Rabu, 31 Juli 2013

Demi Keseimbangan, Demba Ba Tetap Berpuasa


Demi Keseimbangan, Demba Ba Tetap Berpuasa
Demba Ba dan Ramires. Eggi Paksha

Bola.net - Publik sepakbola Indonesia boleh jadi tidak hanya kagum dengan kepiawaian pemain Chelsea dalam membobol gawang Timnas Indonesia di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), Senayan, Jakarta, Kamis (25/7) malam.

Melainkan, sikap positif yang ditunjukkan salah satu punggawa The Blues -julukan Chelsea- Demba Ba.

Pemain kelahiran Prancis berkebangsaan Senegal tersebut, tetap menjalankan ibadah puasa pada Kamis (25/7).

"Saya tetap berpuasa penuh sejak pagi hingga Maghrib. Puasa tidak menjadi hambatan dalam menjalankan profesi sebagai pesepakbola. Sebab, hal tersebut harus dilakukan secara seimbang," katanya.

Tim nasional Indonesia dikejutkan dengan 8 gol yang diraih Chelsea dalam laga uji coba di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), Senayan, Jakarta, Kamis (25/7) malam.

Salah satu gol tersebut, dicetak Demba Ba. Mantan penyerang Newcastle United tersebut, mencetak gol pada menit ke-31. Demba Ba sukses menceploskan bola usai menyambar rebound hasil tendangan Victor Moses.

Pemain kelahiran Prancis berkebangsaan Senegal tersebut, juga sukses sebagai kreator gol kedua Chelsea, yang diraih Ramires pada menit ke-30. Demba Ba melakukan kerja sama apik dengan Eden Hazard hingga akhirnya diselesaikan dengan manis oleh Ramires.

Sayangnya, pemain yang dikenal muslim tersebut, tidak melakukan sujud syukur seperti yang selama ini dilakukannya usai mencetak gol.

Sumber : Bolanet
PENAFSIRAN SUFI ATAS ‘AYAT CAHAYA’[AN-NUR: 35]

 A. Pendahuluan Siapa yang tidak kenal al-Ghazali, ulama besar yang menyandang gelar Hujjat al-Islam ini. Kedalaman ilmunya, kecerdasan akalnya, kebeningan hatinya, serta ketajaman bashirah-nya tidak ada yang mempertanyakan lagi. Itu semua terbukti dari kekuatan pengaruhnya terhadap para ulama setelahnya, melalui murid-murid dan karya-karyanya sampai saat ini. Karya-karya buah tangan Sang Hujjah ini, tidak hangus dimakan waktu dan tidak lekang ditelan zaman, ia tetap dibaca, dikaji, dan diamalkan serta dijadikan pegangan oleh umat Islam sampai sekarang. Sederet karyanya antara lain: al-Wajid, al-Maqashid, al-Tahafut, al-Iqtishad, al-Mustadhhiri, al-Mustasyfa, kimya al-Sa’adah, Minhaj al-‘Abidin, Mi’yar al-‘Ilm, Muhik al-Nadzar, al-Maksud al-Atsna, al-Ajwibat al-Muskitah, Mizan al-‘Amal, Jawahir al-Qur’an, al-Madzun, al-Munqidh min al-Dzolal, al-Risalah al-Ladunniyah, Misykat al-Anwar, dan magnum opus-nya yang paling terkenal Ihya’ ‘Ulum al-Din, serta masih banyak lagi karya-karya lainnya. Dalam kesempatan ini penulis akan mencoba mengkaji salah satu dari karya al-Ghazali di atas, yaitu Misykat al-Anwar. Kitab ini berisi tafsiran al-Ghazali terhadap QS. Al-Nuur : 35, yang sering disebut-sebut sebagai “Ayat Cahaya” (ayat yang membahas tentang Allah sebagai cahaya langit dan bumi), sehingga kitab ini sering disebut “Tafsir Ayat Cahaya”. Misykat al-Anwar diyakini sebagai satu-satunya karya al-Ghazali yang memaparkan doktrin esoterik beliau. Kitab ini membahas secara komprehensif dimensi-dimensi alam malakut (alam atas), sebuah kajian yang memungkinkan kita mengenal lebih dekat hakikat Allah, Pencipta dan Pengatur Seluruh Semesta. Al-Ghazali membahas alam malakut melalui simbolisme cahaya. Cahaya ini hanya bisa tersingkap oleh para pemilik bashirah (mata hati). Cahaya-cahaya malakut ini memiliki tata urutan, yang sambung-menyambung dan siklusnya berakhir pada Sumber Pertama, Cahaya yang tidak bersandar pada cahaya lain, Cahaya yang Zat-Nya Sendiri menyinari seluruh cahaya, Cahaya di atas cahaya, itulah Allah SWT. B. Penafsiran Al-Ghazali dalam Misykat al-Anwar الله نور السماوات والأرض مثل نوره كمشكاة فيها مصباح المصباح في زجاجة الزجاجة كأنها كوكب دري يوقد من شجرة مباركة زيتونة لا شرقية ولا غربية يكاد زيتها يضيء ولو لم تمسسه نار نور على نور يهدي الله لنوره من يشاء ويضرب الله الأمثال للناس والله بكل شيء عليم Artinya : “Allah adalah cahaya langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah adalah ibarat misykat yang di dalamnya terdapat pelita besar. Pelita itu di dalam kaca, dan kaca misykat itu bagaikan bintang yang bercahaya, seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur sesuatu, juga tidak di sebelah barat (nya). Yang minyaknya (saja) nyaris menerangi, walaupun tidak disentuh oleh api. Cahaya itu di atas segala cahaya. Allah membimbing kepada cahaya-Nya bagi siapa saja yang Dia kehendaki, dan membuat perumpamaan kepada manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Nur, 24 : 35). Dalam menafsirkan ayat tersebut di atas, pada pasal pertama kitab Misykat al-Anwar ini al-Ghazali memberikan penjelasan bahwa cahaya yang hakiki adalah Allah dan nama cahaya bagi selain-Nya adalah metafor (majazi) belaka dan tidak hakiki. Sebelum menjelaskan hakikat cahaya ini, al-Ghazali pertama-tama membedakan makna cahaya menurut pemahaman awwam (umum), kalangan khawas (khusus), dan kalangan khawas al-khawas (khusus dari yang khusus). Karena menurutnya, cahaya itu memiliki tingkatan-tingkatan sesuai dengan pemahaman orangnya. Dengan mengetahui tingkatan itulah, menurutnya, akan terbuka dengan jelas bahwa Allah adalah cahaya yang Maha Tiggi dan paling jauh. Dan akan mengerti pula bahwa Dia adalah Hakikat Cahaya Kebenaran, dan itu satu-satunya cahaya, tidak ada sekutu bagi-Nya. a. Cahaya menurut orang awam Bagi mereka, cahaya adalah cahaya yang nampak dan yang terlihat oleh pandangan kasat mata (indera). Bagi mereka panca indera memiliki peranan yang sangat penting dan yang berlaku hanyalah daya tangkap indera manusiawi. Benda yang bisa ditangkap oleh indera mata dibagi menjadi tiga : (1). Benda yang tidak tampak dengan sendirinya, seperti benda-benda gelap. (2). Benda yang tampak dengan sendirinya, tetapi tidak membuat benda lain kehihatan, seperti bintang-bintang dan zat api apabila tidak menyala, dan (3). Benda yang tampak dengan sendirinya dan dapat membuat benda lain terlihat, seperti matahari, bulan yang sedang memantulkan cahaya, dan api atau pelita yang menyala. Dari ketiga poin di atas, yang dimaksud dengan cahaya adalah yang nomor ketiga. Dan secara global, cahaya adalah sesuatu yang dapat menjadikan benda lainnya tampak, seperti matahari. b. Cahaya menurut kaum Khusus Bagi mereka, cahaya adalah bukan saja apa yang dapat dilihat oleh mata, karena tangkapan penglihatan bergantung kepada cahaya, disamping ia harus dalam keadaan melihat. Walaupun ada cahaya, tapi kalau tidak bisa melihat seperti orang buta, maka tidak akan bisa melihat cahaya itu. Bagi kaum khusus ini, panca indera (mata) memiliki banyak kekurangan dan menurut mereka, ruh yang melihat sama (ruh bashirah) dengan cahaya yang nampak. Bahkan bisa dikatakan ruh memiliki posisi yang lebih tinggi dari pada cahaya. Sebab ia memiliki daya melihat, dan dengannya sesuatu bisa tampak, sementara cahaya sendiri tidak memiliki “daya tangkap penglihatan” dan juga tidak dapat menciptakannya. c. Cahaya menurut Khawas al-khawas Bagi golongan ini, istilah cahaya lebih tepat kalau dipakai untuk cahaya yang dapat memberikan daya penglihatan, bukan untuk sembarang cahaya. Maka ruh yang melihat (ruh bashirah) itulah yang disebut “cahaya”, karena ia memang lebih pantas menyandang istilah tersebut. Dalam diri manusia terdapat mata yang memiliki sifat sempurna, yang tidak memiliki kekurangan seperti mata inderawi, yaitu yang disebut dengan “akal, ruh, atau jiwa” manusia. Mata inderawi memiliki 7 kekurangan, yaitu : 1). tidak bisa melihat dirinya, 2). tidak bisa melihat objek yang terlalu dekat dan terlalu jauh dengannya, 3). tidak bisa melihat benda di balik hijab, 4). Hanya bisa melihat bagian luar benda, tidak pada bagian dalamnya, 5). Hanya dapat melihat sebagian eksistensi, 6). Tidak mampu melihat cakrawala tanpa batas, dan 7). Melihat sesuatu yang besar tampak kecil. Semua itu relatif dapat dihindari oleh akal. Maka akal atau ruh lebih pantas disebut cahaya daripada mata kasat. Walau akal pun kemudian sering ter-hijab (tertutup) oleh hayalan dan prasangka. Hingga pada saatnya tersingkap penutup itu dan terbukalah rahasia. Ketika itulah dikatakan kepadanya : فكشفنا عنك غطاءك فبصرك اليوم حديد “Dan telah kami singkap hijab (penutup) mu, maka penglihatanmu hari ini sangat tajam,” (QS. Qaf, 50 : 22). Al-Qur’an adalah Pelita yang Menyinari Akal Selanjutnya al-Ghazali, menjelaskan bahwa meskipun akal memiliki daya lihat, tetapi tidak berarti apa yang dilihatnya memiliki derajat yang sama. Sebagiannya ada yang terlihat layaknya suatu aksiomatis sebagaimana ilmu-ilmu eksakta. Dan ada juga yang tidak terjangkau oleh akal atau tidak sesuai dengan pengalaman akal. Sehingga akal perlu digerakkan, dirangsang, dan diberi perhatian seperti dalam masalah teori-teori. Pada titik ini, yang mampu memberikan hanyalah para hukama’, yaitu orang-orang yang memperoleh pancaran cahaya hikmah. Ketika seseorang mendapat pancaran cahaya hikmah, dia akan dapat melihat sesuatu secara otomatis karena kehendak-Nya. Dan hikmah terbesar di sini adalah Kalam Allah. Di antara kalam-Nya adalah al-Qur’an. Karenanya, posisi ayat-ayat al-Qur’an di mata akal seperti sinar matahari bagi kasat mata. Al-Qur’an adalah cahaya bagi akal, dan akal adalah cahaya bagi mata. Dengan kerangka inilah dipahami makna Firman Allah SWT: فآمنوا بالله ورسوله والنور الذي أنزلنا والله بما تعملون خبير Artinya : “Dan berimanlah kalian kepada Allah dan Rasul-Nya, dan kepada Nur (Cahaya) yang Kami turunkan.” (QS. Al-Taghabun, 64: 8). Dan Firman-Nya : يا أيها الناس قد جاءكم برهان من ربكم وأنزلنا إليكم نورا مبينا Artinya : “Hai manusia, telah datang kepadamu bukti dari Tuhanmu dan Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang.”(QS. Al-Nisa, 4: 174). Alam Syahadah dan Alam Malakut Kemudian al-Ghazali membedakan dua macam mata, mata inderawi dan mata batin. Mata inderawi ini adalah mata dhahir yang jangkauannya adalah alam yang bisa dirasa dan kasat mata, sementara mata batin adalan mata yang menjangkau alam malakut (alam malaikat). Kedua mata ini memiliki cahaya, yang dengannya kedua mata ini menjadi sempurna. Cahaya mata dhahir adalah matahari dan cahaya mata batin adalah al-Qur’an dan kitab-kitab Allah lainnya yang telah diturunkan. Al-Ghazali membandingkan kedua alam ini (alam syahadah dan alam malakut) bagaikan kulit buah dengan isinya, seperti bentuk dengan ruhnya (esensinya), kegelapan dengan cahaya, atau yang rendah disandingkan dengan yang tinggi. Alam malakut juga sering disebut alam al-ulwi (atas), alam al-ruhani (alam ruhani), dan alam al-nuri (alam cahaya). Sementara alam syahadah sering disebut alam al-sufli (alam rendah), alam al-jismani (alam jasmani), dan alam al-dzulmani (alam kegelapan). Pada dasarnya, manusia tergolong makhluk yang berada di alam rendah, akan tetapi ia dapat naik ke alam yang tinggi. Sedangkan malaikat adalah bagian dari alam malakut, mereka bergantung pada hadirat al-quds (hadirat kesucian Allah SWT), dan dari sana mereka menyinari alam rendah. Rasulullah SAW bersabda : ان الله خلق الخلق فى ظلمة ثمّ افاض عليهم من نوره Artinya : “Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk-Nya dalam kegelapan, kemudian dia melimpahkan cahaya-Nya atas mereka.” Juga dalam sabdanya yang lain : لله ملائكة هم اعلم باعمال النّاس منهم Artinya : “Sesungguhnya Allah SWT mempunyai malaikat, dimana para malaikat ini lebih mengetahui perbuatan manusia, daripada perbuatan mereka sendiri.” Para Nabi, apabila telah naik dan mencapai alam malakut, berarti telah mencapai tingkat yang paling tinggi dan disana mereka dapat menyaksikan beberapa alam gaib, sebab dia telah berada di sisi Allah, yang di tangan-Nya terletak semua kunci kegaiban. Al-Ghazali menjelaskan bahwa alam syahadah adalah miniatur dari alam malakut, ia adalah percikan bekas dari penciptaan alam malakut, seperti halnya bayangan dari fisik seseorang. Sehingga sesuatu yang bersumber dari yang lain, mestinya mempunyai kemiripan dengan aslinya, sedikit ataupun banyak. Barang siapa yang dapat menyingkap hakikat, niscaya dengan mudah akan mampu menyingkap perumpamaan yang ada dalam al-Qur’an. Para Nabi dan Ulama adalah Pelita Allah Seperti telah disebutkan semula bahwa sesuatu yang dapat menerangi dirinya, bahkan dapat menerangi yang lainnya, layaklah baginya disebut ‘cahaya’. Atau bahkan lebih tepat kalau ia disebut lentera yang menyinari (siraj al-munir), karena pancaran sinarnya pada yang lainnya. Dan keistimewaan ini terdapat pada al-ruh al-quds al-nabawi (ruh suci kenabian), yang melalui pancarannya terlimpah cahaya pengetahuan pada makhluk. Dengan demikian, dapat dimengerti kenapa Allah SWT menamakan Nabi Muhammad SAW sebagai siraj al-munir (lentera yang menyinari), yang juga diberikan kepada seluruh nabi dan para ulama (walaupun di antara mereka terdapat perbedaan). Api Sumber Cahaya Bumi Jika kita kembalikan pembahasan kita pada penafsiran ayat di atas, maka pantaslah atas sesuatu yang dapat memberikan cahaya penglihatan kepada yang lain, dinamakan sebagai lentera/pelita penerang. Dan pelita itu memperoleh cahayanya dari sesuatu yang dinamakan api. Cahaya yang ada di atas bumi ini (para Nabi dan ulama) memperoleh cahaya dari alam atas (tinggi). Sedang minyak ruh suci kenabian sendiri nyaris bersinar walaupun tidak tersentuh api. Dan setelah tersentuh api, ruh itu berubah menjadi “cahaya di atas cahaya.” Ruh itu menyulut cahaya bumi, khususnya setelah ruh itu tersentuh oleh ruh Ilahiyah, yang berada di alam atas. Jika ruh atas itu yang dianggap sebagai sumber dari nyalanya segala pelita bumi, maka tidak ada perumpamaan yang lebih tepat bagi ruh itu kecuali api, dan tidak ada perumpamaan bagi api itu kecuali api yang terdapat di balik gunung Sinai (api yang menampakkan diri pada nabi Musa. QS. 28 : 29). Tingkatan Cahaya Cahaya langit adalah sumber cahaya di bumi. Dan apabila diurutkan, maka yang paling dekat dengan sumber cahaya awal itulah yang lebih tepat disebut cahaya, sebab cahaya inilah yang paling tinggi derajatnya. Untuk menjelaskan tata urutan ini, al-Ghazali menggunakan perumpamaan. Seperti halnya cahaya bulan purnama yang masuk ke dalam fentilasi rumah. Cahaya itu jatuh ke sebuah cermin, kemudian cermin yang kejatuhan cahaya itu memantulkannya ke dinding di sekitarnya. Akhirnya dari biasan dinding ini dapat menyinari lantai rumah. Kita memahami bahwa cahaya yang menerangi lantai itu berasal dari cahaya dinding, cahaya dinding bersumber dari cahaya cermin, sedangkan cahaya yang menerpa cermin itu berasal dari cahaya bulan purnama, adapun cahaya bulan itu bersumber dari cahaya matahari. Secara berurutan, keempat cahaya itu tingkatannya lebih tinggi antara yang satu dengan yang lainnya. Dan yang paling tinggi adalah yang paling sempurna. Hal itu juga berlaku bagi cahaya-cahaya malakut. Dan hal ini hanya bisa tersingkap bagi para pemilik bashirah (mata hati). Maka tidak aneh kalau malaikat Istafil di atas tingkatan Jibril. Di antara para malaikat itu terdapat tingkatan yang lebih dekat lagi kepada hadirat al-rububiyah (hadirat ketuhanan), sebagai sumber dari segala cahaya. Di antara mereka terdapat tingkatan yang tidak mungkin dapat di hitung. Diketahui bahwa cahaya-cahaya itu memiliki tata urutan, tapi menurut al-Ghazali, bukan berarti itu sambung-menyambung tanpa batas. Cahaya itu terus membumbung naik hingga mencapai sumber cahaya pertama, yaitu Cahaya itu sendiri, yang Zatnya tidak disinari oleh cahaya lain. Ia memancarkan cahayanya ke seluruh cahaya sesuai dengan tata urutannya masing-masing. Maka sekarang, al-Ghazali mempertanyakan, manakah yang lebih berhak disebut cahaya, apakah cahaya yang merupakan hasil pinjaman dari yang lain ataukah yang bercahaya dengan sendirinya sekaligus memberi cahaya pada setiap yang lainnya?. Maka jelaslah menurutnya, bahwa yang paling berhak disebut cahaya hanyalah cahaya yang paling jauh dan tertinggi, yang tidak ada lagi cahaya di atasnya dan darinya terpancarlah cahaya-cahaya menuju lainnya. Sampai sini, jelaslah penafsiran al-Ghazali atas ayat di atas, bahwa “Allah adalah cahaya langit dan bumi.” Perumpamaan Misykat, Pelita, Kaca, Pohon, Minyak dan Api Dalam menjelaskan perumpamaan di atas, al-Ghazali pertama-tama mengajukan dua pokok pembahasan. Pertama, penjelasan tentang rahasia perumpamaan, metode, dan sistematika makna-makna yang dikemas dalam bentuk perumpamaan itu. Dan menyangkut relevansi alam syahadah sebagai materi perumpamaan dengan alam malakut, yang dari alam itu ruh-ruh turun. Kedua, penjelasan tentang tingkatan ruh manusiawi dan derajat cahayanya. Perumpamaan tersebut tersirat pada surat al-Nur : 35. Ibn Mas’ud membaca ayat tersebut sebagai berikut : مثل نوره (فى قلب المؤمن) كمشكاة فيها.... “Perumpamaan cahaya Allah ( di dalam hati orang-orang mukmin) seperti misykat …” sedangkan Ubay bin Kaab membacanya sebagai berikut : “Perumpamaan cahaya hati orang-orang mukmin seperti misykat di dalamnya…” A. Rahasia Perumpamaan dan Metodenya Al-Ghazali mengatakan bahwa alam ini ada dua macam: alam ruhani dan alam jasmani. Untuk kedua alam ini terdapat banyak peristilahan tetapi maknanya adalah sama. Orang yang telah mencapai alam hakikat, mereka menjadikan makna sebagai pokok, sedangkan istilah hanyalah sebagai pelengkap saja. Di antara kedua alam ini terdapat hubungan. Alam inderawi (jasmani) hanyalah media pendakian ke alam akal (ruhani). Seandainya tidak ada hubungan antara kedua alam ini, niscaya jalan pendakian ke alam akal akan tertutup. Jika media itu tertutup, maka mustahil bagi seseorang untuk berjalan menuju ke hadirat rububiyah dan termasuk pula jalan untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah SWT. Siapa pun tidak akan bisa mendekatkan diri kepada Allah SWT sebelum menginjakkan kakinya di arena hadirat al-quds. Sedangkan hadirat al-quds yang al-Ghazali maksud adalah alam yang tidak dapat disadap oleh indera penglihatan maupun khayalan. Secara global, yang dimaksud dengan hadirat al-quds adalah kawasan di mana tidak ada sesuatu yang keluar darinya, dan tidak ada pula sesuatu yang asing baginya yang masuk ke dalamnya. Al-Ghazali menamakan ini al-ruh al-basyari (ruh manusiawi), yaitu tempat limpahan goresan-goresan kesucian yang disebut al-wadi al-quds (lembah kesucian). Secara majazi, istilah hadirah al-quds ini dapat diartikan dengan ruang kesucian Ilahi. Ketika berbicara tentang Zat Allah berkaitan dengan ayat di atas, al-Ghazali mengatakan bahwa tidak ada perumpamaan bagi Zat, karena Dia Maha Suci dari seluruh bentuk perumpamaan dan kesamaan. Dia adalah Allah Yang Maha Haqq. Hal ini juga seperti yang dikatakan Rasulullah SAW ketika ditanya tentang perumpamaan Allah. Beliau hanya menjawab dengan membacakan surat al-Ikhlas. Begitu pula ketika Nabi Musa as. ditanya oleh Fir’aun tentang hal itu, Nabi Musa hanya menjawab : “Dia adalah Tuhan langit dan bumi”. Dan selanjutnya : “Dia adalah Tuhan kalian dan Tuhan kakek moyang kalian yang terdahulu…”(QS. Ash-Shaffat, 37 : 126). Mengenai perumpamaan ini, al-Ghazali kemudian menyinggung permisalan dalam ta’bir mimpi. Menurutnya, mimpi merupakan bagian dari kenabian. Bermimpi tentang matahari dapat dita’birkan sebagai raja. Penta’biran itu tentunya didasarkan atas persamaan makna (simbol), yaitu kekuasaan yang tinggi dengan memancarkan cahaya pengaruh dan wibawanya di depan rakyat. Bulan diartikan sebagai seorang menteri, karena ketika matahari tidak tampak, dia limpahkan cahayanya kepada bulan untuk memberikan sinarnya ke bumi. Sang raja melimpahkan tugasnya kepada para menterinya untuk disampaikan kepada rakyatnya. Dan masih banyak lagi ta’bir mimpi yang lain, yang itu semua artinya bahwa dari alam ruhani yang tinggi itu terdapat perumpamaan-perumpamaan, yang darinya memancar percikan ma’rifat dan mukasyafah (keterbukaan tabir kegaiban secara spiritual) ke dalam kalbu insani. B. Tingkatan Cahaya Manusia Untuk Memahami Ilustrasi Dalam Al-Qur’an Dalam membahas tingkatan cahaya manusia ini, al-Ghazali membedakannya menjadi lima macam. Pertama, ruh inderawi, yaitu ruh yang dapat menyadap segala sesuatu yang ditranfer oleh panca indera. Kedua, ruh khayal (ruh imajinatif), yaitu ruh yang merekam informasi yang disampaikan oleh panca indera, kemudian menyimpannya, selanjutnya dikirim ke ruh akal di saat membutuhkannya. Ketiga, ruh aqli, yaitu ruh yang dapat menyadap makna-makna di luar indera dan khayal. Ruh ini merupakan substansi manusiawi yang tidak dimiliki oleh hewan, bayi, atau anak kecil. Keempat, ruh fikri (ruh pemikiran), yaitu ruh yang mengambil ilmu-ilmu akal murni. Dan kelima, ruh al-quds al-nabawi (ruh suci kenabian), yaitu ruh yang khusus dimiliki oleh para Nabi dan sebagian para wali. Di dalam ruh ini tersingkaplah lauh-lauh (catatan-catatan) gaib, terbuka pula hukum-hukum akhirat, pengetahuan-pengetahuan tentang kerajaan langit dan bumi, bahkan terbuka pula pengetahuan-pengetahuan rabbani (tentang ketuhanan), yang semua itu tidak dapat terjangkau oleh kemampuan akal dan pemikiran. Pengertian Allah Adalah Cahaya Langit dan Bumi Semua (kelima) macam ruh di atas adalah cahaya-cahaya, sebab dengan cahaya itu segala sesuatu menjadi kelihatan. Dan kelima ruh tersebut oleh al-Ghazali diperbandingkan dengan misykat, kaca (zujajah), pelita (mishbah), pohon (sajarah), dan minyak (zaitun). Pertama, tentang ruh inderawi, bila dilihat dari keistimewaannya, akan ditemukan cahayanya yang keluar dari berbagai celah seperti mata, telinga, hidung, den sebagainya. Karena itu perumpamaannya yang paling tepat baginya di alam kasat mata adalah Misykat. Kedua, tentang ruh khayali, memiliki tiga sifat: 1). Ia berasal dari materi alam rendah yang pekat, 2). Khayal yang pekat ini bila dijernihkan, diperhalus, dan dirapikan akan mendekati batas makna yang hanya dapat ditangkap oleh daya akal, sehingga hampir menyamainya dan tidak menghalangi pancaran cahaya darinya, 3). Khayal itu pada dasarnya sangat dibutuhkan untuk membuat sistematika ilmu pengetahuan, agar tidak goyah, tidak terombang ambing, dan tidak berantakan. Ketiga ciri khas ini tidak akan ditemui perumpamaannya pada benda apa pun di alam kasat mata, dalam hubungannya “kaca yang melihat”, kecuali pada ‘kaca’ (zujajah). Ketiga, tentang ruh aqli, yang berfungsi untuk menangkap makna-makna mulia Ilahiyah. Maka perumpamaanya adalah ‘Pelita’ (Mishbah). Dari penjelasan yang lalu ditemukan alasan kenapa para Nabi itu disebut sebagai siraj al-munir (Pelita penerang). Keempat, tentang ruh fikri, dimana di antara ciri khasnya adalah ia tumbuh dari ‘satu’ kemudian bercabang menjadi ‘dua’, dan masing-masing keduanya bercabang-cabang lagi, begitu seterusnya, sehingga menjadi banyak. Setelah itu cabang-cabang itu membuahkan benih baru untuk ditanam menjadi pohon serupa. Dengan demikian perumpamaan ruh fikr (pemikiran) yang paling tepat di alam kasat mata ini adalah “Pohon” (Sajarah). Dan pohon yang paling tepat adalah pohon zaitun, yang minyaknya dapat dijadikan bahan bakar untuk menyalakan pelita. Di samping itu minyak zaitun memiliki keistimewaan, yakni cahaya yang ditimbulkan lebih terang daripada minyak lainnya. Jika pohon yang banyak buahnya dinamakan dengan pohon berkah, maka pohon zaitun yang sangat banyak buahnya lebih tepat dinamakan pohon ‘penuh berkah’, atau ‘pohon yang diberkahi’. Dan bila cabang dari akal pikiran murni tidak dapat dikaitkan dengan arah dekat atau jauh, berarti cabang pikiran itu tidak di timur dan juga tidak di barat. Kelima, tentang ruh kenabian, yang dihubungkan dengan para nabi dan wali, yakni ketika ruh ini dalam kondisi puncak kebenderangan dan kejernihan. Ruh pikiran ini ada dua macam, yaitu : 1). Ruh pikiran yang memerlukan pengajaran, rangsangan, dan motivasi dari luar, agar tetap berkembang menuju ilmu pengetahuan, dan 2). Ruh pikiran yang mampu mengembangkan diri tanpa bantuan dari luar. Bagi ruh pikiran murni yang memiliki kesiapan yang kuat, digambarkan seperti minyaknya saja bercahaya walaupun tidak tersentuh api. Sebab di antara para wali ada juga yang nyaris bercahaya dengan sendirinya, sehingga seakan-akan tidak memerlukan bantuan dari para Nabi. Demikian juga di antara para nabi ada yang hampir tidak membutuhkan bantuan malaikat. Begitulah perumpamaan “Minyak” (Zaitun) ini sangat sesuai dengan ruh seperti dibahas tadi. Menurut al-Ghazali, jika cahaya ini membentuk sistem, maka cahaya inderawi menduduki posisi pertama dan menjadi mukaddimah bagi cahaya khayali, begitulah seterusnya sampai pada cahaya fikri (pemikiran) dan cahaya akal. Dengan demikian tepat sekali bila “kaca” (semprong) dijadikan tempat bagi pelita (lampu), dan misykat (ceruk) itu sebagai tempat kaca. Jelasnya, pelita itu berada di dalam kaca dan kaca berada di dalam misykat. Jika semua itu dinamakan cahaya-cahaya, dimana cahaya yang satu berada di atas cahaya lainnya, maka itulah yang dimaksudkan dengan ilustrasi Cahaya di atas cahaya. Demikianlah penafsiran sang sufi agung yang sudah mencapai tingkat hakikat. Sehingga ia mampu menyibak tirai hijab, menguak rahasia terdalam, dan membuka pintu pengetahuan yang tersirat dari al-Qur’an surat an-Nur : 35 ini. Walaupun beliau sendiri mengatakan bahwa penjelasan yang ada dalam kitab ini tidaklah mampu menguak semua misteri hakikat, tetapi paling tidak, beliau dengan karyanya ini telah mampu memperkenalkan gambaran-gambaran alam hakikat dan mengantarkan kita ke gerbang lautan Kerajaan Ilahi yang tak bertepi. Subhanallah. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Read more at: http://alifbraja.blogspot.com/2012/10/penafsiran-sufi-atas-ayat-cahaya.html
Copyright © ALIFBRAJA|alifbraja.blogspot.com Under Common Share Alike Atribution
Read more at: http://alifbraja.blogspot.com/2012/10/penafsiran-sufi-atas-ayat-cahaya.html
Copyright © ALIFBRAJA|alifbraja.blogspot.com Under Common Share Alike Atribution

Perbedaan Singkat Epistemologi 'Ulama dan Sufi

Dalam buku Ihya Ulumuddin, Imam Al-Ghazali mengulas perbedaan epistemologi antara jalan 'Ulama dan Sufi. Sedangkan, uraian secara singkat, kita dapat menemuinya di buku Mursyidul Amin. Kami mengulas hal ini karena tema ini adalah tema yang menarik. Kami menyuguhkan model untuk menggambarkannya secara artifisial. Maksudnya, model ini hanya gambaran, dan bukan merepresentasikan kondisi yang sesungguhnya. Singkatnya, uraian ini adalah ringkasan dari topik perbedaan metode shufiyah dan 'ulama di dalam Buku Ihya' Ulumuddin.




Gambar di atas adalah model perbedaan epistemologi shufiyah dan ulama'. Al-Ghazali mengenali dua cara, yaitu: Thoriqul 'Ulama (Jalan Ulama/Scientist) dan Thoriqul Shufiyah (Jalan Shufiyah).

Yang pertama, Thoriqul 'Ulama (Jalan Ilmuwan/Scientist) adalah suatu jalan bagaimana seseorang mendapatkan hakekat pengetahuan melalui pembelajaran, berpikir, dialog, penelitian, dan sejenisnya. Al-Ghazali mengelompokkan dan menyebut ilmu-ilmu untuk mencapai hakekat pengetahuan dengan istilah "Ilmu Mu'amalah". Kemudian, cara yang dipakai untuk mendapatkan pengetahuan itu, kami menyebutnya Tartibul Barahin. Sebenarnya, Al-Ghazali tidak menyebut istilah tersebut, namun kami mendapatkannya dari Guru kami.

Tartibul Barahin merupakan cara memahami pengetahuan secara rapi dengan memakai induksi, deduksi, dan dialektik. Cara ini kita sering temui di sekolah, madrasah, universitas, dan sejenisnya. Seseorang belajar dari tingkat elementary hingga Phd. Mereka mempelajari pengetahuan dari Dalil, Postulat, Aksioma, teori, penelitian, observasi, wawancara, survay, dan sejenisnya. Pengetahuan yang reliable (handal) dan valid (sah) adalah pengetahuan yang rasional, fisik, empiris, dan bisa dibuktikan. Orang yang ahli dalam jalan ini disebut 'ulama, Cendekia, Sarjana, dan sejenisnya.

Selanjutnya, atau yang kedua, Thoriqul Shufiyah (Jalan Sufistik) adalah suatu jalan bagaimana seseorang mencapai hakekat pengetahuan melalui pembersihan nafsu dan hati. Jalan Sufistik tidak bisa ditemui di sekolah atau universitas. Begitu pula, Sufistik tidak menekankan pembelajaran teori-teori, postulat, atau aksioma seperti yang dilakukan pelajar di sekolah atau madrasah. Sebagai gantinya, Sufistik menekankan perilaku yang baik di kehidupan. Manusia yang telah berhasil menjalani Thoriqul Shufiyah disebut Sufi. Kita bisa menemui Bimbingan Jalan Sufistik melalui kelompok Thoriqoh dan sejenisnya. Al-Ghazali menyebut ilmu-ilmu dalam Jalan Sufistik melalui sebutan "Ilmu Mukasyafah" dan "Ilmu Tasawwuf". Kemudian, cara yang dipakai untuk mendapatkan pengetahuan itu, beliau menyebutnya dengan istilah "Tazkiyat An-nafs".

Menurut jalan sufistik, ukuran pengetahuan yang reliable dan valid adalah pengetahuan yang berasal dari hati yang bersih. Karena itu, pengetahuan lebih berasal dari intuisi dan perasaan yang mencerminkan subyektivitas sufi daripada pengetahuan rasional dan empiris. Intuisi hadir secara tiba-tiba ke dalam hati, kemudian, memecahkan masalah-masalah. Seperti seseorang yang tiba-tiba mendapatkan Mercedez Tiger untuk mengantarnya ke Istana Negara daripada harus memilih Bus Kota.

Sedangkan, Tazkiyat An-nafs merupakan cara bagaimana seseorang membersihkan jiwa dan hati. Beliau menganalogikan bahwa hati manusia seperti cermin. Jika cermin itu bersih maka dia bisa menerima bayangan gambar secara bagus. Sebaliknya, jika cermin itu kotor maka dia tidak bisa menerima gambar secara bagus dan rinci. Cermin yang kotor seperti hijab yang menutupi gambar yang diterima cermin. Manusia hanya bisa membersihkan cermin itu melalui peningkatan perilaku baik dan mengurangi prilaku buruk. Contoh dari perilaku buruk/jahat, misalnya: "marah", "iri dan dengki", mengumbar nafsu seks, dan sejenisnya. Sedangkan contoh dari perilaku baik misalnya: ikhlas, sabar, dzikir, dan sejenisnya.

Masyarakat awam dan berpengetahuan rendah sering mengadakan superioritas dengan membanding-bandingkan di antara kedua jalan di atas. Padahal, sebenarnya, keduanya bukan dimaksudkan untuk saling berseteru. Masyarakat harus memposisikan keduanya secara baik dan bukan saling merendahkan satu sama lain. Karena hal itu tidak menambah kemaslahatan apapun tapi akan memperburuk suasana menjadi mencekam, prasangka jahat, dan muram.

Yang terakhir, Kedua jalan dan cara di atas bukanlah lawan atau antonim satu sama lainnya. Al-Ghazali menegaskan bahwa keduanya bisa eksis secara harmonis. Para 'ulama dan Shufi harus bersatu, tidak bercerai-berai, dan tidak saling berperang argumen satu sama lainnya. Karena hal tersebut bisa mengakibatkan kebingungan Peradaban Dunia Muslim seperti di masa lalu.


Sumber cahaya biru

Energi Listrik dalam Tubuh


Sebelum manusia mengenal listrik, ternyata Allah SWT telah menggelarkan listrik dalam tubuh manusia secara sangat canggih, bahkan sejak dari dihadirkan-Nya manusia pertama di bumi. Sel-sel dalam tubuh manusia yang jumlahnya lebih dari satu triliun masing- masing mempunyai muatan listrik sebesar 90 mV dengan muatan positif di luar membran sel dan muatan negatif di dalamnya.
Bila dapat dibuat hubungan seri dalam masalah listriknya antara satu sel dengan sel lain, maka memang tubuh manusia mempunyai potensi yang sangat besar dalam menghasilkan tenaga listrik. Misalnya untuk menghasilkan tegangan 220V (tegangan listrik rumah tangga) diperlukan hubungan seri 2500 sel saja, sedangkan tubuh manusia mengandung lebih dari satu triliun sel. Apakah hal yang demikian dapat dilakukan dalam tubuh manusia? Entahlah. Tetapi memang ada diberitakan, orang dapat menyalakan bola lampu hanya dengan memegang kutub-kutubnya, sehingga kiranya memang bukan hal yang mustahil, sebab bahan bakunya telah tersedia dalam tubuh manusia itu sendiri.
Semua alat tubuh manusia dalam menjalankan fungsinya selalu berkaitan dengan masalah listrik ini, khususnya saraf dan otot jantung. Penyakit dapat menimbulkan gangguan listrik dalam tubuh, sebaliknya gangguan listrik pada suatu alat tubuh dapat menimbulkan gejala penyakit.
Misalnya radang (selaput) otak dapat menimbulkan gangguan listrik pada otak, sehingga menyebabkan terjadinya kejang-kejang; sebaliknya gangguan listrik pada otak dapat menimbulkan gejala penyakit misalnya epilepsi (ayan). Hal yang sama dapat terjadi, baik pada otot maupun pada jantung, misalnya iskemia (kekurangan darah) atau infarct (kematian jaringan) otot jantung dapat menyebabkan gangguan tata listrik jantung, sebaliknya gangguan tata listrik jantung dapat menimbulkan gangguan irama denyut jantung (extra systole).
Hal-hal tersebut di atas dikemukakan, olehkarena ada disebut-sebut bahwa tenaga dalam ditimbulkan sebagai hasil dari pengaturan tata listrik dalam tubuh yang kemudian menghasilkan medan elektromagnetik yang mengelilingi tubuhnya. Bila memang demikian masalahnya, maka adanya medan elektromagnetik tersebut tentulah akan dapat dibuktikan berdasarkan hukum-hukum fisika. Contoh: sebuah kumparan kawat listrik yang diletakkan dekat pada sebuah kompas; bila kumparan itu kemudian dihubungkan dengan sumber arus listrik searah (batu baterai, accu), maka akan segera terbentuk medan elektromagnetik sekitar kumpatan itu. Bersama dengan terbentuknya medan elektromagnetik, maka jarum kompas (jarum kompas tiada lain adalah sebuah magnet) akan menunjukkan pergerakan. Makin kuat sumber arusnya, makin kuat dan luas medan elektromagnetik yang terbentuk dan makin besar terjadinya pergerakan jarum kompas itu. Demikian juga dalam hal jaraknya; makin dekat letak kompas terhadap kumparan makin besar pergerakan jarum kompas itu yang terjadi. Akan tetapi ada satu posisi tertentu di mana jarum kompas dapat sama sekali tidak bergerak, berapapun arus listrik yang dialirkan melalui kumparan, yaitu bilamana posisi kumparan kawat itu sedemikian rupa, sehingga arah medan elektromagnetik yang dihasilkan kumparan tepat sama dengan arah medan magnetik yang dihasilkan oleh jarum kompas itu.
Pada dasarnya semua orang mempunyai tenaga dalam, hanya saja tenaga dalam pada manusia biasa yang belum diolah masih dalam arah yang simpang-siur sehingga "tidak muncul ke luar". Tetapi bila kemudian diolah (melalui olah tenaga dalam) dan "dibuka" (oleh orang bertenaga dalam yang telah mampu), dan selanjutnya proses demikian diulang-tingkatkan (diulang dan ditingkatkan) lebih lanjut, maka keadaannya adalah ibarat besi lunak yang secara bertahap diolah menjadi baja dan pada setiap akhir tahap pengolahan diperkuat sifat magnetnya. Demikianlah, maka dengan melalui proses yang kira-kira serupa dapatlah dikembangkan tenaga dalam pada seseorang dan jadilah ia kini memiliki tenaga dalam yang "telah terwujud".
Dalam kaitan dengan proses tersebut di atas tadi, kiranya memang sangat beralasan adanya syarat minimal telah menjalani sekian kali latihan (18x) pada setiap tingkat, sebelum diizinkan mengikuti ujian kenaikan tingkat berikutnya ("dibuka" lebih lanjut). Selanjutnya, sebagaimana jarum baja yang telah dibuat magnet menjadi peka terhadap hal-hal yang bersifat (elektro)magnetik, maka orang yang "telah memiliki" tenaga dalam dapat menjadi peka terhadap adanya getaran-getaran yang bersifat tenaga dalam, baik yang berasal dari manusia ataupun sumber-sumber lainnya yang bersifat nyata maupun yang bersifat ghaib.
Orang yang sedang "dibuka" adalah ibarat jarum baja yang sedang diperam dalam kumparan kawat arus listrik searah atau ibarat sedang digosok-gosokkan kepada suatu magnet agar letak molekul-molekulnya menjadi teratur dan searah, atau dengan perkataan lain arah molekul-molekulnya sedang dibuat menjadi "sinkron". Pengertikan "dibuka" lebih tepat bila diartikan di"sinkron"kan, oleh karena pengertian di"buka" memang sering diasosiasikan kepada adanya "sesuatu" yang dimasukkan ke dalam diri orang yang di"buka" oleh orang yang mem"buka", sedangkan sesungguhnya tidak ada sesuatu apapun yang dimasukkan oleh yang mem"buka" ke dalam diri orang yang di"buka".
Semua aktivitas fisiologis dalam tubuh manusia berhubungan dengan peristiwa listrik. Penyerang dengan emosinya yang berkobar dan maksud jahatnya untuk mencelakakan yang akan diserang, akan mempolakan cara menyerang dalam otaknya dan kemudian mewujudkannya dengan pergerakan kekuatan otot yang cukup besar. Kesemuanya ini berkaitan dengan peristiwa listrik dalam tubuhnya. Makin kuat emosinya dan makin keras upayanya untuk mencelakakan, maka makin besar terbangkitnya peristiwa listrik dalam tubuhnya. Pembangkitan peristiwa listrik dalam tubuh yang diluar kebiasaannya ini akan menghasilkan gelombang elektromagnetik yang berbeda arah dengan gelombang elektromagnetik orang bertenaga dalam yang akan diserang. Akibatnya ialah, gelombang elektromagnetik penyerang mengalami perubahan (terinduksi) dengan akibat lebih lanjut menjadi kacaunya gerakan menyerangnya, yang wujudnya ialah menjadi terpentalnya penyerang tersebut.
Keadaan tadi kiranya sama dengan jarum kompas yang didekatkan dengan letak yang tidak sesuai dengan arah gelombang elektromagnetik kumparan tersebut, yang akan menyebabkan jarum kompas itu bergerak. Bila orang yang diserang tidak mempunyai tenaga dalam, peristiwa seperti contoh di atas tidak akan terjadi, oleh karena orang yang tidak mempunyai tenaga dalam tidak memancarkan gelombang elektromagnetik dalam tubuhnya.
Ada satu pertanyaan. Mengapa bukan orang yang bertenaga dalam yang mental oleh pengaruh gelombang elektromagnetik orang yang menyerang? Hal ini pada umumnya tidak akan terjadi, oleh karena orang yang akan diserang biasanya berada dalam posisi tubuh yang lebih stabil dan akan lebih baik lagi bila orang itu juga berada dalam kondisi emosional yang tenang. Di samping itu, gelombang elektromagnetik orang yang bertenaga dalam lebih besar, sudah mapan dan mantap (selalu ada) dibandingkan dengan gelombang elektromagnetik "bangkitan sewaktu" dari orang yang sedang emosi. Makin besar tenaga dalam yang dimiliki orang yang akan diserang, makin tebal selubung gelombang elektromagnetiknya, sehingga semakin sulit bagi penyerang untuk mendekati orang yang akan diserangnya. Ibaratnya jarum kompas (apalagi jarum kompas "bangkitan sewaktu") tidak akan mampu menggerakkan besi magnet dan semakin besar magnet itu, maka jarum kompas yang didekatkan kepadanya sudah bergerak walaupun jaraknya masih jauh.
Kita kembali lagi, kalau orang tersebut tidak bermaksud menyerang, sekalipun ia mengerahkan kekuatan otot yang cukup besar, gerakannya tidak akan menjadi kacau karena arah gelombang elektromagnetiknya searah dengan gelombang elektromagnetik orang yang mempunyai tenaga dalam. Keadaannya sama dengan jarum kompas yang terletak dekat pada kumparan kawat dengan arus listrik searah dengan posisi sedemikian rupa, sehingga arah gelombang elektromagnetik kumparan sama dengan arah gelombang elektromagnetik jarum kompas itu, sebagaimana yang telah dikemukakan di bagian depan.
Sebuah pertanyaan lagi. Bagaimana bila si penyerang itu juga bertenaga dalam? Perlu diketahui bahwa sesama tenaga dalam adalah gelombang elektromagnetik yang searah, sehingga tidak akan saling berbenturan. Yang akan berbenturan ialah gelombang elektromagnetik "bangkitan sewaktu" hasil dari luapan emosi seseorang terhadap gelombang elektromagnetik tenaga dalam orang lain. 
 
sumber :Mantra Bumi

Rahasia Huruf Hijaiyyah

Ada dua puluh sembilan huruf Hijaiyah. Awalnya adalah alif, kemudian ba, kemudian ta, dan akhirnya adalah ya. Huruf kedua, Ba, merangkum semua pengetahuan tentang wujud semesta. Ba adalah Bahr, Samudera. Setiap wujud sejatinya meng-ada di dalam “samudera” abadi ini. Renungkanlah perlahan sekali…
Ba-Bahr Al Qudrah-Samudera Kehendak
Tubuh kita dan segala benda-benda, air yang kita teguk dan udara yang kita hirup, segala yang kita lihat sentuh dan rasakan, padat cair dan gas, semuanya terbangun dari atom-atom. Kita semua sudah tahu itu.

Meski atom bukanlah elemen terkecil dari benda-benda, sebagaimana telah ditunjukkan oleh para ahli fisika kuantum, mari kita batasi perjalanan kita hanya sampai di atom ini. Inti atom (nucleus) merupakan pusat atom. Seberapa besar inti atom ini? Jika kita perbesar ukuran sebiji atom menjadi sebesar bola berdiameter 200 meter, maka besarnya inti atom adalah sebesar sebutir debu di pusatnya.
Hebatnya, sebutir debu ini membawa 99,95% massa atom seluruhnya yang dipadatkan oleh strong nuclear force ke dalam partikel proton. Sementara elektron-elektron sangatlah ringan dan bergerak mengelilingi proton pada jarak yang jauh sekali. Seberapa jauh? Jika kita perbesar ukuran elektron menjadi sebesar biji kelereng, maka jarak antara elektron ini ke inti atom adalah sejauh satu kilometer! Ada apa di antara elektron dengan proton? Tidak ada apa-apa. Hanya ruang kosong semata sepanjang jarak satu kilometer itu!
Sebutir garam terdiri dari banyak sekali atom. Jika kita bisa menghitung satu milyar atom dalam sedetik, maka kita membutuhkan lebih dari lima ratus tahun untuk menghitung jumlah seluruh atom di dalam sebutir garam saja! Atom-atom itu secara rapi membangun wujud sebutir garam. Dan di dalamnya terbentang ruang kosong di antara atom-atomnya. Sebagaimana samudera. Sebutir garam mewujud di dalamnya. Ia “berenang” dan meng-ada di dalamnya. Juga kita dan semua benda-benda.
Wujud kita sejatinya selalu berada di dalam samudera ruang kosong….di dalam samudera atomis gaya-gaya….di dalam samudera kehendakNya (Bahr al-Qudrah)…
Dari Husein bin Ali bin Abi Thalib as. :
Seorang
Yahudi mendatangi Nabi Muhammad SAW. Pada saat itu Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as bersama Nabi.
Yahudi itu berkata kepada Nabi Muhammad SAW : “apa faedah dari  huruf hijaiyah?”

Rasulullah SAW lalu berkata kepada Ali bin Abi Thalib as, “Jawablah”.
Lalu Rasulullah SAW mendoakan Ali, “ya Allah, sukseskan Ali dan bungkam orang Yahudi itu”.

Lalu Ali berkata : “Tidak ada satu huruf-pun kecuali semua bersumber pada nama-nama Allah swt”.
Kemudian Ali berkata :
  1. “Adapun Alif artinya tidak ada Tuhan selain Dia yang Maha Hidup dan Kokoh,
  2. Adapun Ba artinya tetap ada setelah musnah seluruh makhluk-Nya.
  3. Adapun Ta, artinya yang maha menerima taubat, menerima taubat dari semua hamba-Nya,
  4. adapun Tsa artinya adalah yang mengokohkan semua makhluk “Dialah yang mengokohkan orang-orang beriman dengan perkataan yang kokoh dalam kehidupan dunia”
  5. Adapun Jim maksudnya adalah keluhuran sebutan dan pujian-Nya serta suci seluruh nama-nama-Nya.
  6. Adapun Ha adalah Al Haq, Maha hidup dan penyayang.
  7. Kha maksudnya adalah maha mengetahui akan seluruh perbuatan hamba-hamba-Nya.
  8. Dal artinya pemberi balasan pada hari kiamat,
  9. Dzal artinya pemilik segala keagungan dan kemuliaan.
  10. Ra artinya lemah lembut terhadap hamba-hamba-Nya.
  11. Zay artinya hiasan penghambaan.
  12. Sin artinya Maha mendengar dan melihat. 
  13. Syin artinya yang disyukuri oleh hamba-Nya.
  14. Shad maksudnya adalah Maha benar dalam setiap janji-Nya.
  15. Dhad artinya adalah yang memberikan madharat dan manfaat.
  16. Tha artinya Yang suci dan mensucikan,
  17. Dzha artinya Yang maha nampak dan menampakan seluruh tanda-tanda.
  18. Ayn artinya Maha mengetahui hamba-hamba-Nya.
  19. Ghayn artinya tempat mengharap para pengharap dari semua ciptaan-Nya.
  20. Fa artinya yang menumbuhkan biji-bijian dan tumbuhan.
  21. Qaf artinya adalah Maha kuasa atas segala makhluk-Nya
  22. Kaf artinya yang Maha mencukupkan yang tidak ada satupun yang setara dengan-Nya, Dia tidak beranak dan tidak diperanakan.
  23. Adapun Lam maksudnya adalah maha lembut terhadap hamba-nya.
  24. Mim artinya pemilik semua kerajaan.
  25. Nun maksudnya adalah cahaya bagi langit yang bersumber pada cahaya arasynya.
  26. Adapun waw artinya adalah, satu, esa, tempat bergantung semua makhluk dan tidak beranak serta diperanakan.
  27. Ha artinya Memberi petunjuk bagi makhluk-Nya.
  28. Lam alif artinya tidak ada tuhan selain Allah, satu-satunya serta tidak ada sekutu bagi-Nya.
  29. Adapun ya artinya tangan Allah yang terbuka bagi seluruh makhluk-Nya”. 
Rasulullah lalu berkata “Inilah perkataan dari orang yang telah diridhai Allah dari semua makhluk-Nya”.
Mendengar penjelasan itu maka yahudi itu masuk Islam.
Dari Ibrahim bin Khuttab, dari Ahmad bin Khalid, dari Salamah bin Al Fadl, dari Abdullah bin Najiyah, dari Ahmad bin Badil Al Ayyamy, dari Amr bin Hamid hakim kota ad Dainur, dari Farat bin as Saib dari Maimun bin Mahran, dari Ibnu Abbas dan sanadnya Rosulullah SAW, ia berkata: “Segala sesuatu ada penjelasan (tafsir)nya yang diketahui oleh orang yang mengetahuinya dan tidak diketahui oleh orang yang tidak mengetahuinya”.

Kamis, 25 Juli 2013

Kamis, 18 Juli 2013

Tuhan
Dalam sholatku
NamaMu kuhidupkan

Tuhan
Dalam Sholatku
Hidupku kuserahkan

Minggu, 14 Juli 2013

TADARUSAN DI RUMAH NDERES MALAM KE 6

THIS IS IBU-IBU TIMES
 
TADARUS DI RUMAH NDERES SAMMANI MALAM KE 2

TADARUSAN SEBELUM HUJAN
"SATRIA TERAKHIR"TADARUS SAMPAI JAM 02.00
DILUAR HUJAN MAKANYA PINDAH DI DALAM

Malam Megengan Di Rumah Nderes Sammani


Mas Sammani diapit Ki Mas Ahmad Ghozali dan Sayid Mustofa As segaf
BEGINI SUASANA SAKRAL PARA WARGA GANG TAMAN YANG SEDANG BERTAWASSUL
ENAKE REK
YANG SABAR PAK SEMUA DAPAT JATAH
JANGAN REBUTAN

Senin, 08 Juli 2013






TUAN GURU KAMI 

Sabda Rasulullah SAW: “Tiada siapapun yang lebih pencemburu dari Allah, karena itulah Dia (SWT) melarang perbuatan dosa dan jahat, yang terang terangan atau yang tersembunyi, dan tiada siapapun yang lebih suka dipuji, selain Allah, oleh sebab itulah Dia (SWT) memuji Dzat-Nya (SWT) sendiri) (Shahih Bukhari)

Meriahnya Syukuran  malam Nisfu Sya'ban



 Sya'ban adalah bulan sebelum Ramadhan yang dinantikan oleh kaum Muslimin dengan melakukan ritual untuk mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa. Ritual di bulan ini dianggap sebagai 'pemanasan' jelang Ramadhan.
 Sya’ban adalah bulan kedelapan dalam penanggalan Hijriyah. Keistimewaan bulan ini terletak pada pertengahannya yang biasanya disebut sebagai Nisfu Sya’ban. Secara harfiyah istilah Nisfu Sya’ban berarti hari atau malam pertengahan bulan Sya’ban atau tanggal 15 Sya’ban.

Malam Nisfu Sya'ban yang jatuh pada malam kemarin , Minggu (23/6), Rumah Nderes Sammani mengadakan syukuran disamping dihadiri para santri dan wali santri Rumah Nderes Sammani juga mengundang masyarakat sekitar Gang Taman Jalan Raya Pemogan

Acara di mulai Ba`da Maghrib Selain dengan tujuan menggelar shalat magrib berjamaah, juga digelar pembacaan Yasin serta doa-doa yang berhubungan dengan Nisfu Sya'ban.
Tak semeriah seperti di Masjid tapi menjadi obat kangen bagi masyarakat Gang Taman karena sekian lama tidak ada kegiatan kumpul-kumpul seperti yang dulu.
Pada kesempatan itu Mas Sammani menerangkan kepada Undangan tentang keutaman Malam Nisfu Sya`ban Nisfu artinya separuh, atau tengah, tengah. Sedangkan Syakban merujuk nama bulan ke-8 penanggalan Islam, Hijriyah.
Nisfu Sya'ban adalah tanggal ke-15 bulan Sya'ban, atau 15 hari lagi memasuki bulan ramadan, bulan yang paling dimuliakan umat Islam.

Tanda-tanda masuknya nisfu Sya'ban di langit bulan terlihat penuh, atau laiknya bulan purnama yang utuh.berarti dalam perjalanan kita akan setengah jalan lagi kita menyambut bulan penuh rahmat, bulan ramadhan.” Pada malam ini”tambah Mas Sammani,” adalah hari diangkatnya amalan kita pada tahun yang lalu ,makanya pada kesempatan para malaikat yang mengangkat amal kita melakukan amalan berupa membaca surah yasin dicatat sebagai amal soleh yang harum di hadapan Allah.sebagaimana yang disabdakan  Rasulullah
Kata Nabi, “Bulan itu sering dilupakan orang, karena diapit oleh bulan Rajab dan Ramadhan, padahal pada bulan itu, diangkat amalan-amalan (dan dilaporkan) kepada Tuhan Rabbil Alamin. Karenanya, aku ingin agar sewaktu amalanku dibawa naik, aku sedang berpuasa.” (HR Ahmad dan Nasai – Sunah Abu Dawud).
Al-Imam As-Subkiy.rhm berkata, bahwa malam Nishfu Sya’ban menghapus dosa setahun, malam Jum’at menghapus dosa seminggu, dan Lailatul Qodr menghapus dosa seumur hidup

Banyak para undangan ingin Membentuk komunitas kumpul-kumpul entah dengan format apa entah yasinan maupun tahlil.malah ada yang nyeletuk acara yasinannya dilanjutkan Nobar(Nonton Bareng) kalau ada siaran langsung bola. 
                                                                                

ibu -ibu penghuni Kost Rumah Nderes Sammani juga tak kalah sibuknya meramaikan acara nisfu Sya`ban