keduanya
dalam menjalani tugas sebagai makhluk harus seimbang.
Sebagai contoh, ketika para sufisme zaman
dahulu hanya mementingkan hal-hal yang mengacu pada Bathiniyyah dan
mengesampingkan Dzahiriyyah, ternyata tindakan ini tanpa disadari
berdampak fatal. Yakni mereka mengalami kemunduran drastis dalam dunia
yang penuh gemerlap warna ini. Baik yang menyinggung pemikiran atau
perasaan.
Maka, tak heran jika zaman sekarang
banyak Muslimin yang menyesali kejadian itu dan rindu akan zaman
keemasan (Al Asr Al Dzahab) yang pernah diraih para muslim
terdahulu.Contoh nyata kesuksesan dan kebahagiaan yang diraih para
pengikut sufi , didunia dan Insya Allah diakhirat pula. Seperti Umar ibn
Abdul Aziz, seorang raja yang bersifat asketis atau zuhud, Jabir ibn
Hayyan, seorang fisikawan muslim tersohor, Al Junaid, seorang pengusaha
sukses, Syaikh Abu Al Hasan Asy Syadzili, seorang petani sukses dan
Syaikh Fariduddin Al Athar, seorang salesman yang sukses.
Oleh karena itu Neosufisme tetap penting
untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari agar supaya antara
kehidupan dunia dan akhirat bisa seimbang.Allah menciptakan dunia ini
untuk manusia asalkan dimanfaatkan dengan benar sebagai sarana untuk
beribadah kepada allah swt dan mencari Ridho-NYA.
Implementasi Neosufisme Di Kalangan Pengusaha Muslim Indonesia
Aa Gym atau biasa dikenal dengan
panggilan Aa beliau lahir pada hari senin tanggal 29 Januari 1962,
beliau adalah putera tertua dari empat bersaudara pasangan letnan
kolonel (letkol) H. Engkus Kuswara dan Ny. Hj. Yeti Rohayati. Saudara
kandung lainnya adalah: Abdurrahman Yuri, Agung Gunmartin, dan Fathimah
Genstreed.
Pada masa mudanya, selain menuntut ilmu dan aktif berorganisasi, Aa Gym juga memiliki kegemaran berdagang.
Dialah yang memelopori pembuatan stiker-stiker barsablon yang
menunjukkan kekuatan dan keindahan Islam, dia juga pernah berjualan
minyak wangi. Seraya tertawa dia bercerita, pernah seharian suntuk ia
membersihkan botol-botol minyak gosok PPO untuk diisi minyak wangi hasil
racikannya.
Seluruh hasil kerja Aa Gym akhirnya
membuahkan hasil, dia kemudian dapat membeli 1 unit mobil angkutan kota
(angkot) dan kadang-kadang dia yang menjadi supirnya. Jika ada acara
wisuda, dia menjual baterai dan film, selain itu juga kadang-kadang dia
mengamen dari satu rumah makan ke rumah makan lainnya. “Sebenarnya
tujuan saya mengamen ini bukan untuk mencari uang, melainkan ingin
berlatih dalam berhadapan dengan orang lain, tapi ya lumayan juga dapat
uang” ujarnya.
Disamping sebagai seorang Da’I dia juga
dikenal sebagai pengusaha muslim yang cukup sukses.Beliau mengatakan
bahwa pendidikan karakter seperti inilah yang sebenarnya sangat
dibutuhkan dalam aktivitas Bisnis. Karena dengan memiliki pendidikan
karakter yang baik maka aktivitas bisnis yang sedang dijalani akan
selalu berorientasi pada kebaikan dan kebenaran. Dalam dunia bisnis yang
penuh dengan persaingan, diperlukan pribadi yang baik. Seperti yang
dikatakan oleh da`i kondang Aa Gym dalam acara Himpunan Pengusaha Muda
Indonesia (HIPMI) di Bali.
Beliau menyatakan bahwa yang terpenting
dalam pribadi pebisnis adalah Kredibilitas. Yang berarti pendidikan
karakter yang baik. Sama halnya dengan proses maqamat dalam tasawuf,
seorang pebisnis sebelum menjalankan usahanya perlu membersihkan niat
untuk memulai usahanya. Sehingga saat membangun usaha dari nol, dan
mengalami masa-masa tersulit, ia mampu bertahan sekalipun jatuh-bangun
selama proses membangun usaha, ia tetap bisa kuat dan bertahan.
Menjaga kondisi hati dan pikiran agar
tetap fokus kepada Allah, sehingga mampu menghindari melakukan hal-hal
seperti penipuan konsumen dalam penjualan produk atau jasa, dan
benar-benar adil dalam kegiatan bisnis, Pembersihan hati dan stabilisasi
emosi dengan Zero Mind Process ini dikarenakan hati selalu rawan
terkontaminasi oleh berbagai noda.Noda-noda ini lah yang akan menjadi
penghalang proses adopsi sifat-sifat mulai Allah.
DAFTAR PUSTAKA
- Madjid, Nurcholish, Sufisme dan Masa Depan Agama, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1993)
- Rahman, Fazlur, Islam, terjemahan oleh Ahsin Muhammad (Jakarta : Pustaka Bandung, 1984)
- Al-Ghazali, Muhammad, Ihya Ulum al-Din, Jilid II (Beirut : Dar al-Ma’rifah, tt)
- Hamka, Tasauf Modern, (Jakarta : Panji Mas, 2007)
- Burhani, Ahmad Najib, Sufisme Kota Berpikir Jernih Menemukan Spiritualis Positif, (Jakarta : Serambi, 2001)
- http://mulkans.wordpress.com
- http://kanal3.wordpress.com
- http://tasawufislam.blogspot.com
- http://www.pondokhabib.wordpress.com
Pentingnya Mempelajari Ilmu Hati (Ilmu Tarekat)
Hati memegang peranan penting bagi manusia. Baik dan buruknya seseorang ditentukan oleh hati sebagaimana Hadis Nabi:
...اَلاَوَاِنَّ
فِى الْجَسَدِ مُدْغَةً اِذَاصَلُحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ
وَاِذَافَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ آلآوَهِيَ الْقَلْبُ
“Ingatlah
bahwa di dalam tubuh itu ada segumpal darah, bila ia telah baik maka
baiklah sekalian badan.Dan bila ia rusak, maka rusaklah sekalian badan.
Dan bila ia rusak maka binasalah sekalian badan, itulah yang dikatakan
hati”.
Demikianlah pentingnya peranan hati bagi manusia,
oleh sebab itu manusia wajib menjaga kesucian hatinya. Adapun yang
menjadi penyebab kotornya hati manusia itu adalah disebabkan berbagai
penyakit yang terdapat padanya sebagaimana dijelaskan oleh firman
Allah:
فِى قُلُوْبِهِمْ مَرَضٌ
“Di dalam hati mereka ada penyakit”. (Q.S. 2 Al-Baqarah: 10)
Menurut
Syekh Muda Ahmad Arifin terdapat 6666 ayat Al-Qur’an dan 6666 urat di
dalam tubuh manusia, demikian halnya dengan hati manusia, ada 6666
penyakit di dalam hati manusia. Dari sekian banyak penyakit yang ada di
dalam hati manusia, ada beberapa penyakit hati yang paling berbahaya,
di antaranya: hawa nafsu, cinta dunia, loba, tamak, rakus, pemarah,
pengiri, dendam, hasad, munafiq, ria, ujub, takabbur. Jadi bila tidak
diobati, maka sambungan ayat mengatakan:
فَزَادَهُمُ اللهُ مَرَضًا
“Lalu ditambah Allah penyakitnya”. (Q.S. 2 Al-Baqarah: 10)
Demikianlah bahayanya apabila manusia itu tidak segera membersihkan
hatinya, maka Allah akan terus menambah penyakitnya. Oleh sebab itu
kewajiban pertama bagi manusia adalah terlebih dahulu ia harus
mensucikan hatinya sebagaimana firman Allah:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّ
“Beruntunglah orang yang mensucikan hatinya dan mengingat Tuhan-Nya, maka didirikannya sembanhyang”. (Q.S. 87 Al-A’la: 14-15)
Dari penjelasan surah Al-A’la di ayat 14 dan 15 di atas dapat diambil
kesimpulan bahwa ada tiga kewajiban yang dibebankan oleh Allah kepada
manusia:
1. Kewajiban Mensucikan Hati
Di
dalam surah Al-A’la ayat 14 Allah menyatakan bahwa orang-orang yang
telah mensucikan hatinya sesungguhnya telah memperoleh keberuntungan.
Lalu dibenak kita timbul beberapa pertanyaan:
- Apa yang dimaksud dengan hati yang bersih?
- Bagaimana cara membersihkan hati?
- Mengapa orang yang mensucikan hatinya disebut orang yang beruntung?
- Apa keuntungan yang diperoleh oleh orang yang telah mensucikan hatinya?
Pertama, apa
yang dimaksud dengan hati yang bersih? Menurut Syekh Muda ahmad Arifin
yang dimaksud dengan hati yang bersih yaitu tidak ada di dalam hati
itu selain Allah. Artinya seseorang yang disebut hatinya bersih adalah
orang yang senantiasa selalu mengingat Allah. Itulah sebabnya para sufi
berkata:
قَلْبُ الْمُؤْمِنِيْنَ بَيْتُ اللهُ
“Hati orang mukmin itu adalah rumah Allah”.
Kedua, bagaimana
cara membersihkan hati? Menurut Syekh Muda Ahmad Arifin satu-satunya
cara membersihkan hati yaitu dengan mempelajari ilmu hati. Ilmu hati ini
lazim disebut dengan beberapa nama di antaranya: ilmu batin, ilmu
hakikat, ilmu tarekat. Menurutnya tujuan mempelajari ilmu hati adalah
untuk mengenal Allah, sebab hati merupakan sarana yang telah ditetapkan
oleh Allah untuk dapat menyaksikan-Nya sebagaimana firman Allah:
مَاكَذَبَ الْفُؤَادُ مَارَآى
“Tidak dusta apa yang telah dilihat oleh mata hati”. (Q.S. An-Najm: 11)
Jadi hanya dengan mempelajari ilmu hatilah kita baru dapat mengenal
Allah. Apabila kita telah dapat mengenal Allah, barulah kita dapat
mengingat-Nya. Dan mengingat Allah merupakan satu-satunya cara untuk
membersihkan hati sebagaimana Hadis Nabi:
لِكُلِّ شَيْءٍ صَقَلَةٌ وَصَقَلَةُ الْقَلْبُ ذِكْرُاللهُ
“Segala sesuatu ada alat pembersihnya dan alat pembersih hati yaitu mengingat Allah”.
Ketiga, mengapa
orang yang mensucikan hatinya disebut orang yang beruntung? Menurut
Syekh Ahmad Arifin penyebab Allah menyebut orang-orang yang telah
mensucikan hatinya sebagai orang-orang yang beruntung adalah disebabkan
karena sesungguhnya hanya orang-orang yang telah mensucikan hatinyalah
yang dapat mengenal Allah. Menurut al-Ghazali hati manusia berfungsi
sebagai cermin yang hanya bisa menangkap cahaya ghaib (Allah) apabila
tida tertutup oleh kotoran-kotoran keduniaan. Sesungguhnya hanya
orang-orang yang telah mensucikan hatinyalah yang dapat mengenal Allah
dan merekalah yang disebut sebagai orang-orang yang beruntung.
Keempat, apa
keuntungan yang diperoleh oleh orang yang telah mensucikan hatinya?
Menurut Syekh Muda Ahmad Arifin keuntungan yang diperoleh oleh orang
yang telah mensucikan hatinya adalah dapat mengenal Tuhannya. Itulah
sebabnya Allah berfirman:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّهَا وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّهَا
“Beruntunglah orang yang telah mensucikan hatinya dan merugilah orang yang telah mengotorinya”. (Q.S. 91 As-Syamsi: 9-10)
Itulah sebabnya pada ayat di atas Allah memuji orang-orang yang telah
mensucikan hatinya, sebab hanya orang-orang yang telah mensucikan
hatinya yang dapat mengenal Allah. Adapun orang-orang yang mengotorinya
adalah orang-orang yang merugi, karena sesungguhnya orang-orang yang
hatinya kotor tidak akan pernah dapat mengenal Tuhannya.
2. Kewajiban Mengingat Allah
Kewajiban yang kedua adalah mengingat Allah, sebab mustahil kita dapat
mengingat Allah kalau kita belum mengenal-Nya dan mustahil kita dapat
mengenal-Nya kalau kita belum pernah berjumpa. Dan mustahil kita dapat
berjumpa dengan Allah tanpa terlebih dahulu menyertakan diri dan
belajar kepada orang yang telah dapat beserta Allah. Itulah sebabnya
Nabi memerinthakan kepada kita agar menyertakan diri kepada orang yang
telah serta Allah sebagaimana sabda Nabi:
كُنْ مَعَ اللهُ وَاِنْ لَمْ تَكُنْ مَعَ اللهِ فَكُنْ مَعَ مَنْ كَانَ مَعَ اللهِ فَإِنَّهُ يُوْصِلُكَ اِلَى اللهِ
“Sertakanlah
kepada Allah, apabila kamu tidak dapat beserta Allah maka sertakanlah
dirimu kepada orang yang telah serta Allah, maka ia akan mengenalkan
kamu kepada Allah”.
Berdasarkan Hadis di atas, maka kewajiban pertama bagi manusia adalah mencari guru (wasilah)
agar ia dapat memperoleh pengenalan kepada Tuhannya. Setelah manusia
itu dapat mengenal Allah maka kewajiban kedua baginya adalah mengingat
Tuhan-Nya.
3. Kewajiban Mengerjakan Shalat
Shalat merupakan tiang agama yang dilaksanakan apabila kita telah
melaksanakan kewajiban pertama dan kedua, sebab tujuan shalat adalah
untuk mengingat-Nya sebagaimana firman Allah:
اِنَّنِى أَنَااللهُ لاَإِلَهَ اِلاَّ أَنَا فَاعْبُدْنِى وَأَقِمِ الصَّلَوةَ لَذِكْرِى
“Sesungguhnya Aku inilah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku”. (Q.S. 20 Thaha: 14)
Firman Allah di atas senada dengan firman Allah pada surat Al-A’la
ayat 14 dan 15 yang telah diuraikan sebelumnya. Untuk mengetahui secara
jelas persamaan makna yang terdapat pada kedua ayat tersebut penulis
akan menguraikan kalimat perkalimat pada surat Thaha ayat 14 serta
membandingkannya dengan surat Al-A’la ayat 14.
Pertama, pada bagian awal surat Thaha ayat 14 Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku ini Allah”.
Bila kita menganalisis firman Allah tersebut maka dapatlah kita ketahui
bahwa sesungguhnya Allah itu ingin dikenal. Firman Allah pada surat
Thaha tersebut senada dengan firman Allah pada surat Al-A’la ayat 14: “Beruntunglah orang-orang yang mensucikan hatinya”. Makna
beruntung pada ayat ini adalah bahwa keuntungan yang diperoleh oleh
orang-orang yang mensucikan hatinya adalah dapat mengenal Allah. Bahkan
bila kita analisis lebih jauh selain memiliki persamaan makna, kedua
ayat tersebut juga memiliki kaitan di mana ayat yang satu berfungsi
sebagai penjelas bagi yang lain. Pada surah Thaha Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku ini Allah”. Ayat tersebut mengintruksikan kepada manusia kewajiban untuk mengenal Allah. Pada surah al-A’la ayat 14 Allah berfirman: “Beruntunglah orang-orang yang mensucikan hatinya”. Pada
ayat ini Allah memuji orang-orang yang mensucikan hatinya, sebab hanya
orang-orang yang mensucikan hatinyalah yang dapat mengenal Allah dan
merekalah yang dinyatakan Allah sebagai orang-orang yang beruntung. Dari
uraian singkat di atas dapat disimpulkan bahwa firman Allah pada surat
Thaha ayat 14 keduanya mengindikasikan bahwa kewajiban pertama bagi
manusia adalah terlebih dahulu mensucikan hatinya agar ia dapat mengenal
Tuhannya.
Kedua, pada bagian tengah surat Thaha Allah berfirman: “Tiada Tuhan selain Aku”. Bila
kita analisis firman Allah di atas, maka dapat kita ketahui bahwa
maksud yang terkandung di dalamnya adalah perintah untuk mengingat-Nya,
sebab kalimat “Tiada Tuhan selain Allah”, bermakna tidak ada yang boleh diingat selain Allah. Firman Allah pada surat al-A’la ayat 15: “Dan mengingat Tuhannya”. Dari uraian singkat di atas dapat disimpulkan bahwa kewajiban yang kedua bagi manusia adalah mengingat Tuhannya.
Ketiga, pada bagian akhir surat Thaha Allah berfirman: “Sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku”. Bila
kita analisis pada ayat di atas bahwa printah sembah datang setelah
terlebih dahulu Allah memerintahkan untuk mengenal dan mengingatnya.
Perintah sembah tersebut diwujudkan dengan mendirikan shalat yang
tujuannya adalah untuk mengingat-Nya. Firman Allah tersebut senada
dengan firman Allah pada surat al-A’la ayat 15: “Maka dirikanlah shlalat”. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa kedua ayat tersebut sama-sama mengindikasikan bahwa shalat merupakan kewajiban ketiga.
Dari penjelasan di atas dapatlah kita ketahui mengapa para sufi menaruh perhatian besar terhadap hati (qalb)
dan menempatkan shalat sebagai kewajiban ketiga. Karena sesungguhnya
perintah shalat itu diterima setelah terlebih dahulu Jibril mensucikan
hati Nabi Muhammad sebelum ia menghadap Allah. Sebab Allah itu tidak
dapat dilihat oleh mata kepala Nabi Muhammad tetapi hanya dapat dilihat
oleh mata hati Nabi Muhammad. Oleh sebab itu sebelum Nabi Muhammad
berjumpa dengan Allah, terlebih dahulu Jibril mensucikan hatinya, agar
nur yang ada di dalam mata hatinya itu dapat memancar, sebab dengan nur
itulah Nabi Muhammad dapat menyaksikan Allah. Itulah sebabnya di dalam
surah al-Isra’ ayat 1 Allah menggunakan kalimat Maha Suci, sebab Allah
itu Maha Suci dan hanya dapat dilihat oleh hamba-hamba-Nya apabila
mereka telah mensucikan hati mereka.
Adapun makna
Jibril mensucikan hati Nabi Muhammad menurut Syekh Muda Ahmad Arifin
pada hakikatnya adalah sesungguhnya Malaikat Jibril menyampaikan
pengenalan kepada Allah dalam istilah ilmu tarekat lazim disebut dengan
bai’at. Praktik bai’at yang diterima oleh Nabi dari
gurunya Malaikat Jibril diteruskan kepada Ali ibn Abi Thalib dan
praktik seperti ini terus berlanjut dari guru ke murid dalam rangkaian
silsilah hingga saat ini. Praktik bai’at yang diterapkan di kalangan ahli tarekat sesungguhnya mengacu pada pola yang dilaksanakan oleh Nabi. Jadi berdasarkan tradisi bai’at inilah muncul istilah bahwa “Barangsiapa yang tidak mempunyai syekh maka gurunya adalah setan” sebab
Nabi sendiri tidak dapat mengenal Allah tanpa berguru kepada Malaikat
Jibril, apalagi kita sebagai manusia biasa yang hina dan dhaif
yang tidak mempunyai kedudukan apa-apa di sisi Allah maka mustahil
dapat mengenal Allah tanpa guru. Oleh sebab itu Nabi bersabda:
اَلْعِلْمُ عِلْمَانِ فَعِلْمُ بَطِنِ فِى قَلْبِى فَذَالِكَ هُوَ نَفِعِى
“ilmu itu ada dua macam, adapun ilmu batin yang di dalam hati itu jauh lebih bermanfaat”.
Dari penjelasan Hadis di atas dapatlah kita ketahui bahwa tidak hanya
para sufi yang menaruh perhatian besar terhadap hati, bahkan Nabi
sendiri lewat Hadisnya secara tegas menyatakan keutamaan ilmu hatilah
manusia dapat mengenal Allah.
Menurut Syekh Ahmad
Arifin kekeliruan umat Islam saat ini adalah tidak mau mempelajari ilmu
hati dan lebih mengutamakan ilmu syari’at. Oleh sebab itu menurutnya
mayoritas umat Islam saat ini tidak mengenal yang mereka sembah dan
sesungguhnya mereka berada dalam kesesatan yang nyata sebagaimana
firman Allah:
فَوَيْلٌ لِلْقَسِيَةِ قُلُوْبُهُمْ مِنْ ذِكْرِاللهِ أُلَئِكَ فِى ضَلَلٍ مُّبِيْنٍ
“Maka celakalah bagi orang yang hatinya tidak dapat mengingat Allah, mereka itu dalam kesesatan yang nyata”. (Q.S. 39 az-Zumar: 22)
Demikianlah celaan Allah terhadap orang-orang yang tidak dapat
mengingat-Nya, yang kesemuanya itu disebabkan karena mereka tidak
mempelajari soal hati. Namun kebanyakan umat Islam saat ini tidak tahu
kalau mereka itu tidak tahu. Mereka menganggap bahwa amal ibadah mereka
dapat diterima oleh Allah SWT, karena merasa bahwa tauhid mereka telah
sempurna, padahal sesungguhnya mereka berada dalam kesesatan yang
nyata. Sesungguhnya orang-orang yang bertauhid si sisi Allah adalah
orang-orang yang telah mempelajari ilmu hati. Sebab hanya dengan
mempelajari ilmu hatilah kita baru dapat mengenal Allah. Jadi
sesungguhnya orang-orang yang tidak mempelajari ilmu hati adalah
orang-orang yang bertauhid di sisi manusia tetapi sesungguhnya kafir di
sisi Allah, sebab tauhid mereka hanya di lidah, namun hatinya tidak
pernah menyaksikan Allah. Mereka menganggap bahwa dengan mengucap dua
kalimah syahadat dan percaya dalam hati berarti telah Islam dan beriman
di sisi Allah. Padahal keislaman dan keimanan mereka itu barulah
sebatas percaya kepada Allah. Oleh sebab itu orang-orang yang
mengabaikan atau tidak mempelajari ilmu hati (ilmu tarekat)
sesungguhnya adalah orang-orang yang mengabaikan tauhid.
Dari uraian di atas dapatlah kita ketahui betapa pentingnya
mempelajari ilmu hati (ilmu tarekat). Jadi dapat disimpulkan bahwa ilmu
tauhid yang sesungguhnya adalah dengan mempelajari ilmu hati (ilmu
tarekat)
Sumber http://silsilahsyattariyahsyahid.blogspot.com
Langganan:
Postingan (Atom)