Jumat, 09 Agustus 2013

Ikhtiar Mengakhiri Perseteruan Klasik


judul: Sufi “Ndeso” Vs. Wahabi Kota, Sebuah Kisah Perseteruan Tradisi Islam Nusantara
Penulis: Agus Sunyoto
Penerbit: NouraBooks, Jakarta
Cetakan: I, Juli 2012
Tebal: 277 halaman
Peresensi: Muhammad Itsbatun Najih*

Tradisi khas Islam Indonesia macam tahlilan, peringatan hari kematian, peringatan Maulid Nabi, talqin mayit dan haul dalam kurun waktu belakangan ini ramai-ramai digugat. Bid’ah jadi kosakata lazim guna melabeli laku yang sudah mendarah daging sejak ratusan tahun silam itu. Model pemahaman keislaman mereka yang menggugat –buku ini menyebut Wahabi- adalah model tekstual dan kaku. Baginya, tradisi-tradisi itu tidak ada dalilnya baik dari Alquran maupun hadis.
Tudingan di atas adalah tudingan sepihak dan alpa sejarah. Buku ini memaparkan secara gamblang ihwal sejarah manis dan damainya masuknya Islam ke Indonesia melalui pendekatan budaya. Sejatinya Islam dapat berkelindan dengan budaya Nusantara. Jalinan itu menghasilkan nilai positif dengan lahirnya budaya baru tanpa meninggalkan esensi dari budaya lama. Dengan begitu, wajah Islam di Indonesia mempunyai kekhasan tersendiri. Pun, Islam nyatanya  mampu bertegur sapa dan saling mengisi dengan budaya lokal.

Pola penyebaran Islam di Indonesia sudah maklum diketahui sebagai penyebaran tanpa genangan darah dan sabetan pedang. Penyebar Islam merupakan para pedagang asal Arab, Persia, dan India. Interaksi para pedagang asing itu dengan masyarakat Indonesia berkembang menjadi perbincangan keimanan. Ajaran Islam menurut Agus cepat berkembang salah satunya dikarenakan ada kesamaan pandangan terutama dalam ranah tasawuf. Namun, sejarawan memberikan tambahan sejumlah teori seperti melalui jalur pendidikan, pernikahan, kesenian, dan politik.

Kredit poin penyebar Islam tempo dulu adalah kecerdasan mereka dalam menghadapi situasi dan kondisi masyarakat Indonesia. Pendekatan budaya semisal wayang atau arsitektur menara masjid berbentuk candi merupakan bukti bahwa Islam tidak antipati terhadap budaya yang terlebih dahulu eksis.

Inilah win-win solution ala penyebar Islam tempo dulu dalam mengompromikan agama dengan budaya lokal. Lebih lanjut dieliminasinya istilah-istilah ritual agama berbahasa Arab yang kemudian diganti dengan bahasa Jawa seperti salat diganti sembahyang, shaum diganti upawasa, khitan diganti selam sekali lagi juga menunjukkan bahwa ajaran Islam mampu bersinergi dengan kebudayaan (bahasa) lokal.

Tanpa bermaksud mengadu domba, buku ini hanya menyajikan realitas kekinian mengenai suatu kelompok yang membuat gugatan-gugatan terhadap tradisi Islam di Indonesia yang dinilai tidak sesuai dengan ajaran Islam. Prinsip kelompok ini adalah melarang semua perbuatan kecuali ada dalilnya dari Alquran maupun hadis. Sebaliknya, pelaku tradisi itu juga berlandaskan pada prinsip kebolehan untuk melakukan semua perbuatan kecuali ada dalil Alquran dan hadis yang melarangnya.

Ada dua contoh yang dipaparkan Agus Sunyoto terkait kritik dari Wahabi. Pertama, soal menggelar acara peringatan kematian 7, 40, 100, 1000 hari. Wahabi mengatakan tradisi itu sebagai warisan ajaran Hindu yang kemudian diadopsi oleh masyarakat Indonesia. Agus lalu menunjuk hidung. Wahabi di sini ia arahkan kepada buku karangan Makhrus Ali yang menggugat tradisi tahlilan, istigatsah, dan ziarah para wali. Agus sebagai salah seorang peneliti sejarah Islam Nusantara tak segan-segan melibas argumen Makhrus tersebut sebagai kengawuran.

Agus berujar bahwa tradisi acara peringatan kematian itu bukanlah mengadopsi dari ajaran Hindu. Bahkan Hindu tidak mengenal tradisi itu. Justru tradisi itu adalah hasil pengadopsian dari amalan Syi’ah yang dibawa oleh penyebar Islam dari Campa ke Indonesia. Jadi, Agus ingin mengatakan bahwa Wahabi buta sejarah, asal bicara tanpa berlandaskan fakta.

Kedua, kekurangsukaan Wahabi terhadap obat medis yang dianggap tidak islami dan mempunyai efek samping karena terdiri dari zat-zat kimia. Sedangkan pengobatan herbal dan bekam diklaim sebagai pengobatan islami. Agus kembali meluruskan pandangan keliru itu. Dikatakan baik obat herbal maupun medis masing-masing memiliki kelemahan dan keunggulan. Metode pengobatan sama sekali tidak ada kaitannya dengan tendensi pada agama tertentu.
 Mursyid Abdul Ghoni Atau Mbah Ahmad Sadjadi
 
Semenjak kecil, almarhum KH Abdul Ghoni gemar mengembara untuk menimba ilmu di berbagai pesantren di tanah Jawa. Riwayat pendidikannya dimulai di madrasah diniyyah ibtida’iyyah Tegal Sari Sala. 
 Kemudian beliau melanjutkan ke jenjang lebih tinggi, yakni di Madrasah Tsanawaiyyah dan Aliyyah Mamba’ul Ulum Sala, dan lulus tahun 1939. Selain pendidikan formal, beliau yang haus ilmu, memperdalam ilmu agama dengan nyantrik ke beberapa pondok pesantren. Di antaranya di Jawa Timur beliau pernah ngaji di Pesantren Termas Pacitan (tahun 1940) yang diasuh Raden Sayyid Hasan dan Kiai Hamid bin Abdullah, Pesantren Mojosari Nganjuk yang dipimpin Kiai Zainuddin, dan Pesantren Tebu Ireng Jombang. Di pesantren yang disebut terakhir tadi, Mbah Sadjadi mengkhususkan untuk mengkhatamkan kitab hadist Shohih Bukhori.
Di Jawa Tengah, ia pernah nyantri di Pesantren Lasem asuhan Mbah Kiai Ma’sum, Pesantren Watucongol Muntilan asuhan Kiai Dalhar, dan Pesantren Bustanul Usyaqil Qur’an Demak asuhan Kiai Raden Muhammad bin Mahfudz at-Tirmizi. Di pesantren ini, ia berhasil menghafalkan Al-Qur’an selama 3 tahun (1941-1944). Ia juga pernah nyantri di Serang Banten di bawah bimbingan Kiai Haji Syam’un.

Tak heran jika akhirnya Kiai Abdul Ghoni, atau yang lebih akrab disapa Mbah Sadjadi ini menjadi ulama yang sangat luas ilmunya. Ia menguasai berbagai macam keilmuan, seorang hafidul qur’an, ahli tafsir, ahli hadist, dan juga seorang ahli fiqih. Kiai Sadjadi menguasai ilmu perbandingan fiqih 4 mazhab.

Aktif berdakwah dan berorganisasi
Kiai Sadjadi sejak 1977 berada di lingkungan masjid M Tohir, Yosoroto Laweyan Solo. Dua tahun kemudian ia dipercaya untuk tinggal di masjid Yosoroto. Dan sejak itulah, para tamu dari thariqah asy-Syadziliyyah banyak yang berkunjung ke masjid. Setiap hari, puluhan orang bertamu ke Yosoroto.

Menurut cerita dari KH Adib Zain, Sekretaris Jendral JATMAN, salah satu pengganti mursyid thoriqoh asy-Syadziliyyah, usai KHR Ma’ruf Mangun Wiyoto wafat, diantaranya adalah Mbah Sadjadi yang di usia lanjutnya dikenal dengan sebutan KH Abdul Ghoni. 
Ijazah Mbah Sadjadi diperoleh dari Kiai Ma’ruf dan Kiai Ahmad Abdul Haq, pengasuh Pondok pesantren Watucongol Muntilan.

Saat mengemban amanah di masjid Yosoroto, kiai yang juga dikenal sayang dengan anak-anak dan selalu berusaha shalat berjama’ah ini, mengadakan banyak kegiatan keagamaan, di antaranya adalah sema’an Al-Qur’an yang diselingi dengan penjelasan ayat yang dibaca, rutin setiap malam Rabu. Dan, khusus pada malam Rabu terakhir diselingi dengan pembacaan shalawat Burdah karya Imam Bushiri.

Mbah Sulaeman Tanon Sragen, salah satu santri Kiai Umar Al-Muayyad bercerita, ketika masih mondok di Al-Muayyad beliau sering disuruh untuk sema’an di masjid Yosoroto. Menurutnya, banyak kitab yang telah diserap dari lisan sang kiai, di antaranya tafsir Jalalain, Riyadus Shalihin dan lainnya.

Selain mengajar di Yosoroto, Kiai Sadjadi juga mengajar santri-santri Al-Muayyad. Kitab yang diajarkannya adalah tentang perbandingan madzhab “Al-Mizanul Kubro” karya Syekh Abil Mawahib bin Ahmad bin Aly al-Anshory. Sedangkan di Masjid Tegalsari Solo beliau mengajarkan Tafsir Jalalain, matan ghoyah wat taqrib dan Jawahirul Bukhori.

Tidak hanya itu, ternyata Kiai Sadjadi juga seorang dosen di Universitas Nahdlatul Ulama Surakarta sejak 1947-1987. Pernah bergabung dalam Laskar Sabilillah Kota Surakarta (1946), juga pernah menjabat sebagai anggota DPRD Kota Surakarta dari fraksi NU (1964-1965) dan menjabat mustasyar NU Kota Surakarta (1987). Sampai akhir hayat pada tahun 1987, beliau terus mengabdi untuk masyarakat.

Sabtu Pon 21 Maret 1987 bertepatan dengan 22 Rajab 1407 H sekitar pukul 19.00 WIB. Beliau pergi dalam usia 68 tahun. Kepergiannya membawa duka bagi keluarga, sahabat, para ulama dan santri-santri beliau. Kiai Sadjadi meninggalkan seorang istri, Nyai Hj. Chammah Sadjadi, 5 putra dan 3 putri.

Ada beberapa kesaksian menarik saat prosesi pemakaman beliau. Sebagaimana dikisahkan Ibu Nyai Hj. Baidhowi Syamsuri (istri KH Baidhowi Syamsuri, pengasuh Pondok Pesantren Sirojuth Tholibin Brabo) dan juga KH Abdul Karim Ahmad yang menyaksikan kepergian beliau. Saat keranda beliau diangkat oleh para santri dan keluarga secara silih berganti, keranda terasa ringan.

Orang-orang yang membawa keranda Kiai Sadjadi seakan berlari-lari sambil bershalawat burdah, “Karena ringannya keranda almarhum, yang mengangkat tak bisa menahan kakinya untuk berlari.” Kata KH Abdul Karim. Menurut Kiai yang akrab disapa Gus Karim, itu merupakan pertanda bahwa almarhum sudah tidak sabar ingin bertemu Allah swt, “Para Malaikat penyambut almarhum juga sudah tak sabar menunggu pecinta shalawat itu.” (Ajie Najmuddin, disarikan dari tulisan A. Himawan asy-Syirbany di Tabloid TAJAM Jamuro)

 KH Muslih Abdurrahman Mranggen

 

Bagi kaum thariqah di Indonesia, khususnya pengikut Thariqah Qodiriyyah wa Naqsyabandiyyah (TQN), nama KH Muslih Abdurrahman Mranggen tentu sudah sangat masyhur. Keberadaannya sebagai salah seorang mursyid TQN, yang sekaligus aktif dalam mengembangkan dan membesarkan Jam'iyah Ahlit Thariqah Al-Muktabarah An-Nahdliyah (Jatman) hingga akhir hayat pada tahun 1981, membuat muridnya menyebut Kiai Muslih sebagai Abul Masyayekh dan Syeikhul Mursyidin.
Tak hanya itu, Kiai Muslih berjasa pula dalam mengusir penjajah Belanda dan Jepang, baik sebagai anggota laskar Hizbullah yang berlatih kemiliteran bersama Syeikh KH Abdulloh Abbas Buntet Cirebon dalam satu regu di Bekasi Jawa Barat, maupun ketika bergabung dengan komando pasukan Sabilillah yang beranggotakan para kiai/ulama di wilayah Demak selatan atau front Semarang wilayah Tenggara.
Kiai Muslih dilahirkan di Suburan Mranggen Demak, pada tahun 1908, dari pasangan Syekh KH Muslih bin Syeikh KH Abdurrohman dan Hj. Shofiyyah. Dari jalur ayah, silsilah kiai Muslih sampai kepada Syeikh Al-Jali atau Syeikh Al-Khowaji yang berasal dari Baghdad keturunan Sayyidina Abbas r.a, paman Nabi Muhammad saw. Sedangkan ibunya masih keturunan dari Sunan Ampel.
Sejak kecil Muslih sudah gemar ngaji. Tercatat, ia pernah berguru mulai dari ayahnya, Syekh KHAbdurrahman bin Qosidil Haq, hingga kepada para Masyayikh yang ada di Haromain, diantaranya Syeikh Yasin Al-Fadani Al- Makky. Kiai Muslih juga pernah menimba ilmu kepada Syeikh KH Ibrohim Yahya (Mranggen); KH Zuber, Syeikh Imam, Syeikh Imam, dan KH Maksum (Rembang); dan Syeikh Abdul Latif Al- Bantani. Selain itu, Kiai Muslih juga pernah belajar di Pesantren Termas Pacitan.
Dari hasil pendidikannya tersebut Kiai Muslih mendapatkan banyak ilmu seperti ilmu kalam Bahasa Arab, tauhid, fiqh, tafsir, hadist, Ilmu Tasawwuf dan berbagai ilmu lainnya.
Membesarkan Pesantren Futuhiyyah
Pondok Pesantren Futuhiyyah yang diasuh ayahnya mengalami rehabilitasi pada tahun 1927 M. Saat itu sudah ada puluhan santri yang ikut ngaji, namun aktifitas Madrasah tersebut menjadi terhenti, setelah diminta oleh NU cabang Mranggen. 
Selang beberapa waktu, Syekh KH Muslih berusaha mendirikan kembali Madrasah Diniyyah Awaliyyah Futuhiyyah di komplek Pesantren Futuhiyyah. Kali ini ia mengambil sikap, jika NU ingin mengelola Madrasah lagi supaya mendirikan sendiri. Keputusan tersebut  diambil karena, dua kali Futuhiyyah mendirikan Madrasah, yakni pada tahun 1927 dan 1929 M, dua kali pula diminta oleh NU Cabang Mranggen dengan cara Bedol Madrasah, yakni murid dan gurunya dipindah tempat, yang kemudian dikelola oleh NU Cabang Mranggen. Hal tersebut menjadikan aktivitas di Futuhiyyah menjadi sedikit terkendala.
Setelah madrasah baru yang didirikan oleh Kiai Muslih berjalan lancar, satu tahun kemudian beliau kembali mondok ke Termas dan pengelolaan madrasah diserahkan kepada adiknya, KH Murodi, yang baru pulang mondok dari Lasem. NU Cabang Mranggen, akhirnya juga dapat mendirikan sendiri Madrasah Diniyyah Awaliyyah dan dapat bertahan hingga sekarang, di Kauman Mranggen, yang dikenal kemudian dengan nama Madrasah Ishlahiyyah.
Kiai Muslih saat datang di Termas, langsung diminta oleh KH Ali Maksum (Krapyak Yogya), selaku kepala Madrasah di Termas saat itu, untuk mengajar kelas Alfiyyah. Semula Kiai Muslih menolak, dengan alasan belum mampu mengajar Alfiyyah. Namun setelah dibujuk gurunya, dia pun bersedia. Di Termas pula, Kiai Muslih belajar bagaimana cara mengajar yang baik dan bagaimana menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran sistem klasikal (madrasah).
Dengan berbekal Ilmu yang lebih luas dan pengalaman selama menjadi guru madrasah Tsanawiyyah di Termas itulah, pada tahun 1935 M Kiai Muslih pulang dan bermukim kembali di Suburan Mranggen. Dengan tekad untuk mengembangkan Pesantren Futuhiyyah Suburan Mranggen. Pada tahun 1936 M berdirilah Madrasah Ibtida’iyyah. Madarasah tersebut terus berkembang dan bertahan sampai sekarang.
Ada hal yang menarik pada saat proses penerimaan siswa baru. Pada saat itu meskipun belum ada radio, tidak ada stensil, tidak ada pula mesin tulis apalagi fotocopy, namun info tentang madrasah di Mranggen berkembang luas. Banyak sekali calon santri, baik yang berasal dari desa-desa wilayah kecamatan Mranggen dan sekitarnya hingga Gubug-Purwodadi, berdatangan. Hal ini terjadi karena tersiarnya berita bahwa di pondok Suburan Mranggen telah muncul seorang tokoh kiai yang alim, siapa lagi kalau bukan Kiai Muslih Abdurrahman. (Ajie Najmuddin)


ABD. MUN’IM
Perang Melawan Hawa Nafsu Belum Usai
Jumat, 09/08/2013 07:02


Idul Fitri merupakan puncak dari rangkaian ibadah puasa. Ketika hilal dapat dilihat di penghujung bulan Ramadhan maka di hari itu juga seluruh umat Islam diharuskan untuk berbuka dan melaksanakan shalat hari raya sebagaimana sabda Rasulullah SAW: "La tashumu hatta tarawul hilal wala tufthiru hatta tarauhu". Artinya: Janganlah kalian berpuasa kecuali kalian melihat hilal (bulan) dan janganlah kalian berbuka kecuali melihatnya (hilal)".
Demikianlah, sesuai dengan makna harfiyahnya. Idul fitri = hari berbuka, maka di hari ini kewajiban umat Islam menahan diri dari makan dan minum secara hawa nafsu sepanjang bulan Ramadhan telah selesai. Bahkan puasa tepat di hari ini sama sekali tidak diijinkan atas alasan apapun juga.
Namun apakah perang melawan hawa nafsi telah selesai? Tentu tidak. Satu bulan puasa hanya merupakan latihan untuk menjadi manusia yang lebih baik lagi pada bulan-bulan berikutnya.
Akan tetapi dengan selesainya kewajiban puasa, bukan berarti seluruh umat Islam bisa berpesta pora dan meluapkan segala keinginan yang sebelumnya sempat tertahan di bulan puasa. Karena jika hal itu terjadi maka latihan pengendalian diri selama Ramadhan tidak berhasil dengan baik.
Terlebih lagi jika Idul Fitri dianggap sebagai hari raya kebebasan untuk makan dan minum dan berpesta pora maka dikhawatirkan kita akan menjadi terlampau berlebihan sehingga melanggar larangan Allah: Hai anak Adam, pakailah pakaianmu di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan (QS Al-A’raf 7: 31).
Dengan kata lain, dalam ayat ini, Allah memperingatkan kita untuk hidup bersahaja dan jauh dari prilaku konsumtif, baik dalam sandang pangan maupun papan. Tidak perlu membeli pakaian yang mahal-mahal serta berpesta pora dalam hal makanan dan minuman.
Dalam konteks Idul Fitri kali ini, sikap berlebih-lebihan dan konsumtif kiranya tidak seharusnya ditumbuhkembangkan. Karena bagaimanapun juga, ibadah puasa merupakan ibadah yang ditujukan untuk membersihkan diri dan mengendalikan keinginan kita  menjadi makhluk yang konsumeris. Sebaliknya, Ibadah puasa menyokong kita untuk merasakan ketidakberdayaan orang-orang yang tidak dapat mencukupi kebutuhan makan dan minum mereka sehari-hari.
Oleh sebab itu, tidak selayaknya kita mengenakan pakaian yang sangat mahal  ketika umat Islam yang lain tidak dapat membelinya. Karena hal tersebut sama saja dengan memperdalam jurang kesenjangan sosial yang di bulan puasa ingin dikikis dari kehidupan sosial kita.
Yang seharusnya dikembangkan dalam situasi dan kondisi bangsa dan masyarakat kita yang hidup dalam keprihatinan ini adalah sikap kita untuk kembali kepada spirit kemanusiaan. Semangat untuk memandang diri kita sama dengan anggota masyarakat yang lain tanpa membeda-bedakan si kaya dan si miskin. Lebih jauh, semangat memandang diri kita sebagai bagian dari kehidupan orang lain dan melihat kehidupan orang lain sebagai bagian dari kehidupan kita sendiri.
Dengan demikian, maka Idul Fitri tahun ini, dapat mempererat tali silaturrahim di seluruh lapisan masyarakat, menekan kerakusan terhadap materi atau pola hidup konsumeristik serta  menggantikannya dengan keinginan untuk saling berbagi serta memperkukuh kembali bangunan umat Islam sebagai satu bangunan yang utuh. Amin ya Rabbal ‘Alalamin.

* Abd. Mun’im
Alumni Universitas Islam Malang (Unisma)
TAKBIRAN DI RUMAH NDERES SAMMANI